Blog

  • Aktivitas Swinger

    Aktivitas Swinger

    Mengenal Cerita Aktivitas Swinger – Suatu hari pak Beni mengajak ke 2 balitanya berlibur kerumah neneknya diluar kota untuk beberapa hari. aku tidak diajak. Tahu bahwa abangnya tidak mengajak aku ikut berlibur, mas Budi senyum2 saja kepadaku, “Nes, ada kesempatan nih. Mas Beni pergi dengan anak2 dan kamu gak ikut. Kita juga liburan yuk”, ajaknya.

    “Mau kemana mas”, tanyaku. “Temenku, Adi, ngajak ke villanya. Dia mau ajak ceweknya, Santi. Kamu ikut ya. Kita have fun lah disana. Mau kan”, katanya sambil tersenyum. Aku hanya tersenyum dan mengganggukkan kepala.

    Sorenya, mas Adi datang menjemput. Aku diperkenalkan ke mas mas Adi dan dia memperkenalkan Santi ke mas Budi dan aku. Mas mas Adi ganteng juga. Santi, montok banget. Masih abg banget, kayanya lebih muda dari aku.

    Manis juga anaknya, mengenakan jeans ketat dan tank top yang juga ketat sehingga menonjolkan lekuk liku badannya yang merangsang. Tangannya berbulu panjang dan terlihat ada kumis tipis diatas bibir cewek itu.

    Mengenal Aktivitas Swinger
    Aktivitas Swinger

    Ngocoks Pasti jembutnya lebat sekali dan cewek yang kaya begini yang disukai cowok2. Aku mengenakan blus dan rok mini. mas Adi tampak mengagumi keseksianku walaupun ada cewek yang gak kalah montok disebelahnya. Memang aku mengenakan blus yang belahan dadanya rendah sehingga belahan toketku menyembul keluar.

    “Berangkat yuk”, kata mas mas Adi. “Nes, mas Adi dari tadi ngeliatin kamu terus tuh” kata mas Budi berbisik.

    “Ah.. Masa sih” jawabku tertawa. “Iya tuh.. Lihat aja di kaca spion”. Memang terkadang mas Adi melirik kaca untuk melihatku yang duduk di kursi belakang bersama mas Budi.Villanya tidak terlalu jauh. Karena sudah malem, kita mengisi perut dulu.

    Mas Adi membawa juga makanan dan minuman untuk camilan di vila. Sesampai di vila, hari sudah gelap. Langsung berbagi kamar, masing2 dengan pasangannya. Setelah memasukkan barang bawaan ke kamar masing2, kita ngobrol ber 4 di ruang tamu. Mas Budi kayanya udah horny berat.

    Dia memelukku, mengelus2 rambutku dan pahaku yang tidak tertutup rok miniku yang tersingkap. Dia berbisik ngajak aku masuk kamar. Aku ngikuti aja. “Duluan ya”, kata mas Budi kepada temannya.

    Di kamar, dengan ganas mas Budi segera memelukku dan mencium bibirku dan menjilati leherku. Belahan toketku diusap2nya, blusku dibukanya, sehingga aku hanya mengenakan bra yang tipis. Pentilku tampak menonjol, sudah mengeras.

    Perlahan dia menciumi toketku. Aku mulai mendesah perlahan ketika pentilku dihisapnya dari balik braku. Setelah puas menikmati toketku, dia menciumku kembali.

    “Kamu gantian dong, hisap kontolku” katanya lagi. Kubuka retsleting celananya sekaligus dengan CDnya, sehingga kontolnya yang sudah tegang membengkak mencuat keluar. Kontolnya mulai kukocok-kocok perlahan.

    Dia mendorong kepalaku ke arah kontolnya. “Isep Nes”, desahnya ketika mulutku mulai mengulum kepala kontolnya. Kontolnya kukocok2 perlahan. “Nikmat Nes” erangnya. Dia menyibakkan rambut yang menutupi wajahku.

    “Terus Nes, enak banget, ” katanya lagi. Akupun mengeluarkan kontolnya dari mulut dan mulai menjilatinya. Kemudian kontolnya kujejalkan dalam mulutku.

    Dia mengelus-elus rambutku, ketika mulutku memompa kontolnya. Dia sudah sangat bernapsu sekali. Rok dan cd ku dilepasnya sehiongga aku telah bertelanjang bulat. Dia duduk dikursi dan aku disuruhnya duduk di atas pangkuannya sambil menghadap memunggunginya. Dia melepaskani baju yang tersisa. Dia menciumi pundakku, dan mengarahkan kontolnya yang sudah berdiri tegak ke nonokku.

    “Ohhmas, besarnya. Enak, ahh, entotin Ines mas”, desahku. Dia mengenjotkan kontolnya keluar masuk nonokku, gerakannya terbatas karena aku ada pangkuannya. Toketku yang berayun-ayun seirama enjotannya diremasnya.

    “Ohh, Mas, Enak Mas, Enjot terus mas” kataku sambil melingkarkan tanganku ke belakang merengkuh kepalanya. Dia menciumku bibirku sebentar dan kemudian menghisap toketku sambil terus mengenjot nonokku.

    “Ohh mas, enak banget, besar banget” eranganku semakin menjmas Adi, dan tak lama aku pun menjerit. Tubuhku menggelinjang-gelinjang dalam dekapannya. Tak lama, diapun mengerang nikmat ketika ngecret dalam nonokku. Kamipun melepas lelah sejenak sambil berciuman kembali. “Enak ya Mas” kataku.

    Aku masuk kekamar mandi yang menjadi satu dengan kamar tidur. Selang beberapa saat aku keluar lagi hanya mengenakan lilitan handuk dibadanku tanpa pakaian lainnya lagi. “Udah siap lagi ya Nes”, mas Budi menggangguku.

    “Iyalah mas, kan kita kesini untuk ngentot. Kata mas mau ngentotin Ines sampe 4 kali”, jawabku. Belahan dadaku sedikit tersembul dibalik handuk yang menutup dada serta pahaku. Melihat itu sepertinya dia napsu lagi.

    Luar biasa juga staminanya, gak puas2nya dia ngentoti aku. Kontolnya sudah berdiri tegang. Dia berbaring di ranjang. “Mas, ngelihatnya kok begitu amat sih ?” kataku.

    “Nes, sudah malam nih, kita tidur saja” katanya.”Mau tidur atau nidurin Ines mas”, godaku. “Tidur setelah nidurin kamu lagi dong”, jawabnya. Aku berbaring disebelahnya, segera lilitan handukku dilepaskannya sehingga telanjang bulatlah aku. Toketku dielus2nya.

    “Nes, kamu seksi sekali, mana binal lagi kalo lagi dientot. Kalo mas Beni dan anak2 pergi melulu, aku bisa ngentotin kamu tiap malem”, katanya merayu. Aku hanya tersenyum, tidak menjawab rayuannya. Elusan tangannya di toketku berubah menjadi remasan remasan halus.

    “Mas “, aku memeluknya. Dia memelukku juga serta mencium bibirku. Dia begitu menggebu gebu melumat bibirku, kujulurkan lidahku kedalam mulutnya. Nafasku menjadi cepat serta tidak beraturan. Setelah beberapa saat kami berciuman, aku menggeser badanku sehingga sekarang sudah berada di atas badannya. Dia semakin ganas saja dalam berciuman. Dia memeluk badanku rapat2 sambil menciumiku.

    Kemudian aku menciumi lehernya dan terus turun kearah dadanya. Dia berdesis “Nes, sshh”. Aku terus menciumi badannya, turun ke bawah dan ketika sampai disekitar pusarnya, kucium sambil menjilatinya sehingga terasa sekali kontolnya kian menegang.

    “Nes, aduuh” dan aku secara perlahan terus turun dan ketika sampai disekitar kontolnya, kucium dan kuhisap daerah sekelilingnya termasuk biji pelernya. “Sshh, Nes” katanya lagi.

    Kontolnya sudah ngaceng keras sekali, mengacung ke atas. Kupegang kontolnya dan kukocok pelan pelan. Kontolnya kumasukkan kemulutku. “Aahh”, teriaknya keenakan. Aku segera menaik turunkan mulutku pelan2 dan sesekali kusedot dengan keras.

    “Nes, enaak. Ayo dong Nes. Sini, aku juga kepingin” , katanya sambil menarik badanku. Aku mengerti kemauannya dan kuputar badanku tanpa melepas kontolnya dari mulutku.

    Posisi nya sekarang 69 dan aku berada diatas badannya. Nonokku yang dipenuhi jembut yang lebat dijilatinya. Aku menggelinjang setiap kali bibir nonokku dihisapnya. Dengan mulut yang masih tersumpal kontolnya aku bergumam.

    Dia membuka belahan nonokku pelan2 dan dijulurkannya lidahnya untuk menjilati dan menghisap hisap seluruh bagian dalam nonokku.

    Kulepas kontolnya dari mulutku sambil mengerang, “mas, ooh”, sambil berusaha menggerak gerakkan pantatku naik turun sehingga sepertinya mulut dan hidungnya masuk semuanya kedalam nonokku. “Maas, terus maas” Apalagi ketika itilku dihisap, aku mengerang lebih keras “maas, teeruuss”.

    Itilku terus dihisap hisapnya dan sesekali lidahnya dijulurkan masuk kedalam nonokku. Gerakan pantatku semakin menggila dan cepat, semakin cepat dan akhirnya Mas, aku nyampee”, sambil menekan pantatku kuat sekali kewajahnya. Aku terengah engah. Perlahan lahan dia menggeser badanku kesamping sehingga aku tergeletak di tempat tidur. Dengan masih terengah2 aku memanggilnya,

    “Mas peluk Ines, maas” dan segera saja dia memutar posisi badannya lalu memelukku dan mencium bibirku. Mulutnya masih basah oleh cairan nonokku.

    “Maas”,kataku dengan nafas nya sudah mulai agak teratur. “Apa Nes”sahutnya sambil mencium pipiku. “Maas, nikmat banget ya dengan mas, baru dijilat saja Ines sudah nyampe”, kataku manja. “Nes sekarang boleh gak aku… “, sahutnya sambil meregangkan kedua kakiku.

    Mas Budi mengambil ancang2 diatasku sambil memegang kontolnya yang dipaskan pada belahan nonokku. Perlahan terasa kepala kontolnya menerobos masuk nonokku. Dia mengulum bibirku sambil menjulurkan lidahnya kedalam mulutku.

    Aku menghisap dan mempermainkan lidahnya, sementara dia mulai menekan pantatnya pelan2 sehinggga kontolnya makin dalam memasuki nonokku dan blees, kontolnya sudah masuk setengahnya kedalam nonokku. Aku berteriak pelan “aahh maass”sambil mencengkeram kuat di punggungnya.

    Kedua kakiku segera kulingkarkan ke punggungnya, sehingga kontolnya sekarang masuk seluruhnya kedalam nonokku. Dia belum menggerakkan kontolnya karena aku sedang mempermainkan otot2 nonokku sehingga dia merasa kontolnya seperti dihisap hisap dengan agak kuat.

    “Nes, terus.Nes, enaak sekalii, Nes”, katanya sambil menggerakkan kontolnya naik turun secara pelan dan teratur. Aku secara perlahan juga mulai memutar mutar pinggulku. Setiap kali kontolnya ditekan masuk kedalam nonokku, aku melenguh “sshh maass”, karena kurasakan kontolnya menyentuh bagian nonokku yang paling dalam.

    Karena lenguhanku, dia semakin terangsang dan gerakan kontolnya keluar masuk nonokku semakin cepat. Aku semakin keras berteriak2, serta gerakan pinggulku semakin cepat juga. Dia semakin mempercepat gerakan kontolnya keluar masuk nonokku.

    Aku melepaskan jepitan kakiku di pinggangnya dan mengangkatnya lebar2, dan posisi ini mempermudah gerakan kontolnya keluar masuk nonokku dan terasa kontolnya masuk lebih dalam lagi.

    Tidak lama kemudian kurasakan rasa nikmat yang menggebu2, kupeluk dia semakin kencang dan akhirnya “ayo mass, Ines mau keluar maas”. “Tunggu Nes, kita sama sama”, sahutnya sambil mempercepat lagi gerakan kontolnya.

    “Aduhh maas, Ines nggak tahaan, maaas, ayoo sekarang”, sambil melingkarkan kembali kakiku di punggungnya kuat2.

    “Nes, aku jugaa”, dan terasa creeeeeeet…creeeeeet… crrreeettt..pejunya muncrat keluar dari kontolnya dan tumpah didalam nonokku. Terasa dia menekan kuat2 kontolnya ke nonokku.

    Dengan nafas yang terengah engah dan badannya penuh dengan keringat, dia terkapar diatasku dengan kontolnya masih tetap ada didalam nonokku. Setelah nafasku agak teratur, kukatakan didekat telinganya “Mas, terima kasih ya. Ines puas banget barusan,” sambil kukecup telinganya.

    Dia tidak menjawab atau berkata apapun dan hanya menciumi wajahku. Setelah diam beberapa lama lalu aku diajaknya membersihkan badan di kamar mandi dan terus tidur sambil berpelukan.

    Paginya aku terbangun kesiangan. Mungkin karena cape dientot aku tidur dengan pulas. Ketika terbangun dia sudah tidak ada disebelahku. Aku ke kemar mandi, membasuh muka dan sikat gigi, kemudian dengan bertelanjang bulat aku keluar kamar. Mas Budi sedang ngobrol dengan mas Adi dan Santi.

    Aku segera masuk ke kamar lagi, walaupun mas Adi sempat ternganga melihat kemolekan badanku yang telanjang. Aku mengenakan kimono punya mas Budi, sehingga kebesaran. Aku bergabung dengan mereka dimeja makan. Aku mengambil roti dan membuat kopi, yang lainnya kelihatannya sudah selesai sarapan.

    Mereka menemaniku sarapan sambil ngobrol santai. Kayanya Santi centil banget ngobrolnya dengan mas Budi. Setelah aku selesai sarapan, mas Adi mengajak berenang. Segera aku mengenakan daleman bikiniku. Mas Adi makin menganga melihat jembutku yang nongol dari balik CD minimku. “Nes, jembutnya lebat sekali”, katanya.

    “Suka kan mas ngeliatnya”, jawabku. “Jembut Santi juga pasti lebat, lebih lebat dari jembutku”. Santi sudah memakai bikininya juga. toketnya yang montok tidak tertutup oleh bra bikininya yang kekecilan, dan jembutnya benar lebih lebat dari jembutku, nongol dari samping dan atas CD bikininya yang sangat minim, lebih minim dari CDku.

    Mas Budi kayanya napsu banget lihat bodinya Santi. Aku mengerti sekarang skenarionya, kayanya mas Budi mau ngentot dengan Santi dan aku akan dientot mas Adi. Kulihat mas Adi menelan ludahnya memandangi bodiku.

    Mas Budi hanya memakai celana pendek dan kelihatan sekali kontol besarnya sudah ngaceng dengan keras. Mas Adi melepaskan pakaiannya sehingga hanya mengenakan CD saja. kontolnya juga sudah ngaceng, kelihatannya besar juga walaupun tidak sebesar kontol mas Budi.

    Kami menuju ke kolam renang di kebun belakang. Ada 2 dipan, dan letaknya berjauhan, di masing2 sisi kolam. Aku memilih salah satu dipan.

    Mas Budi sudah mulai menggeluti Santi di dipan satunya. mas Adi duduk disebelahku yang sudah berbaring di dipan. Dia mulai mengelus2 pundakku. Aku tau, dia pasti sudah napsu sekali. Segera saja kuelus2 kontol mas Adi dari luar CDnya, kemudian kuremas perlahan.

    “Kontol mas besar juga ya”, kataku sambil makin keras meremas kontolnya. Tanganku menyusup kedalam CDnya dan langsung mengocok2 kontolnya. ngacengnya sudah keras banget.

    “Aku lepas ya CD nya”, kataku sambil memelorotkan CDnya. Kontolnya yang lumayan besar langsung ngacung keatas. Aku udah gak sabar pengen merasakan kontolnya keluar masuk nonokku. Aku duduk dan memeluknya serta mencium bibirnya.

    Mas Adi langsung memelukku kembali, bibirnya pun menghisap2 bibirku sedang tangannya mulai meremas2 toketku yang sudah mengeras. Tangannya nyelip kedalam bra ku dan memlintir pentilku yang juga sudah mengeras. “Nes sudah napsu ya, pentilnya sudah keras.

    Nonoknya pasti udah basah ya Nes”, katanya lagi. Sepertinya dia sudah pengalaman juga dalam urusan perngentotan. Aku mulai menyentuh dan mengelus kontolnya “ya, pegang Nes” desisnya. Mas Adi sekarang yang berbaring sedang aku menelungkup diatasnya. Kontolnya mulai kujilat, kukocok sambil meremas biji pelernya.

    Bersambung…

    1 2
  • Gadis Bandung

    Gadis Bandung

    Cerita Gadis Bandung – Kisah ini bermula waktu umurku masih 23 tahun. Aku duduk di tingkat akhir suatu perguruan tinggi teknik di kota Bandung. Wajahku ganteng. Badanku tinggi dan tegap, mungkin karena aku selalu berolahraga seminggu tiga kali.

    Teman-temanku bilang, kalau aku bermobil pasti banyak cewek cantik sexy yang dengan sukahati menempel padaku. Aku sendiri sudah punya pacar. Kami pacaran secara serius. Baik orang tuaku maupun orang tuanya sudah setuju kami nanti menikah.

    Tempat kos-ku dan tempat kos-nya hanya berjarak sekitar 700 m. Aku sendiri sudah dipegangi kunci kamar kosnya. Walaupun demikian bukan berarti aku sudah berpacaran tanpa batas dengannya.

    Dalam masalah pacaran, kami sudah saling cium-ciuman, gumul-gumulan, dan remas-remasan. Namun semua itu kami lakukan dengan masih berpakaian. Toh walaupun hanya begitu, kalau “voltase’-ku sudah amat tinggi, aku dapat ‘muntah” juga.

    Cerita Gadis Bandung
    Cerita Gadis Bandung

    Ngocoks Dia adalah seorang yang menjaga keperawanan sampai dengan menikah, karena itu dia tidak mau berhubungan sex sebelum menikah. Aku menghargai prinsipnya tersebut. Karena aku belum pernah pacaran sebelumnya, maka sampai saat itu aku belum pernah merasakan memek perempuan.

    Pacarku seorang anak bungsu. Kecuali kolokan, dia juga seorang penakut, sehingga sampai jam 10 malam minta ditemani. Sehabis mandi sore, aku pergi ke kosnya.

    Sampai dia berangkat tidur. aku belajar atau menulis tugas akhir dan dia belajar atau mengerjakan tugas-tugas kuliahnya di ruang tamu. Kamar kos-nya sendiri berukuran cukup besar, yakni 3mX6m.

    Kamar sebesar itu disekat dengan triplex menjadi ruang tamu dengan ukuran 3mX2.5m dan ruang tidur dengan ukuran 3mX3.5m. Lobang pintu di antara kedua ruang itu hanya ditutup dengan kain korden.

    lbu kost-nya mempunyai empat anak, semua perempuan. Semua manis-manis sebagaimana kebanyakan perempuan Sunda. Anak yang pertama sudah menikah, anak yang kedua duduk di kelas 3 SMA, anak ketiga kelas I SMA, dan anak bungsu masih di SMP.

    Menurut desas-desus yang sampai di telingaku, menikahnya anak pertama adalah karena hamil duluan. Kemudian anak yang kedua pun sudah mempunyai prestasi. Nama panggilannya Ika.

    Dia dikabarkan sudah pernah hamil dengan pacarya, namun digugurkan. Menurut penilaianku, Ika seorang playgirl.

    Walaupun sudah punya pacar, pacarnya kuliah di suatu politeknik, namun dia suka mejeng dan menggoda laki-laki lain yang kelihatan keren. Kalau aku datang ke kos pacarku, dia pun suka mejeng dan bersikap genit dalam menyapaku.

    lka memang mojang Sunda yang amat aduhai. Usianya akan 18 tahun. Tingginya 160 cm. Kulitnya berwarna kuning langsat dan kelihatan licin. Badannya kenyal dan berisi. Pinggangnya ramping.

    Buah dadanya padat dan besar membusung. Pinggulnya besar, kecuali melebar dengan indahnya juga pantatnya membusung dengan montoknya.

    Untuk gadis seusia dia, mungkin payudara dan pinggul yang sudah terbentuk sedemikian indahnya karena terbiasa dinaiki dan digumuli oleh pacarnya. Paha dan betisnya bagus dan mulus. Lehernya jenjang.

    Matanya bagus. Hidungnya mungil dan sedikit mancung. Bibirnya mempunyai garis yang sexy dan sensual, sehingga kalau memakai lipstik tidak perlu membuat garis baru, tinggal mengikuti batas bibir yang sudah ada. Rambutnya lebat yang dipotong bob dengan indahnya.

    Sore itu sehabis mandi aku ke kos pacarku seperti biasanya. Di teras rumah tampak Ika sedang mengobrol dengan dua orang adiknya. Ika mengenakan baju atas ‘you can see’ dan rok span yang pendek dan ketat sehingga lengan, paha dan betisnya yang mulus itu dipertontonkan dengan jelasnya.

    “Mas Bob, ngapel ke Mbak Dina? Wah… sedang nggak ada tuh. Tadi pergi sama dua temannya. Katanya mau bikin tugas,” sapa Ika dengan centilnya.

    “He… masa?” balasku.

    “Iya… Sudah, ngapelin Ika sajalah Mas Bob,” kata Ika dengan senyum menggoda. Edan! Cewek Sunda satu ini benar-benar menggoda hasrat. Kalau mau mengajak beneran aku tidak menolak nih, he-he-he…

    “Ah, neng Ika macam-macam saja…,” tanggapanku sok menjaga wibawa. “Kak Dai belum datang?”

    Pacar Ika namanya Daniel, namun Ika memanggilnya Kak Dai. Mungkin Dai adalah panggilan akrab atau panggilan masa kecil si Daniel. Daniel berasal dan Bogor. Dia ngapeli anak yang masih SMA macam minum obat saja.

    Dan pulang kuliah sampai malam hari. Lebih hebat dan aku, dan selama ngapel waktu dia habiskan untuk ngobrol. Atau kalau setelah waktu isya, dia masuk ke kamar Ika. Kapan dia punya kesempatan belajar?

    “Wah… dua bulan ini saya menjadi singgel lagi. Kak Dai lagi kerja praktek di Riau. Makanya carikan teman Mas Bob buat menemani Ika dong, biar Ika tidak kesepian… Tapi yang keren lho,” kata Ika dengan suara yang amat manja.

    Edan si playgirl Sunda mi. Dia bukan tipe orang yang ngomong begitu bukan sekedar bercanda, namun tipe orang yang suka nyerempet-nyerempet hat yang berbahaya.

    “Neng Ika ini… Nanti Kak Dainya ngamuk dong.”

    “Kak Dai kan tidak akan tahu…”

    Aku kembali memaki dalam hati. Perempuan Sunda macam Ika ini memang enak ditiduri. Enak digenjot dan dinikmati kekenyalan bagian-bagian tubuhnya.

    Aku mengeluarkan kunci dan membuka pintu kamar kos Dina. Di atas meja pendek di ruang tamu ada sehelai memo dari Dina. Sambil membuka jendela ruang depan dan ruang tidur, kubaca isi memo tadi.

    Mas Bobby, gue ngerjain tugas kelompok bersama Niken dan Wiwin. Tugasnya banyak, jadi gue malam ini tidak pulang. Gue tidur di rumah Wiwin. Di kulkas ada jeruk, ambil saja. Soen sayang, Dina’

    Aku mengambil bukuku yang sehari-harinya kutinggal di tempat kos Di. Sambil menyetel radio dengan suara perlahan, aku mulai membaca buku itu. Biarlah aku belajar di situ sampai jam sepuluh malam.

    Sedang asyik belajar, sekitar jam setengah sembilan malam pintu diketok dan luar. Tok-tok-tok…

    Kusingkapkan korden jendela ruang tamu yang telah kututup pada jam delapan malam tadi, sesuai dengan kebiasaan pacarku. Sepertinya Ika yang berdiri di depan pintu.

    “Mbak Di… Mbak Dina…,” terdengar suara Ika memanggil-manggil dan luar. Aku membuka pintu.

    “Mbak Dina sudah pulang?” tanya Ika.

    “Belum. Hari ini Dina tidak pulang. Tidur di rumah temannya karena banyak tugas. Ada apa?”

    “Mau pinjam kalkulator, mas Bob. Sebentar saja. Buat bikin pe-er.”

    “Ng… bolehlah. Pakai kalkulatorku saja, asal cepat kembali.”

    “Beres deh mas Bob. Ika berjanji,” kata Ika dengan genit. Bibirnya tersenyum manis, dan pandang matanya menggoda menggemaskan.

    Kuberikan kalkulatorku pada Ika. Ketika berbalik, kutatap tajam-tajam tubuhnya yang aduhai. Pinggulnya yang melebar dan montok itu menggial ke kiri-kanan, seolah menantang diriku untuk meremas*-remasnya. Sialan! Kontholku jadi berdiri. Si ‘boy-ku ini responsif sekali kalau ada cewek cakep yang enak digenjot.

    Sepeninggal Ika, sesaat aku tidak dapat berkonsentrasi. Namun kemudian kuusir pikiran yang tidak-tidak itu. Kuteruskan kembali membaca textbook yang menunjang penulisan tugas sarjana itu.

    Tok-tok-tok! Baru sekitar limabelas menit pintu kembali diketok.

    “Mas Bob… Mas Bob…,” terdengar Ika memanggil lirih.

    Pintu kubuka. Mendadak kontholku mengeras lagi. Di depan pintu berdiri Ika dengan senyum genitnya. Bajunya bukan atasan ‘you can see’ yang dipakai sebelumnya. Dia menggunakan baju yang hanya setinggi separuh dada dengan ikatan tali ke pundaknya.

    Baju tersebut berwarna kuning muda dan berbahan mengkilat. Dadanya tampak membusung dengan gagahnya, yang ujungnya menonjol dengan tajam dan batik bajunya.

    Sepertinya dia tidak memakai BH. Juga, bau harum sekarang terpancar dan tubuhnya. Tadi, bau parfum harum semacam ini tidak tercium sama sekali, berarti datang yang kali ini si Ika menyempatkan diri memakai parfum. Kali ini bibirnya pun dipolesi lipstik pink.

    “Ini kalkulatornya, Mas Bob,” kata Ika manja, membuyarkan keterpanaanku.

    “Sudah selesai. Neng Ika?” tanyaku basa-basi.

    “Sudah Mas Bob, namun boleh Ika minta diajari Matematika?”

    “0, boleh saja kalau sekiranya bisa.”

    Tanpa kupersilakan Ika menyelonong masuk dan membuka buku matematika di atas meja tamu yang rendah. Ruang tamu kamar kos pacarku itu tanpa kursi.

    Hanya digelari karpet tebal dan sebuah meja pendek dengan di salah satu sisinya terpasang rak buku. Aku pun duduk di hadapannya, sementara pintu masuk tertutup dengan sendirinya dengan perlahan. Memang pintu kamar kos pacarku kalau mau disengaja terbuka harus diganjal potongan kayu kecil.

    “Ini mas Bob, Ika ada soal tentang bunga majemuk yang tidak tahu cara penyelesaiannya.” Ika mencari-cari halaman buku yang akan ditanyakannya.

    Menunggu halaman itu ditemukan, mataku mencari kesempatan melihat ke dadanya. Amboi! Benar, Ika tidak memakai bra. Dalam posisi agak menunduk, kedua gundukan payudaranya kelihatan sangat jelas. Sungguh padat, mulus, dan indah. Kontholku terasa mengeras dan sedikit berdenyut-denyut.

    Halaman yang dicari ketemu. Ika dengan centilnya membaca soal tersebut. Soalnya cukup mudah. Aku menerangkan sedikit dan memberitahu rumusnya, kemudian Ika menghitungnya. Sambil menunggu Ika menghitung, mataku mencuri pandang ke buah dada Ika. Uhhh… ranum dan segarnya.

    “Kok sepi? Mamah, Ema, dan Nur sudah tidur?” tanyaku sambil menelan ludah. Kalau bapaknya tidak aku tanyakan karena dia bekerja di Cirebon yang pulangnya setiap akhir pekan.

    “Sudah. Mamah sudah tidur jam setengah delapan tadi. Kemudian Erna dan Nur berangkat tidur waktu Ika bermain-main kalkulator tadi,” jawab Ika dengan tatapan mata yang menggoda.

    Hasratku mulai naik. Kenapa tidak kusetubuhi saja si Ika. Mumpung sepi. Orang-orang di rumahnya sudah tidur. Kamar kos sebelah sudah sepi dan sudah mati lampunya. Berarti penghuninya juga sudah tidur.

    Kalau kupaksa dia meladeni hasratku, tenaganya tidak akan berarti dalam melawanku. Tetapi mengapa dia akan melawanku? jangan-jangan dia ke sini justru ingin bersetubuh denganku. Soal tanya Matematika, itu hanya sebagai atasan saja.

    Bukankah dia menyempatkan ganti baju, dari atasan you can see ke atasan yang memamerkan separuh payudaranya? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan tidak memakai bra? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan memakai parfum dan lipstik? Apa lagi artinya kalau tidak menyodorkan din?

    Tiba-tiba Ika bangkit dan duduk di sebelah kananku.

    “Mas Bob… ini benar nggak?” tanya Ika.

    Ada kekeliruan di tengah jalan saat Ika menghitung. Antara konsentrasi dan menahan nafsu yang tengah berkecamuk, aku mengambil pensil dan menjelaskan kekeliruannya.

    Tiba-tiba Ika lebih mendekat ke arahku, seolah mau memperhatikan hal yang kujelaskan dan jarak yang lebih dekat. Akibatnya… gumpalan daging yang membusung di dadanya itu menekan lengan tangan kananku. Terasa hangat dan lunak, namun ketika dia lebih menekanku terasa lebih kenyal.

    Dengan sengaja lenganku kutekankan ke payudaranya.

    “Ih… Mas Bob nakal deh tangannya,” katanya sambil merengut manja. Dia pura-pura menjauh.

    “Lho, yang salah kan Neng Ika duluan. Buah dadanya menyodok-nyodok lenganku,” jawabku.

    lka cemberut. Dia mengambil buku dan kembali duduk di hadapanku. Dia terlihat kembali membetulkan yang kesalahan, namun menurut perasaanku itu hanya berpura-pura saja. Aku merasa semakin ditantang.

    Kenapa aku tidak berani? Memangnya aku impoten? Dia sudah berani datang ke sini malam-malam sendirian. Dia menyempatkan pakai parfum. Dia sengaja memakai baju atasan yang memamerkan gundukan payudara.

    Dia sengaja tidak pakai bra. Artinya, dia sudah mempersilakan diriku untuk menikmati kemolekan tubuhnya. Tinggal aku yang jadi penentunya, mau menyia-siakan kesempatan yang dia berikan atau memanfaatkannya. Kalau aku menyia-siakan berarti aku band!

    Aku pun bangkit. Aku berdiri di atas lutut dan mendekatinya dari belakang. Aku pura-pura mengawasi dia dalam mengerjakan soal. Padahal mataku mengawasi tubuhnya dari belakang. Ngocoks.com

    Kulit punggung dan lengannya benar-benar mulus, tanpa goresan sedikitpun. Karena padat tubuhnya, kulit yang kuning langsat itu tampak licin mengkilap walaupun ditumbuhi oleh bulu-bulu rambut yang halus.

    Kemudian aku menempelkan kontholku yang menegang ke punggungnya. Ika sedikit terkejut ketika merasa ada yang menempel punggungnya.

    “Ih… Mas Bob jangan begitu dong…,” kata Ika manja.

    “Sudah… udah-udah… Aku sekedar mengawasi pekerjaan Neng Ika,” jawabku.

    lka cemberut. Namun dengan cemberut begitu, bibir yang sensual itu malah tampak menggemaskan. Sungguh sedap sekali bila dikulum-kulum dan dilumat-lumat. Ika berpura-pura meneruskan pekerjaannya.

    Aku semakin berani. Kontholku kutekankan ke punggungnya yang kenyal. Ika menggelinjang. Tidak tahan lagi. tubuh Ika kurengkuh dan kurebahkan di atas karpet. Bibirnya kulumat-lumat, sementara kulit punggungnya kuremas-remas.

    Bibir Ika mengadakan perlawanan, mengimbangi kuluman-*kuluman bibirku yang diselingi dengan permainan lidahnya. Terlihat bahkan dalam masalah ciuman Ika yang masih kelas tiga SMA sudah sangat mahir. Bahkan mengalahkan kemahiranku.

    Bersambung…

    1 2 3 4
  • Masa Ujian Semester

    Masa Ujian Semester

    Cerita Masa Ujian Semester – Perempuan yang sudah lama kusukai bernama Tania, ia adalah teman kuliahku. Orangnya ramah, sangat enerjik, dan bisa dibilang tomboy. Ia adalah salah satu di antara empat orang teman dekatku di kampus, yang lain adalah Galih (si anak orang kaya), Rian (si gendut), dan Santi (teman akrab Tania yang kemana-mana selalu bersama).

    Sementara namaku adalah Adi, seorang lelaki 20 tahun biasa-biasa saja, yang paling pemalu di antara kami berlima. Pada malam ini, kami berempat janjian untuk bertemu di sebuah kafe di tengah kota untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya masa liburan.

    Aku datang ke kafe bersama dengan Gilang, menumpang di mobilnya. Bukan berarti aku tidak mau mengeluarkan uang untuk ongkos, hanya saja Gilang menawari aku untuk pergi bersamanya, jadi aku tak bisa menolak.

    Cerita Sex Masa Ujian Semester
    Cerita Masa Ujian Semester

    Ngocoks Tiba di kafe, Rian sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di pojok ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Rian tak henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia tak sadar kalau kami sudah ada di belakangnya.

    “Hey!” Galih menepuk pundak Rian, membuat pria gemuk itu terhenyak kaget.

    “Baru sendirian?” tanyaku sambil duduk.

    “Iya nih. Parah dah, cuma gue aja yang nggak ngaret,” jawab Rian.

    “Lah, Si Tania sama Santi belom dateng?” tanya Galih yang kemudian duduk di sebelah Rian, lalu melongok ke arah monitor laptop.

    “Mana gue tau? Biasalah, cewek-cewek itu. Padahal tempat kost mereka paling deket dari sini,” jawab Rian.

    Di samping laptop, terdapat sepiring roti bakar isi coklat keju yang tampak masih hangat. Tanpa minta izin, Galih segera mengambil sepotong roti dan melahapnya.

    Rian menatap Galih sambil menyindir, tapi Galih hanya membalasnya dengan menaikkan alis. Selama setengah jam, kami mengobrol hal-hal ringan seperti film yang sedang diputar di bioskop dan game-game baru.

    Saat kami masih asyik mengobrol, Tania dan Santi tiba di kafe. Tania datang mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dengan logo The Rolling Stones di bagian dadanya. Untuk sekilas, perhatianku terhenti pada bagian itu.

    Tidak, dia bukan wanita berdada besar seperti yang banyak dipikirkan lelaki hidung belang. Dadanya relatif kecil, namun tonjolan mungil dan menggemaskan itu terlihat samar-samar dari balik kaosnya, membuatku tak henti merasa penasaran.

    Begitu pula dengan bokongnya. Bahkan pada saat ia memakai celana jeans ketat seperti sekarang pun, pantatnya cenderung rata. Ia memang kurus, tapi kakinya jenjang dan pinggangnya membentuk kurva yang menarik. Selain tentu saja, wajah dan senyumnya yang sangat manis.

    “Guys, sori…, sori, tadi gue ada urusan sebentar,” ujar Tania sambil merapikan rambutnya yang lurus dan panjang sebahu.

    “Iya, lagian tadi angkotnya ngetem lama banget,” tambah Santi. Santi memiliki wajah yang kurang menarik, badannya juga pendek dan agak gendut, tapi ia adalah orang yang sangat setia kawan, terutama pada Tania.

    “Yaudah, duduk dulu. Nanti habis ini baru kita nonton,” ujar Galih.

    Santi duduk di sebelah Galih, sementara Tania duduk tepat di sebelahku. Sudah tiga bulan ini aku merasakan gelora yang luar biasa terhadap Tania. Aku sendiri pun tidak mengerti, kenapa baru belakangan ini aku jatuh cinta kepadanya, padahal kami sudah saling kenal selama dua tahun lebih.

    Tania meletakkan tas kecilnya di atas pangkuan sambil menyikut lenganku, lalu ia tersenyum manis. Gaya sapaannya yang seperti itu malah membuat jantungku berdetak semakin kencang.

    “Rapi banget lo. Mau nonton apa kondangan?” sindir Tania sambil menunjuk kemeja formal yang kukenakan, lalu tertawa. Sebenarnya aku memakai kemeja ini karena pakaianku yang lain masih di laundry.

    Kami berlima menghabiskan waktu di kafe sambil minum kopi dan makan kue-kue ringan. Banyak orang yang menjuluki kami sebagai Power Rangers, karena komposisi geng kami yang terdiri dari tiga pria dan dua wanita.

    Bagiku, kalau memang itu benar, maka Galih adalah ranger merah, Rian adalah ranger hitam (karena kulitnya hitam), Santi adalah ranger kuning, Tania adalah ranger pink, sementara aku adalah ranger biru (karena seingatku ranger biru biasanya yang paling kalem dan pemalu).

    Setelah selesai di kafe, kami pun segera beranjak ke bioskop yang letaknya tak jauh dari situ. Tiket sudah dibeli sebelumnya, sehingga kami tak perlu khawatir kehabisan tempat. Kebetulan saat kami datang filmnya sudah hampir diputar, sehingga kami segera masuk ke dalam studio tanpa menunggu lagi.

    Tiket yang kubeli kemarin memiliki nomor 26, 27, 28, 29, dan 30; letaknya di pojok sebelah atas. Dan entah kenapa, mungkin ini memang sudah takdir, aku duduk bersebelahan dengan Tania. Aku duduk di kursi paling pojok, di sebelah kananku Tania, dan Santi di sebelahnya lagi.

    “Anjrit, iklannya lama banget! Tau gini tadi mending gue beli popcorn dulu!” ujar Tania kesal.

    “Lah, bukannya tadi kita bawa kacang atom ya?” ucap Santi sambil membuka restleting tasnya.

    “Oiya, lupa gue!” Tania akhirnya menemukan sebungkus kacang atom dari tas Santi.

    Tania langsung membuka bungkus kacang, meraup segenggam, lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.

    “Di, mau?” ucap Tania padaku, mulutnya masih penuh dan terus mengunyah. Kupikir-pikir, cewek yang tidak anggun ini sepertinya tak pantas jadi ranger pink.

    “Nanti aja deh, filmnya juga belum mulai,” ucapku.

    “Yaudah, ntar kalau mau, bilang ya,” ucapnya.

    Tak lama kemudian, film langsung dimulai dan lampu dimatikan. Film yang kami tonton adalah sebuah film misteri yang berjudul Fog Hill. Ceritanya tentang sekelompok orang yang tersesat di bukit misterius yang aneh. Selama setengah jam kami serius menonton dan tak banyak bicara, kecuali Tania dan Santi yang sesekali bergumam.

    “Masih ada nggak kacangnya?” tanyaku pada Tania.

    “Oh iya, masih ada nih, dikit lagi. Hehe,” ucap Tania sambil nyengir dan menyerahkan bungkusan kacang. Gila, kayanya dia lagi kelaparan, cepat amat makannya.

    Aku mengambil segenggam kacang dan memasukkannya ke dalam mulut ketika adegan film yang menegangkan dimulai. Tokoh utama di film itu sedang dikejar-kejar oleh pembunuh kejam, dan ia harus bersembunyi demi keselamatan nyawanya.

    Aku menyodorkan bungkus kacang ke arah Tania tanpa menolehkan wajahku dari film. Tania tidak langsung mengambil bungkus kacang itu, mungkin ia tidak ngeh karena gelap. Lalu aku majukan sedikit lagi tanganku dengan tujuan agar lebih dekat ke mukanya.

    Namun tanpa sengaja, punggung tanganku malah menyentuh sesuatu yang aneh, sesuatu yang empuk dan agak kenyal. Entah karena sedang terfokus pada film atau apa, aku tidak langsung menarik tanganku dan malah menekan-nekan benda empuk itu dengan tangan yang sedang memegang bungkus kacang.

    Baru beberapa detik kemudian aku sadar dan menoleh, dan pada saat itulah aku baru tahu kalau tanganku sedang menyentuh buah dada Tania yang mungil itu, meskipun terhalang kaos.

    Nafasku tertahan dan rasa takut sekaligus malu memenuhi kepalaku. Di antara kegelapan bioskop, aku mencoba melihat ekspresi wajah Tania.

    Ia sedang menatapku dengan tatapan yang canggung dan tampak seperti sedang menahan nafas. Oh tidak! Aku langsung menarik tanganku secara terburu-buru, akibatnya bungkus kacang itu malah jatuh dan menumpahkan sebagian isinya. Beberapa butir kacang berserakan di kolong kursi.

    “Aduh! Maaf, maaf! Nggak sengaja!” ujarku panik. Entah aku minta maaf untuk kesalahan yang mana.

    “Gapapa, santai aja kali, cuma dikit kok,” jawab Tania dengan kalimat yang kurasa agak ambigu. Ia mengucapkannya dengan senyum yang tampak dipaksakan. Mudah-mudahan ia tidak marah.

    Setelah itu, sepanjang sisa film aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku selalu tertuju pada benda empuk yang baru saja kusentuh tanpa sengaja. Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku menyentuh buah dada perempuan dengan sefrontal itu. Yah, aku memang cowok yang agak kuper, jadi maklumi saja.

    Dan sekarang penisku jadi sedikit tegang, membayangkan kalau seandainya aku bisa meremasnya tadi. Tapi di sisi lain, aku juga takut kalau Tania marah padaku, bisa saja ia mengira aku sengaja melakukannya.

    Setelah selesai nonton, aku dan Tania tidak banyak bicara. Aku juga tidak berani mengajak bicara lebih dulu, karena aku sendiri masih merasa malu. Kami pulang dengan menumpang mobilnya Galih, aku duduk di sebelah depan, sementara Tania, Santi, dan Rian di kursi belakang.

    Sesampainya di rumah, aku segera mengirim SMS ke ponsel Tania. Aku memang tidak berani meminta maaf secara langsung, dan aku juga tidak mau hubungan persahabatan kami jadi renggang gara-gara masalah kecil.

    “Tan, sori ya yg tadi. Sumpah, gue ga sengaja,” ucapku dalam SMS.

    Tak lama kemudian, ia membalas SMS-ku.

    “Iya, gue tau kok. Cuma tadi gue speechless aja, kaget gue. Geli. :p “

    Entah karena kalimat yang mana, penisku menjadi tegang lagi. Karena di rumah sendiri, aku tidak ragu-ragu untuk melakukan onani sambil memandangi foto Tania. Wajahnya, senyumnya, tubuhnya, rambutnya. Seandainya saja aku bisa mengulang kejadian tadi seratus kali. Oh, seandainya saja aku bisa bercinta dengannya.

    ***

    Esok paginya, untuk memastikan bahwa hubunganku dengan Tania baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke tempat kost Tania, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam.

    Aku mengetuk pintu kamarnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia tidak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar.

    “Eh, Di? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.

    “Iya, gue kebetulan lewat sini dan inget mau ngembaliin buku,” ucapku canggung.

    “Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam kamar.

    Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam kamarnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku kamarnya tampak rapi. Ada boneka kucing cukup besar di sudut kamar, yang menandakan bahwa ia tidak setomboy yang orang pikir.

    Tania mengambil buku yang aku berikan, lalu menyimpannya di dalam lemari. Ketika ia sedang menyimpan buku dan membelakangiku, timbul suatu keinginan yang amat besar untuk memeluknya dari belakang, lalu mencium lehernya, dan meremas buah dadanya.

    Tapi tentu saja aku tidak berani melakukan hal itu. Aku sangat menghargai dia sebagai temanku, terlebih lagi aku menyukainya sebagai perempuan yang menyenangkan.

    “Adi, lain kali lo kalau nonton di bioskop deket gue, hati-hati dong. Mentang-mentang gelap, lo seenaknya aja grepe-grepe gue. Pelecehan tau!”

    Dadaku serasa tertusuk mendengar ucapannya yang tiba-tiba itu. Tapi kemudian ia menoleh ke arahku dan tertawa lepas.

    “Haha. Becanda ih. Muka lo pucat banget sih?”

    “Iya. Abisnya gue keasyikan nonton film, lagi seru-serunya. Murni kecelakan kok, Tan,” jawabku membela diri.

    “Baru pertama kalinya ‘itu’ gue dipegang cowo. Kanget banget gue waktu itu,” ucapnya sambil tersenyum. Kok rasanya pembicaraan ini jadi agak gimana gitu.

    Aku tahu, di luar sifatnya yang suka seenaknya, Tania adalah gadis yang baik-baik. Setidaknya ia bukan penganut pergaulan bebas seperti perempuan perkotaan yang lain. Tapi tetap saja, dia adalah perempuan dewasa yang tidak naif lagi.

    “Apalagi gue, Tan,” ucapku menimpali.

    Setelah itu kami berdua saling bertatapan, cukup lama, sampai akhirnya aku berpikir untuk segera pulang saja. Namun belum sempat aku pamit, Tania membuka mulutnya dan berbicara.

    “ehm, Di….”

    “Ya?” tanyaku.

    “Ngg… gimana ya bilangnya… bingung,” Tania tersipu.

    “Apaan sih?” ucapku, berlagak santai.

    “Hmm… boleh nggak? Ngg…, tapi jangan bilang siapa-siapa, yah?”

    “Maksudnya?”

    “Lo janji dulu, jangan bilang siapa-siapa. Please…,” ucap Tania dengan senyum malu-malu.

    “Iya, gue janji kok. Ada apa?”

    Tania menunduk, kedua tangannya bertautan di belakang punggung, “Lo…, lo mau nggak megang ini gue lagi? Sejak semalem gue penasaran banget, pengen ngerasain. Bagian yang lo sentuh kemarin rasanya jadi gatel terus, gimana gitu.”

    “Tan, lo nggak lagi ngerjain gue kan?” nafasku serasa berhenti selama beberapa detik, sementara penisku perlahan-lahan menegang.

    “Terserah elo mau nganggepnya gimana. Gue malu banget sebenernya, tapi gue percaya sama lo,” ucap Tania sambil terus menunduk.

    Aku mencubit pipiku, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan sekedar mimpi basah di tengah malam. Ini sungguhan. Terdengar konyol dan kekanak-kanakan memang, tapi aku kenal Tania, dia bisa saja seperti itu.

    Mungkin ini hanyalah nafsu sesaatnya. Mungkin ia tak punya perasaan apa-apa padaku, dan dia, di luar dugaanku, mungkin memang agak naif dalam urusan semacam ini.

    “Yaudah, gue cuma bercanda kok! Nggak juga nggak apa-apa. Tapi lo udah janji ya nggak akan bilang siapa-siapa,” ucap Tania tiba-tiba, sambil tertawa yang dipaksakan, tapi ada sorot kecewa dari matanya.

    Aku tak tahan lagi, aku tak mau bersikap munafik. Aku langsung melangkah maju dan memeluk tubuh Tania. Tubuhnya yang langsing dan tinggi sekarang berada di dalam dekapanku.

    Aku dapat merasakan kehangatannya, kelembutan dan kerapuhannya, begitu juga dengan wangi rambutnya yang membuatku melayang. Lalu kutatap matanya, dan kukecup bibirnya dengan lembut. Kecupan itu berubah jadi lumatan, lalu hisapan, bahkan sesekali ia memainkan lidahnya.

    “Mmmhh…”

    Hanya suara lenguhan pelan yang terdengar di antara kami. Bibirnya terasa manis dan lembut, seperti mengirimkan sensasi luar biasa di seluruh mulutku. Tak lama kemudian, ia memaksaku melepaskan ciuman.

    “Bego dasar! Gue nggak minta dicium, tapi gue minta lo remesin toket gue!” ucapnya sambil menahan tawa.

    Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kedengaran seperti lelucon yang sangat konyol.

    Aku duduk di atas kasurnya, “Tania, sini duduk, gue pangku.”

    Tania melangkah sambil tersenyum malu-malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang. Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa merasakan tonjolan penisku di pantatnya, tapi ia tak bilang apa-apa.

    “Oh iya, Di. Lo jangan macem-macem ya. Kita masih tetep temenan, jadi lo jangan ngelakuin hal yang lebih ya,” ucap Tania.

    “Iya, gue ngerti kok. Gue nggak akan ngelakuin yang nggak lo minta,”

    Aku melingkarkan tanganku di pinggang Tania, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar kaos.

    “Perut lo six pack ya?” tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa.

    Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah ketiak.

    “Duuh Adi… Please dong. Lo lebih suka megang ketek daripada toket ya?” Tania meledek.

    “Haha. Iya, iya.”

    Kugunakan jari-jemariku untuk menyentuh buah dada Tania, kutelusuri permukaanya, lalu kutekan-tekan sedikit. Rasanya lembut dan kenyal, jauh lebih intens dari yang aku rasakan waktu di bioskop. Dan ternyata ia tidak memakai bra, mungkin karena tadi sedang bersantai di kamar.

    “Mmmh…,” Tania melenguh pelan, seperti ditahan.

    Lalu kupijat lembut kedua payudaranya dari luar kaos. Kuremas-remas pelan. Ternyata ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari luar kaos, bahkan gunungnya masih cukup memenuhi telapak tanganku.

    Selain itu, bentuknya juga bulat dan kencang, sama sekali tidak kendor atau menggantung. Semakin lama pijatanku semakin kuat, kuremas dari bagian pangkal hingga ke putingnya. Samar-samar aku dapat merasakan putingnya yang sudah sangat keras. Langsung saja kuelus-elus menggunakan jari.

    “Haaaah… Di, pelan-pelan dong,” ucap Tania dengan nafas yang penuh desahan.

    Mendengar suara desahannya, penisku menjadi tegang dengan sempurna, mendesak ke arah pantat Tania.

    “Gue nggak ngerti nih, rasanya gue udah gila deh. Bisa-bisanya sekarang toket gue diremes-remes sama sahabat gue sendiri…, dan sekarang, tongkol sahabat gue itu ngaceng di pantat gue,” ujar Tania di sela desahan nafasnya, dan berusaha untuk tertawa.

    “Gue juga ngerasa ini bener-bener aneh,” ucapku sambil terus meremas buah dadanya.

    “Iya, aneh. Tapi enak. Ahhh…,” Tania mendesah panjang ketika kuremas bagian putingnya.

    Perlahan-lahan, Tania menggerakkan pinggulnya, memberikan gesekan pada penisku.

    “Uhhh… gila, enak rasanya,” ujarku.

    “Gue kasih bonus tuh dikit, hihi,” ucap Tania.

    “Mau gue isep pake mulut ga?” tanyaku padanya. Sekarang rasa malu dan canggungku kepadanya sudah hilang entah kemana. Mungkin tenggelam di lautan nafsu.

    “Mmmmh… Iyah… mau,” ucap Tania. Kemudian ia langsung berdiri dan membalikkan badan. Lalu ia duduk lagi di pangkuanku, kali ini saling berhadapan.

    “Kaosnya buka dulu dong,” ucapku sambil menunjuk kaos putihnya yang sudah lecek di bagian dada.

    “Nggak ah…! Nggak mau!” tolaknya sigap.

    “Lah, katanya mau diisep?” tanyaku.

    “Ya lo isep dari luar kaos aja, gimana?”

    “Susah dong….”

    “Pokoknya gue nggak mau buka baju, gue takut kebablasan ntar. Bahaya Di, kita kan cuma temenan. Lagian gue masih perawan gitu lho.” ceritasex.site

    Dasar aneh, gumamku dalam hati. Namun aku tetap menghargainya, bisa begini saja sudah merupakan mukjizat bagiku. Langsung kudekatkan kepalaku ke arah dadanya, lalu kuciumi buah dadanya dari luar kaos. Kucoba untuk menghisapnya. Rasanya pahit, kaos ini rasanya tidak enak.

    “Yaudah, gue kasih bonus lagi,” ucap Tania sambil menggoyangkan pinggulnya lagi. Kali ini penisku bergesek-gesekan dengan vaginanya secara tidak langsung. Rasanya membuatku kembali bergairah. Kugigit-gigit buah dadanya yang kanan, sementara yang kiri aku remas-remas.

    “Mmmmhh… Di… this is… our dirty little secret,” ucap Tania.

    Tiba-tiba saja ponsel Tania berdering. Merasa terganggu, aku menghentikan aktivitasku. Tania menoleh ke arah ponselnya, lalu segera meraihnya sambil tetap duduk di pangkuanku.

    “Cuma SMS,” kata Tania.

    “Siapa?” tanyaku.

    “Dari Santi. Dia bilang… dia lagi di jalan mau ke sini, lima belas menit lagi sampe,” jawab Tania sambi mengerutkan dahi.

    “Wah gawat, berarti kita harus udahan nih,” ucapku. Aku mulai panik, akan jadi bencana kalau sampai salah satu dari rangers lain mengetahui perbuatan kami.

    “Sebentar, jangan dulu,” ucap Tania.

    “Tapi sebentar lagi Santi mau kesini kan? Lo nggak mau kan kalau Santi sampe tau atau curiga?” tanyaku.

    “Iya, gue ngerti kok. Tapi masih ada lima belas menit. Please,”

    Tiba-tiba Tania menyentuh penisku dari luar celana, lalu membuka restletingnya. Ia menatapku dan tersenyum, “gue kocokin deh, yah?”

    Aku tak sanggup menolak.

    Bersambung…

    1 2 3 4 5 6 7 8 9
  • Hello world!

    Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start writing!

  • Pemain Kartu

    Pemain Kartu

    News Online Itil

    Cerita Sex Pemain Kartu – “Apa maksud elu?” aku bertanya balik kepada Rony. Waktu itu kami sedang bermain kartu di rumahku (seperti yang biasa kami lakukan beberapa kali dalam setahun) saat Rony menuduh aku sedang mencoba memamerkan istriku, Lisa.

    Memang benar aku bangga akan penampilan istriku. Dan memang aku menyuruhnya untuk mengenakan pakaian yang menarik lantaran beberapa teman akan datang berkunjung. Namun Rony mengintepretasikan semua itu dengan berlebihan.

    Menurutku sendiri, lebih baik Lisa tidak ada di rumah sama sekali karena malam ini seharusnya malam khusus para pria. Akan tetapi Lisa benar-benar tidak dapat pergi kemana-mana lagi jadi aku menyuruhnya untuk tetap tinggal dan menyiapkan makanan untuk kami.

    “Ayolah, ngaku saja, Bud. Apa dia selalu memakai rok pendek seperti itu di dalam rumah malam-malam begini?” tanya Rony setelah Lisa kembali ke dapur untuk mengambil minuman. “Yah, engga juga.

    Cerita Sex Pemain Kartu
    Cerita Sex Pemain Kartu

    Ngocoks Begini deh, berapa kali elu-elu datang ke rumah gue? Setiap kali gue ada tamu, gue mau semuanya terlihat baik. Kalau begitu kenapa elu enggak tuduh gue memamerkan lantai rumah gue yang mengkilap?”

    “Jangan bohong deh, Bud! Tiap kali kita datang ke mari pasti dia ada di rumah, dan lagi pakaiannya selalu seperti begitu!” Mario menambahkan. “Malah gue rasa kali ini dia enggak pakai BH. Bagaimana elu bisa bilang itu ga pamer?”

    Saat Lisa masuk kembali ke ruangan akhirnya mereka berhenti merongrongku. Ia baru saja hendak kembali ke dapur untuk menonton TV di sana ketika Rony mengajaknya untuk ikut bermain bersama kami.

    “Lagipula kamu ada di sini, jadi sekalian saja main bersama kami?” ajaknya. “Tapi kamu harus pakai uang kamu sendiri, engga boleh bergabung dengan suamimu!” tambah Mario.

    Lisa melihat ke arahku untuk meminta persetujuan dan aku hanya mengangkat kedua bahuku. Lisa selalu begitu, mengecek terlebih dahulu dengan keputusanku.

    Terkadang ia dicemooh dengan melakukan semua yang kukatakan, tapi aku sungguh menghargai sikap kesetiaan para istri pada jaman dulu. Itu salah satu alasan aku menikahinya.

    Ia duduk dan mulai bermain bersama kami. Sebenarnya aku tidak keberatan istriku bermain bersama kami tapi aku masih ingin membahas oborlan laki-laki bersama teman-temanku ini. Rony seharusnya bercerita tentang Maria sepupunya.

    Dia adalah satu-satunya selingkuhanku. Aku melakukan One Night Stand dengannya sekitar seminggu yang lalu ketika kami semua pergi ke klab malam dan saat itu aku mabuk berat. Pernikahanku bisa hancur kalau Lisa tahu tentang perselingkuhanku jadi aku belum menghubungi Maria sejak saat itu.

    Kami bermain sekitar satu jam ketika Lisa pergi ke dapur setelah kusuruh mengambilkan minuman lagi. “Pasti enak yah punya robot yang mengerjakan apa yang elu bilang,” kata Ron.

    “Pakai ini, ambil itu, lakukan ini,” tambah Mario. Ini cemoohan yang biasa Lisa dan aku terima. “Ayolah, brur. Elu-elu cuma iri. Siapa sih yang enggak mau perempuan seperti itu?” aku balik bertanya.

    “Elu bener, Bud. Gue juga mau punya istri yang mengerjakan apa yang gue suruh,” jawab Rony. “Gue juga mau. Mana remote controlnya? Boleh ga gue yang kontrol untuk puteran berikutnya?” tanya Karel.

    Aku masih menunggu Lisa kembali ke ruangan ketika Mario (yang sudah mabuk) berkata, “Hey bagaimana kalau pemenang dalam satu putaran berhak memegang remote control ini dan bisa mengontrol dia. Gue bakal pencet tombol ‘mute’ supaya dia enggak usah banyak omong, hahaha…”

    “Dia bukan robot. Dia engga melakukan semua yang gue suruh kok!” terusik oleh tuduhan itu aku mulai menaikkan suaraku.

    Rony kemudian berkata, “Kalau begitu, kita coba saja?”

    Mereka benar-benar gila. “Coba apanya?” tanyaku. “Pemenang dalam satu putaran dapat mengontrol dia? Elu-elu gila! Dia enggak akan pernah menuruti perintah elu-elu dan lagipula gue enggak bakalan menyuruhnya untuk ikut bermain permainan edan seperti ini. Lupakan saja!”

    “Jadi kalau elu bilang ke dia bahwa si pemenang boleh mengontrol dirinya, seperti yang setiap hari elu lakukan terhadap dia, istri elu enggak bakal menurut? Ha? Lisa itu engga punya pendirian sendiri deh dan pasti dia menurut,” kata Rony.

    Aku jadi tambah panas. “Dia melakukan apa yang gue bilang karena dia cinta gue, bukan karena dia enggak punya pendiriannya sendiri. Dia enggak bakal melakukan apa yang elu bilang tadi.” Ini mulai menjadi tidak karuan dan aku hendak menyudahi malam itu.

    Ron berdiri untuk melihat apakah Lisa masih berada di dapur lalu berbungkuk ke tengah-tengah kami lalu berkata, “Suruh saja dia untuk melakukannya dan kita lihat apa benar dia itu robot atau bukan. Elu bisa buktikan saat itu juga. Bagaimana?”

    “Enggak! Elu sama gilanya seperti si Mario. Jangan takabur deh!” teriakku.

    Karel lalu berkata, “Lalu apa yang elu khawatirkan? Elu khawatir kalau dia akan menuruti perintah kita-kita? Lagipula elu kan tahu kalau dia cinta elu dan enggak bakalan menuruti kita-kita karena dia punya pendiriannya sendiri. Kita lihat saja.”

    Lisa berseru dari dapur bahwa ia akan segera keluar membawa minuman. “Bud, elu cuma perlu minta sama dia untuk melakukan ini semua dan biar dia yang menentukan berikutnya. Atau elu mau gue ungkit-ungkit kejadian elu dan Maria?”

    Itil V3

    Sebelum aku dapat memberi jawaban Lisa masuk dan membagikan minuman lalu duduk. Rony menatapku seakan menunggu jawaban dariku. Aku membalas dengan pandangan tak senang untuk menunjukkan bahwa aku tidak akan melakukannya. Kami melanjutkan permainan kartu kami.

    “Oh iya, Bud, kemarin gue ngobrol-ngobrol sama sepupu gue Maria,” Rony memulai percakapan.

    Aku tidak menyangka Rony menyebut nama Maria saat itu dan dia benar-benar serius. Ini bisa menghancurkan pernikahanku jadi aku harus melakukan sesuatu. Akhirnya aku menyerah dan menginterupsi, “Permainan ini jadi membosankan nih. Mungkin kita perlu melakukan hal-hal konyol supaya jadi menyenangkan.”

    “Hal konyol seperti bagaimana?” Karel seakan mengejekku.

    “Lisa, bagaimana kalau elu berhenti main dan cuma menemani kita-kita saja? Toh uang elu juga sudah hampir habis,” kataku.

    “Ok, aku sudah capek juga lagipula,” katanya menyetujui.

    “Tapi untuk membuat taruhannya jadi menarik, elu harus menemani pemenang selama satu putaran,” tambahku menjelaskan.

    “Boleh, terserah saja,” jawab Lisa.

    Rony melafalkan nama Maria dengan mulutnya tanpa bersuara kepadaku sehingga aku dengan enggan melanjutkan, “Jadi elu harus menuruti perintah siapa pun pemenang di putaran itu, Lisa.”

    “Jadi kalau kamu tidak menang, berarti tidak ada yang mengambili minuman untukmu lagi,” Lisa bercanda.

    Ron lalu pura-pura bertanya, “Jadi kalau gue menang, dia harus menuruti perintah gue seperti dia menurut perintah elu?”

    “Iya!” jawabku.

    “Hanya untuk satu putaran,” tambah Karel. “Setelah itu pemenang putaran berikutnya yang akan memegang remote.”

    Mario berpikir menggunakan remote TV sebagai simbol merupakan ide yang cemerlang lalu ia meraih remote TV dari meja dan berkata, “Siapapun yang pegang remote ini bisa mengontrol dia.”

    Mendengar semua ini jelas-jelas membuat Lisa tersinggung. Ia marah. Bahkan terhadapku juga. Aku masih dapat memperbaiki ini semua tapi aku tidak dapat memperbaiki keadaan jika ia tahu tentang Maria.

    Oleh karena itulah aku harus berlagak seakan-akan aku menginginkan ia melakukan ini semua. “Apa bagaimana menurut elu, sayang?” tanyaku kepadanya.

    Ia memandangiku menunggu isyarat bahwa aku menyetujui hal ini. Ron bersandar ke arah belakang Lisa sehingga ia tidak dapat melihatnya.

    Lalu ia melafalkan nama Maria tanpa bersuara dengan mulutnya sambil mengangkat kedua bahunya. Terlihat jelas ia ingin aku juga mengangkat bahuku untuk menunjukkan sikap setuju. Akhirnya aku mengangkat kedua bahuku.

    “Oke, aku setuju.”

    Mario menaruh remote di tengah-tengah meja tempat chip-chip taruhan diletakkan dan kami mulai permainan itu. Kami bermain beberapa set dalam satu putaran, jadi dibutuhkan waktu kurang lebih 15 menit sampai ada pemenang untuk satu putaran. Dan pemenang putaran pertama adalah Karel. Ia meraih remote itu.

    Ia menyuruh Lisa mengambilkan minuman untuknya seperti yang biasa kuperintahkan kepada dia. Lisa baru saja hendak berdiri meninggalkan ruangan ketika Karel menyatakan bahwa ia hanya bercanda.

    Ia lebih memilih menyuruhnya duduk di samping menemaninya untuk membawa keberuntungan di set berikutnya. Lisa berdiri dan berjalan menghampiri Karel lalu berdiri di sampingnya. Menit berikutnya Karel berkata, “Kamu boleh duduk di sini, Lisa.” Ia mengeluarkan pahanya.

    Lisa tidak akan melakukannya. Aku tahu ia akan segera membantah dan Rony dapat menelan semua kata-katanya tentang Lisa tidak memiliki pendiriannya sendiri. Semua ini akan segera berakhir. Lisa terus memandangiku menunggu persetujuan dariku. “Apa kamu benar-benar mau aku melakukan apa yang mereka perintahkan?”

    Kemudian aku melihat Ron memberi isyarat sesuatu tentang Maria lagi dan menyuruhku untuk mengangkat kedua bahuku. Aku kembali mengangkat bahuku lalu Lisa duduk di pangkuan Karel!

    Kemudian Lisa berkata, “Terserah, tapi aku tidak mau membuatmu marah. Jadi kasih tahu aku jika kamu mau aku berhenti, sayang.” Coba saja ia tahu bahwa aku tidak dapat menyuruhnya untuk berhenti namun aku mempercayainya dan tidak mungkin ia terus duduk di pangkuan para pria ini hanya karena aku tidak berkeberatan.

    Aku duduk memperhatikan istriku memandangiku dari seberang meja, duduk di pangkuan pria lain. Setelah beberapa set, satu putaran akhirnya berakhir. Mario kali ini keluar sebagai pemenang dan meraih remote dari tangan Karel.

    “Ah, penyia-nyian saja,” katanya kepada Karel. “Ayo mana remotenya!” Ia berbalik ke istriku dan berkata, “Lisa…”

    “Apa, Mario?” sahutnya.

    “Hei, panggil aku sayang dong. Aku kan yang pegang remotenya, ayo,” Mario mengejek.

    Lisa terdiam beberapa detik lalu berkata, “Apa, sayang?”

    “Tadi sebelumnya kami menduga-duga, apakah kamu memakai BH di balik kaos itu?”

    Lisa terdiam lagi sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Tidak.”

    “Berhubung kelihatannya kamu tidak suka mengenakan pakaian dalam, bagaimana kalau kamu melepaskan celana dalammu juga?” Mario berkata sambil berpura-pura menekan tombol di remote TV itu.

    Lisa menatapku lagi selama beberapa detik lalu akhirnya berdiri. Dia mendesah dalam-dalam kemudian menurunkan celana dalamnya dan menanggalkannya.

    Selama dalam proses melepaskan celana dalam itu, Lisa menjaga dengan amat sangat hati-hati agar rok mini yang dipakainya tetap pada tempatnya sehingga menutup tubuhnya setiap saat. Setelah selesai melepaskan celana dalamnya, Lisa duduk di kursinya.

    Beberapa set berikutnya putaran tersebut akan segera berakhir. “Sial, gue udah mulai kalah nih! Lisa duduk di sini seperti yang kamu lakukan ke Karel. Mungkin bisa membawa keberuntungan untuk set yang terakhir ini,” kata Mario.

    Lisa berdiri dan menghampirinya. Kali ini keadaan lebih parah dari yang sebelumnya dan aku yakin Lisa dapat melihat perbedaannya. Kalau Karel masih mengenakan celana panjang, namun Mario hanya mengenakan celana pendek dan sekarang ia tidak mengenakan apa-apa di balik rok mininya itu.

    Mario mengeluarkan lutut kanannya yang tidak tertutup kain celana itu untuk Lisa duduk di atasnya. Dan Lisa dengan perlahan duduk menyamping pada paha Mario. Ngocoks.com

    Aku benar-benar tidak habis pikir! Tidakkah ia menyadari bahwa bagian tubuh pribadinya menyentuh langsung, kulit bertemu kulit, paha temanku yang tidak terlapisi kain itu?! Dan tidakkah ia sadar kalau ini sudah keterlaluan?!

    Akhirnya set itu berakhir dan Mario keluar sebagai pemenang sekali lagi. Setelah beberapa set berlalu ia berkata, “Lisa, kamu ini tidak sopan deh. Ayo, menghadap ke meja.” Lisa memutar kepalanya sedikit.

    “Bukan, maksud aku badan kamu yang menghadap ke meja. Nih kakimu putar ke depan supaya tubuh kamu menghadap ke meja dan dapat mengikuti permainan dengan lebih baik,” perintahnya.

    Lisa tahu apa yang Mario inginkan dan aku merasa lega ia tidak berniat untuk memberikannya kepada Mario. Lisa memindahkan kakinya dari posisi duduk melintang pada paha Mario ke posisi dengan kedua pahanya sejajar dan melewati lutut kanan Mario.

    Namun Lisa tetap mengepit kedua kakinya rapat-rapat. Mario berharap agar Lisa mengangkangi pahanya karena ia sudah tidak mengenakan celana dalam lagi. Akan tetapi aku sungguh bangga karena Lisa masih menjaga dirinya tetap santun dengan tidak membuka kakinya.

    Bersambung…

    Itil Service
    1 2 3 4 5
  • Tatapan Nakal

    Tatapan Nakal

    News Online Itil

    Cerita Sex Tatapan Nakal – Nova adalah sahabat karib Dika, katanya mereka akrab ketika masih sekolah di SMA, setelah berumah tangga mereka secara tidak sengaja bertemu lagi. Jika Dika istri bule yang statusnya tidak jelas.

    Maksudnya apakan nikah resmi, atau tidak resmi atau tidak nikah. Nova adalah istri resmi dari Gubernur salah satu provinsi. Nova tinggal di Jakarta, karena anaknya 2 orang sekolah di Jakarta dan suaminya juga lebih sering berada di Jakarta.

    Suaminya menjabat gubernur untuk masa bakti yang kedua. Nova adalah orang Jawa, tetapi beda dengan Dika, Nova kulitnya putih posturnya agak pendek, sekitar 160. Wajahnya cantik seperti selebrity. Bicara suka ceplas-ceplos. Mungkin pengaruh dari budaya Jawa Timur Surabaya, asalnya Nova.

    Orangnya cantik, masih langsing untuk ukuran wanita di usia 35 tahun. Namun tatapan matanya tidak bisa disembunyikan. Tatapannya nakal, mungkin karena itulah sang Gubernur tertarik. Nova berbeda 15 tahun dengan suaminya.

    Cerita Sex Tatapan Nakal
    Cerita Sex Tatapan Nakal

    Ngocoks Nova tertarik berkonsultasi denganku, karena kekhawatiran hartanya habis disita, kalau-kalau musibah terjadi. Dia sudah kugarap sejak hari pertama konsultasi denganku. Ketika hari pertama konsultasi, dia minta ketemu dulu di coffe shop di hotelku.

    Katanya gak enak kalau langsung masuk kamar, jadi ngobrol-ngobrol dulu di bawah. Aku melihat matanya yang nakal, mendorong keisenganku ngerjain. Sambil ngopi aku menjahilinya dengan pelintiran.

    Duduknya tidak bisa tenang, terus bergerak-gerak rada salah tingkah. Berkali-kali dia menarik nafas panjang, mungkin untuk menetralkan rangsangan yang makin lama, makin menggila.

    Tingkah lakunya seperti cewek kebelet pipis tapi ditahan. Dia hanya geleng-geleng saja ketika aku berpura-pura tanya soal kebelet pipis. “Aduh aku kenapa sih kok jadi begini,” katanya ketika berjalan bersamaku meninggalkan coffee shop menuju lift.

    Sambil berjalan aku terus garap, sehingga jalannya juga rada-rada aneh geraknya. Di dalam lift dia makin parah. Di lift hanya kami berdua. Tapi aku tidak mau berbuat macam-macam, karena ada cctv yang mengawasi.

    Dia berdiri sambil bersandar ke dinding lift dan berkali-kali membungkuk sambil memegangi selangkangannya. Aku cool saja. Setelah lift terbuka dia kelihatan terburu-buru menuju pintu kamar. Begitu pintu terbuka dia langsung masuk ke kamar mandi.

    Di dalam kamar mandi aku mendengar dia mengerang-ngerang sendiri. Sambil menunggu Nova di kamar mandi aku duduk di sofa sambil menyaksikan tayangan TV. Lama juga dia di kamar mandi, sementara itu aku masih terus menggarapnya.

    Aku sempat kaget ketika dia keluar dari kamar mandi sambil berlari lalu menubrukku yang sedang duduk bersandar di sofa. Aku dipeluknya dan langsung menyerbu bibirku yang dia ciumi ganas sekali.

    Aku sempat gelagapan karena tidak siap diserbu tiba-tiba. Aku kemudian mengimbangi keganasannya dan kurebahkan di sofa dan kutindih. Tanganku ditariknya ke dada dan membimbing tanganku meremas-remas teteknya yang lumayan besar juga.

    Dadanya aku remas-remas dari luar bajunya. Sementara itu tangannya membuka kaitan BH nya di belakang dan menarik tanganku agar masuk ke dalam bajunya untuk meremas payudaranya. Aku remas dan memelintir putingnya yang terasa cukup besar dan keras.

    Tangan Nova mencari jalan masuk ke dalam celanaku, dia membuka sabuk dan menarik resleting lalu tangannya langsung masuk dan menggegam penisku. Hanya sebentar dia meremas-remas penisku, lalu dia berdiri berusaha melepas celanaku. Setelah itu dia melepas celana dalamnya.

    Aku ikut berdiri dan aku bopong dia ke kamar tidur lalu kubaringkan di tempat tidur. Aku membuka seluruh pakaianku sampai bugil, semua pakaiannya juga aku lepas. Pemandangan indah segera tersaji di depanku.

    Aku sudah menghentikan pelintiranku. Setelah mencium bibirnya aku beralih menjilati pentil susunya yang sudah tegang menegak. Nova mengerang-ngerang sambil meremas rambutku.

    Tanganku memainkan memeknya yang bulunya tidak terlalu tebal. Belahan memeknya sudah banjir. Gampang saja aku menemukan itilnya yang sudah menegang. Tangannya menjambak-jambak rambutku dan dia mendorong kepalaku agar menuju ke bawah tubuhnya. Aku paham keinginannya, yaitu agar aku mengoralnya.

    Aku perlahan-lahan turun ke bawah lalu menjilati clitorisnya. Baru sebentar dia sudah orgasme. Kepalaku ditekan ke arah memeknya sampai aku sulit bernafas. Setelah orgasmenya tuntas dia menarik tubuhku ke atas . Aku paham dia menginginkan penisku masuk ke dalam memeknya. Mudah saja penisku masuk sampai kandas ke dalam liang vaginanya.

    Aku pompa sebentar lalu kutarik tubuhnya agar dia berada di atas, sambil menjaga penisku tetap berada di dalam memeknya. Di atas tubuhku Nova langsung duduk jongkok dan menggerakkan pinggulnya dengan gerakan penuh nafsu. Posisi aku di bawah membuat aku bisa mengontrol agar tidak buru-buru muncrat.

    Sekitar 5 menit kemudian dia ambruk dengan memeknya berdenyut-denyut. Penisku terasa dipijat-pijat. Aku melanjutkan permainan dengan membalik posisinya, lalu kugenjot dia. Aku sengaja tidak ingin berlama-lama, sehingga aku akhirnya mencapai puncak kepuasan.

    Kami berdua berbaring sambil menatap langit-langit. “Auramu mesum banget sih Rud. Baru ngobrol sebentar aja memekku rasanya kayak dikilik-kilik, makin lama rasanya jadi bikin tambah nafsuin. “katanya.

    “Aneh kenapa bisa gitu ya,” tanyaku belagak bodoh.

    “Seumur-umur aku belum pernah memekku terangsang gitu, dalam keadaan tidak bercumbu,” katanya.

    “Apa akibat obat perangsang ya, eh tapi di coffee shop tadi yang minum cuma kamu ya Rud, gw malah gak minum apa-apa, bagaimana bisa kena obat perangsang, ah gak mungkin deh, sorry Rud gw jadinya nuduh elu,” ujar Nova.

    Itil V3

    “Gw jadi rasanya enak banget tadi mainnya ama kamu, kayak orang lapar dapat makanan enak,” katanya.

    Ngomongnya jadi soal hubungan sex saja sampai-sampai dia ngaku sesekali pakai gigolo, karena kurang puas sama suaminya. Sebab suaminya jarang ngajak hubungan, kalau pun hubungan cuma sebentar, aja. “ngotor-ngotorin memek aja,” istilah Nova ke suaminya.

    Rupanya Dika sudah bercerita soal bagaimana dia dipuaskan bermain denganku. Ini yang membuat Nova penasaran ingin mencoba permainanku. Aku lantas memakai alasan itu yang mungkin menyebabkan Nova terangsang sebelum tersentuh. Dia rada percaya juga, tapi masih tetap merasa kurang masuk akal.

    Kami berdua ngobrol di tempat tidur sambil duduk bersila berhadap-hadapan tentunya dalam keadaan bugil. Aku memberikan konsultasi mengenai bagaimana harta bendanya diamankan dari kemungkinan disita jika kemungkinan terjadi musibah.

    Aku tidak mencatat inventarisasi harta bendanya, karena malas mengambil catatan dan kertas. Namun begitu harta benda yang dia sebutkan lumayan banyak juga. Aku membatin, “gila juga si gubernur ini korupsinya sampai punya harta benda begitu banyak.

    Pada hari kedua konsultasi diminta ditunda sampai pada tanggal yang dia tetapkan. Aku nurut saja. Pada hari yang dijanjikan seperti biasa aku menunggu di coffee shop, setengah jam sudah lewat dari jam yang ditetapkan mereka belum juga muncul.

    Makan aku gak selera karena baru nyikat sop buntut, ngopi sudah habis. Tante Nova belum juga datang, aku mau call dia, tapi rasanya kok gak enak. Aku menyapu pemandangan ke sekitar coofee tshop.

    Mataku terhenti pada pemandangan menarik kira-kira 10 meter dari tempat ku duduk. Seorang wanita mengenakan kaca mata hitam, bodynya sexy banget karena mengenakan kaus ketat, kulitnya putih, lengannya terlihat putih bening.

    Kutaksir umurnya belum 25 tahun, karena bodynya masih belum banyak lemak. Kayaknya ada darah china nya, tapi wajahnya agak Indonesia juga. Rambutnya seperti dicat agak coklat. Dari gayanya duduk dan pandangannya dia seperti menunggu seseorang.

    Wah boleh juga aku isengi. Aku mulai beraksi dengan pelintiran ku. Beberapa saat kemudian mulai terlihat reaksinya. Duduknya gelisah, sebentar-sebentar memegang pahanya yang mengenakan blue jeans stretch.

    Sekitar 10 menit aku siksa lalu aku hampiri dengan berpura-pura pinjam korek api. Kulihat tadi dia merokok. Dia mengizinkan aku duduk semeja. Sementara itu aku masih terus menyiksanya dengan pelintiran clitorisnya secara jarak jauh.

    Dia masih terus gelisah. Aku tanya apakah ada sesuatu, atau kebelet pipis. Dia hanya menggelengkan kepala. Tiba-tiba teleponku bergetar, Tante Nova, dia mengabarkan agak terlambat, dan memohon aku sabar. Aku iya kan saja, she is the boss.

    Sementara aku terima telepon aku menghentikan pelintiran, Kulihat dia baru tenang dan menarik nafas panjang. Kami berkenalan dia menyebut namanya Fina, janjian sama temennya. Aku tidak tanya temen laki apa perempuan.

    Fina mengaku terus terang bahwa yang ditunggu adalah pria. Yang ditunggu itu datang dari Surabaya. Dia katanya sengaja datang sebelum waktu dijanjikan, Ketika baru duduk temannya mengabarkan bahwa pesawatnya delay.

    Mestilah yang ditunggu itu sangat penting bagi dirinya sehingga dia mau mengorbankan waktu begitu banyak. “Bete banget nih nunggu berapa lama gw,” katanya.

    Aku sarankan jalan-jalan saja keliling mall, kan gak terasa waktunya . “Ah males ah, gw lagi gak punya duit, ke mall malah tersiksa,” katanya.

    Nekat aja aku tawarkan istirahat di kamarku. “Eh kamu tamu hotel di sini ya, “ tanyanya sambil membelalakkan mata, kayak takjub gitu.

    ‘Ehmm emang gak apa-apa kalau aku numpang istirahat dikamar kamu Rud,” katanya.

    “ Ah ya gak apa-apa lagian aku juga janjian ama orang, dia datangnya gak tau kapan,” kataku.

    “Boleh deh,” katanya lalu bill nya aku sign.

    Aku menduga dia begitu mudah aku ajak masuk ke kamar, karena pengaruh pelintiranku tadi, sehingga ketika aku dekati dia wellcome aja.

    “Wah kamarnya bagus amat, besar lagi, wah asyik nih,” katanya.

    “Kenapa asyik, “ tanyaku.

    “Ya asyik aja,” katanya senyum-senyum.

    “Eh gw boleh numpang ke kamar mandi ya,” tanyanya.

    “Ya boleh lah, emang tadi belum mandi,” godaku.

    “Enak aja, mau pipis tau,” katanya mencibir.

    Kesempatan dia di dalam kamar mandi aku mengaktifkan lagi pelintiranku. Aku berbaring di tempat tidur sambil menyaksikan tayangan TV.

    “Aduh kumat lagi, aduh,” suara teriakannya terdengar.

    Tidak lama kemudian dia keluar dan mencariku dengan memanggil-manggil namaku. Aku sahut dari kamar tidur.

    Begitu masuk kamar tidur dia langsung menubrukku dan menindih badanku. “Aduh aku kok jadi konak sih, memek gw kayak dikilik-kilik gitu ,” katanya sambil berada di atas tubuhku.

    Bibirnya aku cium lalu disambut dengan ganas. Aku lepas kemudian menyarankan sama – sama buka baju biar gak kusut. Dia setuju saja langsung bangkit dan melepas semua bajunya sendiri lalu dilipat di letakkan di meja kecil di samping tempat tidur.

    Bodynya luar biasa mulus, ramping dan teteknya tidak begitu besar, tetapi lumayan besar untuk diremas-remas. Putingnya masih kecil berwarna merah muda, memeknya tidak berjembut kelihatannya dia cukur gundul jadi bentuknya yang tembem kelihatan menggairahkan.

    Aku yang lebih cepat membuka baju sudah lebih dulu masuk kedalam selimut. Aku menikmati tontonan tubuh cewek yang baru ku kenal, dan sekarang sudah bugil di depanku.

    Dia masuk ke dalam selimut tetapi posisinya menindihku. “Rud kamu bisa jilatin memek kan, “ katanya.

    “Mau,” tanyaku.

    “Banget,” katanya.

    Aku buka selimut dan dia kubaringkan dengan kaki terbuka dan melipat pahanya ke atas. Aku langsung membekap memeknya dengan mulutku.

    Lidahku menemukan tonjolan kecil di ujung atas memeknya dan titik itulah yang aku serang. Fina menggelinjang dan merintih-rintih. Sekitar 5 menit dia sudah kelojotan dengan orgasmenya.

    Bersambung…

    Itil Service
    1 2
  • Resah Gelisah

    Resah Gelisah

    Cerita Sex Resah Gelisah – Tak terbayangkan aku bisa berbuat seperti yang ada di ceritaku ini, kisah sex ini terjadi di komplek perumahan yang aku tinggali, aku sudah berkeluarga dengan suami yang aku cintai dan sayangi namanya mas Wardi umurnya 37 tahun dia cukup cakep dengan jabatan sebagai insinyut di perusahaan konstruksi.

    Aku sendiri Ani, 32 tahun, cukup cantik, bahkan menurut tetanggaku aku sangat cantik, hingga mereka bilang aku mirip Ussy Sulistiowati, itu lho pembawa acara KDI yang berpasangan dengan Ramzi di stasiun televisi TPI.

    Setiap keluar rumah, aku selalu memakai jilbab panjang yang tersampir hingga pinggang, lengkap dengan jubah panjang yang menutupi seluruh tubuh. Aku pun aktif di pengajian-pengajian yang sering diadakan di sekitar rumahku.Memang kuakui aku agak kesepian.

    Sejak 5 tahun perkawinan, kami belum juga dikaruniai anak. Saat-saat suami tak di rumah aku sering khawatir dan cemburu, takut dia mencari perempuan lain yang bisa memberikan anak.

    Cerita Sex Resah Gelisah
    Cerita Sex Resah Gelisah

    Ngocoks Demikian pula saat suami sedang sibuk atau lelah dan tak banyak ngomong, aku sudah cepat curiga dan cemburu pula. Aku sering membesarkan hati sendiri, bahwa tak ada yang kurang dari diriku. Pakaian islami, tubuh sintal, kulit putih, ukuran payudara 36B, pantat pun masih montok, tak mungkinlah suamiku mencari wanita lain di luar sana.

    Demikianlah pada suatu ketika karena aku ada sedikit gangguan kesehatan, aku pergi berobat ke sebuah poliklinik posyandu yang tidak jauh dari rumahku. Biasanya suamiku sendiri yang mengantar ke RS Medika Kuningan, tetapi karena sedang tugas keluar kota jadi aku harus ke dokter sendiri.

    Hari itu aku memakai jubah panjang yang berwarna putih serta jilbab berwarna merah muda yang juga panjang.Saat aku turun dari angkot (kendaraan umum) nampak di ruang tunggu posyandu sudah penuh orang.

    Tetapi aku santai saja karena memang tak ada urusan yang menunggu sehingga harus buru-buru. Mas Wardi, keluar kota untuk 1 minggu sejak kemarin pagi. Aku juga tak perlu masak memasak. Kami berlangganan makanan dari tetangga yang mengusahakan catering.

    Sesudah beberapa saat menunggu, aku berasa kepingin ke toilet untuk kencing. Sesudah melalui lorong poliklinik yang cukup panjang dan kemudian deretan pintu toilet untuk lelaki aku sampai ke toilet perempuan.

    Pada saat inilah peristiwa itu terjadi hingga melahirkan cerita ini. Tanpa sengaja saat melewati toilet lelaki aku menengok ke sebuah toilet yang pintunya menganga terbuka. Aku langsung tertegun dan sangat kaget seakan tersengat listrik. Kusaksikan seorang lelaki sedang berdiri kencing dan kulihat jelas pancuran kencingnya yang keluar dari kemaluannya yang nampak tidak tersunat.

    Yang membuat aku tertegun adalah kemaluan lelaki itu. Aku anggap sungguh luar biasa gede dan panjang. Dalam pandangan yang singkat itu aku sudah berkesimpulan, dalam keadaan belum tegang (ngaceng) saja sudah nampak sebesar pisang tanduk. Aku tak mampu membayangkan sebesar apa kalau kemaluan itu dilanda birahi dan ngaceng.

    Aku masih tertegun saat lelaki itu menengok keluar dan melihat aku sedang mengamatinya. Entah sengaja atau tidak, dia menggoyang-goyangkan kemaluannya itu. Mungkin untuk menuntaskan kencingnya. Aku cepat melengos. Aku malu dikira sengaja untuk melihatinya.

    Dan aku juga malu pada diriku sendiri, sebagai istri ataupun wanita sebagaimana yang aku gambarkan di atas tadi. Tetapi entahlah. Barangkali lelaki tadi telah sempat melihat mataku yang setengah melotot melihat kemaluannya. Aku sendiri jadi resah. Hingga sepulang berobat itu perasaanku terus terganggu.

    Aku akui, oleh sebab peristiwa itu selama aku menunggu panggilan dari petugas poliklinik, pikiranku terus melayang-layang. Aku tak mampu menghilangkan ingatanku pada apa yang kusaksikan tadi. Mungkin aku tergoda. Dan tidak sebagaimana biasanya, libidoku terganggu.

    Bayangan akan seandainya kemaluan sebesar itu menembusi vaginaku terus mengejar pikiranku. Jantungku terus berdegup kencang dan cepat. Entah apa yang kumaui kini. Kenapa aku jadi begini?! Seorang Ani Nurul Hidayah yang cantik, terhormat, dan alim tak boleh berpikir seperti ini !Bahkan kini aku mulai mencari-cari, siapa sebenarnya lelaki itu.

    Kutengok-tengok di antara pengunjung yang berada di ruang tunggu dan juga sepintas yang ada di teras dan halaman kebun, namun aku tak pernah menjumpainya lagi. Khayalanku bahkan terus bergerak menjadi demikian jauh.

    Kubayangkan seandainya kemaluan macam itu berdiri tegak macam Tugu Monas. Dan aku berada di dekatnya hingga hidungku disergap aroma kelelakiannya sambil aku membayangkan menjilati kemaluan tegak itu.

    Ahh.. Tanpa sengaja tanganku memilin puting susu dari balik jilbab panjangku. Rasa gatal kurasakan pada ujung-ujung pentilku, begitu hebat.2 hari kemudianAku sedang menyirami kembang di halaman saat aku dengar tukang pengumpul koran lewat depan rumahku,

    “Koran bekas.. Korraann…” teriakannya yang khas.

    Sudah lebih dari 3 bulan koran bekas numpuk dekat lemari buku. Aku pikir kujual saja untuk mengurangi sampah di rumah.

    Tanpa banyak pikir lagi,

    “Bang, tunggu, saya punya koran bekas, tuhh…” sambil aku beranjak memasuki rumah untuk mengambilnya.

    Namun ternyata koran sebanyak itu cukup berat. Kuputuskan, biar si Abang itu saja yang mengambilnya. Kusuruh dia masuk sambil sekalian bawa timbangannya.

    Sesudah mengikatnya dengan rapi dan menimbangnya, dia memberikan Rp. 10.000, padaku untuk harga koran itu.

    “Terima kasih, Bu..” Dan aahh.. Kurang ajar bener nih Abang.

    Saat menyerahkan uang di ruang tamu rumahku itu tangannya setengah meraih dan kurasakan hendak meremas tanganku.

    Aku tarik secepatnya dan.. Aku kaget. Bukankah ini lelaki yang kulihat di poliklinik kemarin. Orang yang telah membuat jantungku berdebar keras-keras. Semula aku hendak marah, namun kini ragu. Hatiku bicara lain. Bukankah dia yang telah mampu membuat aku resah gelisah.

    Bu Ani yang alim ini kini tertegu penuh birahi di hadapan seorang kuli pengumpul Koran bekas. Tak terelakkan mataku mencari-cari. Mataku menyapu pandang pada tubuhnya. Berbaju kaos oblong sisa kampanye Pilpres I yang berlogo salah satu calon presiden itu, aku memperhatikan gundukan menggunung pada selangkangan yang bercelana jeans kumel.

    Namun bila dilihat lebih jelas lagi, ternyata Abang ini bersih dan.. Sangat jantan.

    “Haahh… rasanya saya pernah lihat Abang ini, deh,” begitu aku berpura kelupaan.

    Dia melihati aku dengan pandangannya yang tajam menusuk. Terus terang aku jadi takut dan bergidik. Mau apa dia ini? Dan yang terjadi adalah langkah pasti seorang pejantan,

    “Yaa.. Aku melihat ibu di poliklinik itu, khan. Waktu itu ibu menengok aku yang sedang kencing?!”

    Aku nggak setuju dengan tuduhannya itu. Namun apa sih artinya. Toh terbukti dia telah menggetarkan jiwaku. Dan dengan penuh percaya diri yang disertai senyumannya yang mesum dia mendesah berbisik..

    “Aku sering berselingkuh dengan perempuan di luar istriku, Bu. Aku tahu kebanyakan perempuan suka dengan apa yang aku punya. Aku sangat tahu, Bu,” dengan bisik desah serak-seraknya tanpa ragu dia membanting dan merobek-robek harga diriku.

    Dan yang lebih hebat lagi.

    “Nih….. Ibu mau lihat?,”

    Tanpa ragu lagi di cepat membuka celananya dan mengeluarkan kemaluannya yang masih belum tegak berdiri. Namun aku sekarang menjadi sangat ketakutan.Bagaimana seandainya dia bukan hanya menarik hati saja tetapi juga berbuat jahat atau kejam atau sadis padaku. Apa jadinya? Ahh, dia telah melumpuhkan pertahanan diri ku yang berjilbab panjang ini.

    “Nggak, Bang.. Cukup. Terima kasih.. Sudah tinggalkan saya.. Tinggalkan rumah ini,” kataku panik, cemas, takut dan rasanya pengin nanis atau minta tolong tetangga.

    Tetapi semuanya itu langsung musnah ketika tanpa terasa tanganku telah berada dalam genggamannya dan menariknya untuk disentuhkan dan digenggamkan ke batang kemaluannya yang kini telah bangkit membusung, dengan sepenuh liku ototnya, dengan semengkilat bening kepalanya, dengan searoma lelaki yang menerpa dan menusuk sanubariku.

    “Lihat dulu, Bu.. Jangan takut.. Aku nggak akan menyakiti ibu, koq,” bisiknya setengah bergetar, terdengar begitu penuh pengalaman dan sangat menyihir.

    Dan aku benar-benar menjadi korban tangkapannya seperti rusa kecil dalam terkaman singa pemangsanya.

    “Lihat dulu neng…” sekali lagi diucapkannya.

    Kali ini dengan tangannya sambil meraih kemudian menekan bahuku untuk bergerak merunduk atau jongkok. Dan sekali lagi aku menjadi begitu penurut. Aku berjongkok. Dan kusaksikan apa yang memang sangat ingin kusaksikan dalam 2 hari terakhir ini.

    Aku yang masih mengenakan jilbab panjang berwarna hitam ini kini tengah berhadapan langsung dengan kemaluan seorang pria yang bukan suamiku, dan aku tengah terangsang. Ini bukan saja pesona. Ini merupakan sensasi bagi aku, Ibu Ani yang santun dan alim, istri manager yang juga insinyur itu.

    Kini aku bergetar. Dengan jantungku yang berdegup-degup memukul-mukul dada mataku nanar menatap kemaluan lelaki lain. Sungguh aku terpesona. Kemaluan itu nampak sangat ‘ngaceng’ bak laras meriam yang lobangnya mengarah ke wajahku.

    Aku menyaksikan lubang kencing yang menyihir libidoku. Aku menyaksikan ‘kont0l’ yang dahsyat. Aku langsung lumpuh dan luluh. Aku terjerat kelumpuhanku. Demikianlah pula saat kusaksikan ujung meriam itu mendekat, mendekat, mendekat hingga menyentuh pipiku, hidungku dan bibirku.

    Yang kemudian kudengar adalah sepertinya ‘suara jauh dari angkasa’ yang penuh vibrasi,
    “Jilat, neng jilbab, isep. Banyak koq ibu-ibu pengajian yang sudah menikmati ini juga. Isep kont0lku, neng. Aku ingin merasakan bibir neng jilbab yang sangat cantik dan seksi ini. Aku ingin merasakan isepan mulut neng yang pake jilbab panjang ini”

    Tangan kanannya menekan kepalaku yang masih berbalut jilbab dan tangan kirinya mengasongkan ‘kont0l’nya ke mulutku.

    Bagaimana aku mampu mengelak sementara aku sendiri serasa lumpuh sendi-sendiku. Aku merasakan ada asin-asin di lidahku. Aku tersadar. Aku jadi sepenuhnya sadar namun segalanya tengah berlangsung.

    Aku tak mampu menghindar, baik dari kekuatan fisikku maupun dari tekad yang dikuasai rasa bimbang. Tidak lama. Mungkin baru berlangsung sekitar 1 atau 2 menit saat ‘kont0l’ itu terasa semakin mengeras dan memanas. Mulutku penuh dijejali bongkol kepalanya yang menebar rasa asin itu.

    Sambil berdiri mengangkangi aku yang jongkok di depannya si Abang dengan sangat kuat mendorong-dorong kepalaku dan menggoyangkan pinggulnya mendorong dan menarik ‘kont0l’nya ke mulutku. Lagi, lagi, lagi.

    Hingga nyaris membuatku tersedak. Rasanya ujung ‘kont0l’ itu telah merangsek maju mundur ke gerbang tenggorokanku. Kedutan-kedutan besar yang disertai semprotan-semprotan lendir kental yang hangat penuh muncrat ke haribaan mulutku.

    Aku tahu persis, si Abang telah menumpahkan air maninya ke mulutku. Dan kemudian yang tak kuduga sebelumnya adalah saat dia memencet hidungku hingga dengan ngap-ngapan aku terpaksa menelan tuntas seluruh cairan kentalnya dan membasahi tenggorokanku.Sepertinya aku minum dan makan kelapa muda yang sangat muda.

    Lendirnya itu demikian lembut memenuhi mulut untuk kukunyahi dan terpaksa menelannya. Bahkan pada suamiku aku tak pernah merasakan macam ini. Rasanya aku akan jijik dan tak akan pernah melakukannya pada Mas Wardi. Aku masih tertegun dan setengah bengong oleh rasa yang memenuhi rongga mulutku saat dia menggelandangku ke kamar tidurku.

    Dengan tenaga kelelakiannya dia angkat dan baringkan tubuhku ke ranjang pengantinku. Entah kekuatan apa, aku tak mampu mengelakkan apa yang si Abang ini perbuat padaku. Dia lepasi busanaku. Dia tarik hingga robek jubahku. Demikian pula pakaian dalamku. Namun yang aneh, dia menyisakan bakutan jilbab panjang berwarna hitam tetap menempel di kepalaku.

    Dia renggut BH-ku seketika hingga aku juga yakin kancing-kancingnya lepas. Dan tak ayal pula di renggut celana dalamku. Dia ciumi celana itu sambil menebar senyuman birahi dari gelora syahwatnya yang sedang terbakar berkobar.

    Kemudian rebah menindih tubuh telanjangku.

    “Neng muslimah, biar aku buat neng ketagihan yaa.. Nikmati kont0lku neng. Mahal nih. Aku tak mau sembarang ibu-ibu aku layani. Aku hanya milih-milih saja,” begitu suara orang yang dilanda prahara birahi sambil tangannya meremasi pinggul kemudian bokongku sementara bibirnya yang demikian tak terawat nyosor untuk melumat bibirku.

    Aku berusaha menolaknya. Rasa jijik dan enggan menderaku.Namun sasaran berikutnya benar-benar membuat aku menyerah. Dia ‘kemot-kemot’ pentil susuku. Dia gigiti dagingnya. Entah berapa lama dia isepin dan tinggalkan cupang-cupang kotor pada seluru bidang dadaku, leherku, bahuku, ketiakku.

    Kemudian juga turun keperut, ke selangkangan, ke pahaku. Adduuhh.. Ini sungguh sangat surgawi. Kenikmatan hubungan seksual yang belum pernah aku dapatkan dari suamiku.

    Dan ketika puncak birahinya datang, si Abang ini naik merangsek dan menindih kembali tubuhku. Kurasakan ‘kont0l’nya mulai menggosok-gosok paha dan selangkanganku. Aku sudah benar-benar terbius. Dorongan nafsu birahiku sudah berada di ambangnya.

    Aku sudah tak mampu lagi menahannya. Kini desah, rintih, jerit tertahan keluar dari mulutku dan memenuhi kamar pengantinku yang sempit ini, Ngocoks.com

    “Tolonng baang.. Ayoo, Bang.. Aku sudah nggak tahaann.. Toloong.. Enak bangeett baang.. Aku cinta kont0l abaang.. Biar aku minum lagi pejuh aba nanti yaa…” kuraih kemaluan besar itu dengan cepat dan kutuntun untuik menembusi kemaluanku yang sudah sangat menantinya.

    Masih dalam upaya penetrasi, dimana ujung ‘kont0l’ dahsyat itu sedang menerpa-terpa bibir kemaluanku ketika aku meraih orgasme pertamaku. Aku kembali menjerit dan mendesah tertahan. Kulampiaskan nafsu syahwatku. Kurajam pundak si Abang dengan cakarku. Kuhunjamkan kukuku ke dagingnya.

    Rasanya kemaluanku demikian mencengkeram untuk mempersempit kepala kemaluan itu menembusinya. Namun rasa gatal ini sangat dahsyat. Si Abang cepat menerkam bibirku sambil mendesakkan kont0lnya dengan kuat ke lubangku.Begitu blezz.. Aku langsung diterpa orgasme keduaku. Ahh.. Inikah yang disebut orgasme beruntun? Hanya selang 10 detik aku mendapatkan kembali orgasmeku.

    Ternyata memang inilah. Dalam hujan keringat yang menderas dari tubuhku dan tubuhnya selama 2 jam hingga jam 4 sore, aku mendapatkan orgasme beruntunku hingga sekitar 10 atau 12 kali.

    Aku tak mungkin melupakan kenikmatan macam ini.

    Mungkin aku tertidur karena puas dan lelah yang kudapatkan.Aku terbangun saat kupingku mendengar telpon berdering. Aku bangun dan lari untuk mengangkatnya,

    “Jeng Ani, apa kabar..? Sehat? Aku sedang berada di pusat kerajinan di Balikpapan, nih. Banyak barang-barang artistik disini. Pasti kamu senang. Mau dibeliin apa?,” demikanlah kebiasaan suamiku kalau bertugas keluar kota. Dia selalu sempatkan mencari barang-barang kerajinan asli setempat.

    Dia tahu aku sangat menyenangi barang-barang macam itu. Kasihan, sementara dia bekerja keras jauh dari rumahnya, dia telah kehilangan permatanya..Ternyata dengan aku telah meninggalkannya dalam selingkuhku dengan si Abang.

    Cerita Sex Perampokan Tragis

    Masih pantaskah aku menjadi istri yang alim dan terhormat? Kulihat si Abang telah pergi. Mungkin sebelum aku terbangun tadi. Tumpukkan koran itu telah dibawanya. Kulihat barang-barangku yang lain tak ada yang berubah dari tempatnya. Ah, terkadang kita cepat curiga dengan orang lain yang kelasnya se-akan dibawah kita.

    Aku masih termangu hingga sore mengendap dan menggelap. Bibir dan dinding kemaluanku masih terasa pedih. Aku nggak tahu. Aku ini menyesal atau tidak atas selingkuh yang telah aku perbuat.

    Bahkan aku juga lupa Mas Wardi mau belikan apa tadi?! Yang aku mencoba mengingatnya hanyalah sekitar 10 atau 12 kali aku telah meraih orgasme dalm berasyik masyuk sepanjang 2 jam dengan Abang pengumpul koran bekas tadi. Mungkin itu akan menjadi rekor seumur hidupku.

  • Cinta Terlarang

    Cinta Terlarang

    Cerita Sex Cinta Terlarang – Aku, Salim 22 tahun, memiliki seorang tante yang berusia 21 tahun. Kok bisa? begini cerita nya. Saat aku berusia 1 tahun, tante aku baru lahir (Teman ts juga ada yang seperti itu soalnya). Ini membuat tante aku terlihat seperti dia adikku padahal dia faktanya adalah tanteku yang tak lain adalah… adik dari ibuku.

    Keluarga kami bukan keluarga yang… betul betul harmonis. Ayah ibuku lebih seperti diktator dan mereka juga tak jarang menindas yang lebih muda. Tanteku? Senasib. Dia sering dimarahi oleh nenek ku dan ibuku juga. Kami berdua senantiasa dikekang, tidak boleh ini itu sampai sma semua mulai dilonggarkan.

    Untuk mencegah hal hal aneh juga bahan omongan orang orang reseh, kami berdua mengaku sepupu meski kenyataan tidak demikian. Dia cantik dan tentunya… masih sangat muda namun… dia dipaksa menikah oleh nenek ku di usia 18 tahun saat baru lulus sma. Dia sebenarnya sangat sedih karena dia ingin kuliah juga.

    Aku sudah tahu itu akan terjadi karena tanteku tidak memiliki rasa cinta terhadap suaminya. Dia beruntung dia belum sempat hamil. Aku melanjutkan kuliah ku di Vancouver, Canada mengambil jurusan teknik sipil. Aku tinggal di apartemen seorang diri di sana.

    Cerita Sex Cinta Terlarang
    Cerita Sex Cinta Terlarang

    Ngocoks Apartement ini masih memiliki 1 kamar kosong dan 1 kamar mandi juga, tapi karena yang tinggal hanya Aku Seorang, jadi kamar itu dibiarkan terbengkalai tapi tetap sering aku bersihkan.

    Suatu pagi, saat aku baru selesai sarapan, ada seseorang yang mengetuk pintu ku. Aku buka pintu itu dan… tanteku di depan sana seorang diri membawa koper nya. “Lah tante. Kok bisa di sini? Kenapa ya? Tumben dadakan.” Tanyaku yang sangat terkejut. “Tante menyusul kamu lah. Kuliah. Gak banget deh menikah di usia segitu muda.

    Setelah dia masuk, dia tiba tiba memeluku aku dan menangis. “Tante senang banget sekarang, Lim. Merdeka. Dah cerai sama dia.” Tangis nya. “Mama kamu yang membantu tante nanti kuliah di sini. Hiks…” tangis nya. Aku membelai Rambut tante ku. Sungguh, meski dia tanteku, aku merasa… aneh… karena ada dentuman cinta di hatiku.

    Suatu perasaan di mana aku ingin melindungi dia dan menjaganya seperti seorang kekasih. Dia sangat cantik dan tubuhnya juga sangat indah. Tinggi 165 cm berat 45 kg. Tubuhnya sangat bagus dan langsing. Rambut panjang lurus dan kadang dia masih memakai bando yang ada pita nya membuat dia terlihat seperti anak anak.

    Aku yang menghabiskan banyak waktu bersama dia sejak kecil, tentu saja sangat akrab dengan nya. Dia seperti seorang adik bagiku. Meski dia tanteku, dia lebih muda dan tentu saja sikap dia ya sama saja dengan perempuan seusia nya. Tanpa basa basi, dia melepaskan pelukan nya dan segera membereskan barang barang nya.

    Untungnya aku sedang libur kuliah saat itu dan dia akan mulai kuliahnya di fakultas hukum. Awalnya dia ingin menjadi seorang dokter tapi sejak kasus kdrt yang sering dia alami, dia berubah haluan ke hukum.

    Ya itu hak asasi dia. Bukan urusanku. Dia ini yang kuliah, pikirku. Setelah dia membereskan semua barang nya di kamar besar yang terbengkalai tapi tetap bersih itu, aku mengajaknya ke bank untuk membuka rekening bank dan segala macam urusan agar mempermudah hidupnya di Canada.

    Setelah seharian penuh menelusuri kota itu dan mengurus segala hal administrasi, kami pergi makan malam dan pulang kembali ke apartemen untuk beristirahat. Setelah mandi, kami berdua nonton tv.

    Usut punya usut, tanteku ternyata fasih berbahasa inggris dan saat aku tanya dari mana dia mempelajari bahasa itu dalam waktu singkat, jawabannya…

    Dia menyukai teori konspirasi yang berbau alien, UFO dsb. Itu sebab dia mempelajari bahasa itu dalam waktu singkat. YouTube nya dia sendiri juga tidak ada bahasa indo nya. Jelas saja dia fasih dalam waktu singkat. Kami berdua sedang menonton drama kung flu parodi berjudul “kisah Li Jun” yang tentunya ada subtitles bahasa inggris.

    Kami berdua tertawa dan aku sendiri jujur saja belum pernah melihat dia begitu bahagia, seperti seseorang yang baru keluar dari penjara. Senyumnya asli tidak dibuat buat dan tak lama kemudian, dia menangis dan memelukku. “Tante, kenapa lagi? Film lucu gitu kok malah menangis?” Tanyaku heran.

    “Tante Sudah lama tidak tertawa dan bahagia seperti ini, Lim. Hiks.” Jawabnya sambil menangis. “Pernikahan Tante itu juga didukung oleh mama mu. Dia merasa bersalah dan sebagai ‘kompensasinya’, dia akan membiayai kuliah tante.” Jawab tanteku. Aku Kemudian merangkul nya dan memeluk dia sambil mencium keningnya.

    Aku berkata pada Tanteku. “Kompensasi? Hati orang sudah terluka segitu parahnya dibilang kompensasi? Uang bisa dicari tapi waktu tak akan kembali”. “Betul Lim. Susah dah ngomong sama mereka.

    Tante sih mending tinggal di sini saja dah. Ogah balik lagi. Ketemu mereka mereka lagi. Mulut sampah semua. Gak paman kamu, tante tante kamu yang lainnya, bahkan om om kamu juga.

    Sedikit background saja, aku anak tunggal dan orang tua ku juga pengusaha sukses di bidang kuliner dan distributor bahan elektronik. Dengan uang yang dimiliki oleh ibu ku, tentu saja biaya kuliah untuk tanteku bukan masalah. Mantan Suami tanteku menghilang tanpa jejak dan tak berkabar lagi.

    Tante ku kemudian tertidur. Aku kemudian membaringkan dia di sofa tempat kami menonton tadi dan menyelimuti dia tengan selimut agar tidak kedinginan. Setelah itu, aku kembali ke kamarku dan tidur. Besok paginya saat aku bangun, sarapan sudah tersedia di meja. Siapa lagi kalau bukan tanteku yang cantik itu.

    “Halo Lim. Met pagi. Dah bangun kamu? Gih sarapan. Kuliah jam berapa kamu nanti Lim?” Tanya tanteku yang sedang mencuci perabotan kotor. Dari belakang, aku mendaratkan daguku di bahunya. “Hai tante cantik. Jam 2 siang aku kuliah sampai jam 5. Tante nanti mau ke mana?” Tanyaku.

    Dia tersenyum saja saat aku mendaratkan daguku di bahunya bahkan tangan kanannya mengusap wajahku. “Eh tante mah bebas. Kan belum kuliah. Dek. Nanti siang makan apa ya? Makan di luar yuk dek. Yang enak. Makanan barat aja.” kata nya. “Ok tante cantik. Dengan senang hati.” Jawabku dengan semangat dan langsung menyantap sarapanku dengan lahap.

    Beberapa jam kemudian, setelah kami beres beres dan mandi, kami berdua bersantai dulu sejenak. Tanteku senantiasa menceritakan penderitaan nya selama dia menikah dengan suaminya. Dia dengan jujur berkata kalau ibuku dan nenek ku malah membela mantan suami nya yang kerap melakukan kekerasan. Tanteku sempat depresi dan hampir bunuh diri.

    Aku jujur saja menjadi kesal dengan nenek dan ibuku. Sungguh kenapa mereka berdua begitu tega terhadap tanteku? “Sudah lah Tante. Sudah berakhir masa masa kelam itu. Sekarang kan tante sudah bebas. Santai aja tante. Oh iya… nanti di luar, seperti biasa ya… Aku panggil tante, dedek. Jadi biar gak pada heboh.

    Kami berdua kemudian makan siang di tempat restoran yang terkenal di Vancouver. Ya makanan sih memang enak tapi lebih bagus kalau makan malam.

    Kan malam lebih romantis. Sepanjang perjalanan, kami senantiasa bergandengan tangan layaknya kekasih. Aku tahu tanteku tersenyum saat aku memberanikan diri memegang tangannya tapi aku tidak melihat.

    Aku kemudian mengantar tanteku pulang ke apartemen dan aku pergi kuliah. Setelah kuliah, aku pulang dan langsung mandi. Tanteku sudah menyiapkan makan malam. Dia jago memasak. Saat dia sedang menyiapkan makanan untuk ku, aku dengan iseng memeluknya dari belakang dan mencium wajah cantiknya. “Halo Tante cantik.

    Reaksi dia? Dia hanya tersenyum saja dan memegang wajahku. Dia juga kemudian mencium pipiku dan mencolek hidungku. “Nakal ya kamu. Hehehe. Coba mantan suami tante mesra seperti kamu. Pasti tante bahagia.” Jawabnya dengan lembut. “Lim. Makanan dah mau siap. Yuk kita makan.” Katanya dengan tersenyum.

    Tak terasa sudah 2 bulan kami berdua tinggal bersama. Kami berdua semakin akrab. Aku yakin tanteku pasti sangat merana dengan mantan suaminya. Dia juga sesekali menyuapi aku. Di meja makan itu kami terlihat layakanya sepasang kekasih. Setelah makan dan mencuci piring, kami berdua duduk dan menonton kisah drama cinta terlarang.

    Aku membayangkan seandainya… Aku ada kakak perempuan yang cantik seperti Patricia, bukan tak mungkin aku mau menghamili kakakku sendiri. Ah itu semua hanya khayalan saja yang tak masuk akal. Tanteku mulai meneteskan air mata nya. Dia terharu dengan akhir kisah itu. Aku memeluknya dan mencium pipinya.

    “Iya sih Lim. Gak kebayang kalau itu benar terjadi di dunia nyata. Kayaknya seru tuh.” Kata tante ku sambil tersenyum. “Eh Tante mah aneh aneh aja. Hehehe. Kalau gitu logika nya, emang tante mau pacaran sama anggota keluarga sendiri?” Tanya ku menggoda nya. “Mungkin saja. Kalau dia lebih baik dari mantan suami tante.

    “Heh tante. Hehehe. Jadi malu Aku. Emang aku kenapa, tante?” Tanyaku malu malu. “Iya Kamu Lim. Yang selalu baik dan sayang sama tante. Kamu memperlakukan tante seperti… maksud tante manusiawi. Cuma kamu lah alasan tante masih mau hidup di dunia ini.” Katanya sambil menangis. Aku memeluknya dengan erat.

    “Tante Sayang. Sebetulnya Aku juga sedih dan terus memikirkan tante selama aku di sini. Aku kesal tak bisa membantu tante. Sekarang kita berdua sudah di sini. Tak ada lagi yang akan melukai tante.” Kataku sambil mengangkat dagunya. Matanya merah penuh air mata. Aku Kemudian mencium dahi nya. Dia hanya memejamkan matanya.

    “Gimana Tante? Sudah merasa membaik belum? Apa masih Mau Aku peluk lagi?” Tanyaku dengan lembut sambil membelai wajah cantiknya dan menyeka air matanya. “Belum.” Jawab nya singkat. Dia kemudian malah duduk di pangkuanku dan membaringkan kepalanya di dadaku. Aku kemudian membelai rambut nya dan kembali mencium kepalanya.

    “Tante sangat mendambakan suami seperti kamu, Lim. Bagi tante, kamu lah harapan tante untuk hidup. Tante sangat senang berada di samping kamu. Bagi tante, hanya kamu yang bisa membuat tante tersenyum. Tante Cuma minta agar kamu tetap sama. Jangan seperti keluarga kita.” Katanya sambil menangis lagi.

    Dia tidak marah. Dia hanya diam saja dan masih menutup matanya. Aku kemudian memeluknya lagi. “Lim. Tadi ciuman pertama kamu ya? Hehehe.. tante dari tadi kan bersandar di dada kamu.

    Tante mendengar jantung kamu deg deg an loh.” Kata Tanteku yang mulai tertawa. Air mata nya sudah hilang. Kesedihan sudah tak terlihat lagi di wajahnya. sumber Ngocoks.com

    “Eh Tante. Maaf. Tadi aku terbawa suasana. Dan iya. Itu tadi ciuman pertama aku. Hehehe.” Jawab ku malu malu. Tanteku kemudian merangkul leherku dengan kedua tangannya dan mendekatkan wajahnya ke bibirku. Kami berdua berciuman dengan penuh rasa kasih sayang malam itu. Bibirnya melumat habis bibirku.

    Ciuman kami akhirnya selesai dan kami kemudian sama sama tertawa. Aku kali ini memberanikan diri untuk menggendong dia ke kamar nya dan merebahkan dia di atas ranjang. Aku mendekatkan wajahku dan mencium bibir serta kening nya seraya mengucapakan selamat malam sambil tersenyum dan aku kembali ke kamarku.

    “Lim. Tunggu. Kalau tante nanti gak bisa bobo, tolong kemari ya… temani tante. Tante masih mau ngobrol sama kamu Lim. Ok? Besok kan sabtu. Hehehe” kata tanteku. “Beres tante. Apapun dah buat tante. Hehehe. Aku ke kamarku dulu. Kalau tante belum bisa bobo ya… tok tok tok aja ya.” Jawabku sambil mengedipkan mata.

    Tanteku nemang ternyata tak bisa tidur. Eh dia malah ke kamar ku. “Lim. Tante di sini aja ya.” Katanya memelas. “Eh boleh. Hehe. Aku juga kayaknya kesulitan tidur nih tante. Yuk masuk saja. Santai saja tante sayang.” Ledek ku. “Kok tante tahu aku belum bobo?” Tanyaku. “Kamu habis ciuman pertama, emang kamu bisa tidur dengan tenang?

    Tanteku akhirnya duduk di atas ranjang ku. Kami berdua ngobrol sepanjang malam. Dia tiba tiba kembali ingin dipangku olehku. Aku dengan senang hati saja mempersilahkan dia duduk di pangkuan ku.

    Dia bercerita tentang betapa menderita nya dia saat dia menikah bersama mantan suaminya dan tiap x mengeluh ke nenek ku, dia malah dimarahi balik oleh nenekku. Tanteku seakan sedang melepas semua unek unek nya yang dia pendam selama ini.

    Lagi dan lagi dia menangis. Aku lagi lagi memeluk dan mencium nya. “Tante kelihatan nya menderita sekali ya? Untung aja sekarang sudah di sini sama Aku.” Kataku. “Eh jangan panggil tante lagi donk. Panggil nama saja sudah.

    Bersambung…

    1 2 3 4
  • Cinta Bersemi Kembali

    Cinta Bersemi Kembali

    Cerita Sex Cinta Bersemi Kembali – Wafatnya Papa menyusul Mama yang sudah meninggal setahun sebelumnya, membuatku jadi sebatangkara di Bangkok ini.

    Meski aku sangat sedih, tapi aku berusaha untuk bersikap tenang. Karena aku ini seorang lelaki, yang pantang mengobral air mata dalam keadaan bagaimana pun.

    Dan yang sangat mengejutkan adalah keterangan Mr. Liauw, notaris kepercayaan Papa. Mr. Liauw lahir dan besar di Indonesia. Karena itu beliau fasih berbahasa Indonesia ketika memberikan surat wasiat dari Papa almarhum.

    Donny anakku tersayang.

    Cerita Sex Cinta Bersemi Kembali
    Cerita Sex Cinta Bersemi Kembali

    Ngocoks Surat wasiat ini sengaja papa titipkan pada Mr. Liauw, untuk diserahkan padamu seandainya papa sudah meninggalkan dunia ini.

    ***

    Ada 2 (dua) perkara penting yang harus kamu ketahui, anakku.

    1. Bahwa kamu sebenarnya bukan anak papa dan mama. Kami mengadopsimu pada waktu umurmu baru 6 (enam) bulan dari Indonesia, ketika kami sedang berada di Indonesia.

    Papa dan mama memang asli orang Indonesia. Itulah sebabnya dalam keseharian kami membiasakan berbicara bahasa Indonesia, supaya tidak lupa kepada tanah air kita.

    Di Indonesia, papa punya sahabat karib bernama Rosadi. Alamat lengkapnya ada di Mr. Liauw. Jadi nanti, setelah papa tiada, kamu boleh mendatangi kedua orang tua kandungmu, kalau mereka masih hidup.

    Kamu boleh menetap di Indonesia atau pun di Bangkok. Itu semua terserah padamu. Karena kamu sudah mulai dewasa, sehingga tentu saja kamu bisa memilih sendiri mana yang terbaik bagi dirimu dan masa depanmu.

    2. Meski pun kamu bukan anak kandung papa dan mama, kami menyayangi dirimu seperti anak kandung kami sendiri. Tentu kamu pun bisa merasakannya selama ini, betapa besarnya rasa kasih sayang kami kepadamu, Nak.

    Sebagai tanda sayangnya papa padamu, segala harta benda milik papa, akan menjadi milikmu. Termasuk perusahaan papa di Bangkok dan di Singapore, juga simpanan papa di bank, semuanya papa wariskan padamu, anakku.

    Mintalah bantuan Mr. Liauw untuk mengurus semuanya nanti.

    Semoga kamu jadi orang sukses, ya anakku.

    ***

    Semua itu membuatku bingung sendiri. Soalnya sejak masih bayi aku dirawat oleh Papa dan Mama yang begitu sayangnya padaku. Lalu seperti apa orang tua kandungku di Indonesia? Orang tua yang belum pernah kuingat wajahnya itu?

    Berdasarkan surat wasiat dari Papa almarhum (yang ternyata ayah angkatku), aku pun terbang ke Indonesia yang sejak ingat belum pernah kuinjak itu.

    Setibanya di Jakarta, kusewa taksi untuk mengantarkanku ke alamat yang diberikan oleh Mr. Liauw, di sebuah kota di Jawa Barat.

    Ternyata tidak sulit menemukan alamat rumah orang tua kandungku itu. Tanpa bertanya kepada siapa – siapa, sopir taksi berhasil mencapai alamat rumah yang diberikan oleh Mr. Liauw itu. Sebuah rumah sederhana, tapi letaknya di pinggir jalan besar.

    Dengan jantung berdebar – debar aku turun dari taksi, lalu melangkah ke pintu depan rumah itu. Sementara sopir taksi kusuruh menunggu dulu, siapa tahu aku salah alamat atau orang tuaku sudah pindah ke rumah lain.

    Setelah aku mengetuk pintu depan rumah itu, seorang wanita 40 tahunan membuka pintu itu. Spontan aku bertanya kepada wanita yang belum kukenal itu. “Apakah ini rumah Pak Rosadi?”

    “Betul, “wanita setengah baya yang masih tampak cantik itu mengangguk, “Adek siapa ya?”

    “Aku Donny yang diadopsi oleh Pak Margono dari Bangkok. Tapi menurut surat wasiat almarhum Pak Margono, aku ini anak kandung Bapak dan Ibu Rosadi, yang alamatnya kudapatkan dari notaris di Bangkok,” sahutku dengan hati bertanya – tanya, siapa wanita cantik ini?

    Tiba – tiba wanita itu memelukku sambil memekik, “Ya Tuhaaaaan! Ini Donny? Aku ini ibumu, Dooon… !”

    Wanita yang mengaku sebagai ibuku itu menangis terisak – isak sambil memelukku di ambang pintu depan, kemudian membawaku masuk ke dalam rumah sederhana itu.

    Sebelum masuk ke dalam rumah itu, aku masih sempat menggapaikan tanganku pada sopir taksi yang menunggu di mobilnya. Sopir itu pun bergegas menghampiriku.

    “Tolong angkut semua barangku yang di bagasi dan di jok belakang Pak,” ucapku.

    “Siap Boss,” sahut sopir taksi yang lalu balik lagi ke mobilnya untuk mengerjakan perintahku.

    Sementara aku diajak duduk berdampingan dengan wanita yang mengaku sebagai ibu kandungku itu. Dengan sikap canggung aku bertanya, “Aku harus manggil apa sama Ibu?”

    “Saudara -saudaramu memanggil bunda semua. Jadi kamu juga manggil Bunda aja.”

    “Iya Bunda. Eh… ayah dan saudara – saudaraku semua pada ke mana? Kok rumah ini terasa sepi sekali?”

    “Ayah sudah meninggal enam bulan yang lalu. Kakakmu ada tiga termasuk saudara kembarmu. Yang paling gede bernama Siska, yang nomor dua bernama Nenden dan saudara kembarmu bernama Donna.”

    “Haaa?! Aku punya saudara kembar?”
    “Iya. Saudara kembarmu itu Donna namanya.”

    Sopir taksi meletakkan barang – barangku di ruang depan. Setelah mendapatkan bayaran dariku, dia pun berlalu.

    “Terus pada ke mana saudara – saudaraku sekarang?” tanyaku.

    “Siska dan Nenden sudah pada punya suami. Jadi mereka tinggal di rumahnya masing – masing. Kalau Donna sedang bekerja,” sahut Bunda.

    “Donna bekerja sebagai apa?”

    “Cuma jadi pelayan toko pakaian.”

    “Besar gajinya Bun?” tanyaku. Entah kenapa aku tiba-tiba saja merasa perlu memikirkan nasib saudara kembarku yang aku belum tahu seperti apa bentuknya itu.

    “Ah… namanya juga pelayan. Gajinya hanya sesuai dengan UMR saja. Ohya… bagaimana kabar Bapak dan Ibu Margono? Sehat – sehat aja?”

    “Dua – duanya sudah meninggal. Mama meninggal setahun yang lalu, Papa meninggal belum lama ini. Aku juga bisa ke sini setelah masa berkabung sudah lewat.”

    “Innalillahi… gak nyangka mereka bakal pendek umur ya. Tapi mereka menyayangimu kan?”

    “Sangat menyayangiku Bunda. Bahkan semua harta peninggalan Papa, seratus persen diwariskan padaku.”

    “Syukurlah. Kalau begitu kamu harus pandai – pandai mengatur harta warisan itu. Jangan dihambur – hamburkan gak keruan.”

    “Aku takkan mengganggu harta warisan itu. Bahkan ingin mengembangkan perusahaan peninggalan Papa itu. Ohya, bagaimana ceritanya sehingga aku bisa jadi anak angkat mendiang Papa dan Mama?”

    “Pak Margono itu teman karib ayahmu Don. Tapi dia termasuk paling sukses di antara ayahmu dan teman – teman lainnya. Sejak masih muda sekali Pak Margono sudah tinggal di Bangkok. Kabarnya dia punya perusahaan di Thailand. Nah… pada saat bunda baru melahirkanmu dan Donna, kebetulan Pak Margono dan istrinya sedang berlibur di kota ini.

    “Terus?”

    “Bunda minta agar menunggu dulu sampai kamu berusia enam bulan, supaya aman dibawa naik pesawat terbang. Ya begitulah… setelah kamu genap berumur enam bulan, Pak Margono dan istrinya datang lagi. Untuk membawamu ke Bangkok.”

    “Tapi Ayah atau Bunda sama sekali tak pernah menengokku ke Bangkok. Apakah Bunda sudah melupakanku sebagai anak kandung Bunda?”

    “Bukan begitu Don. Ayah dan Bunda hanya ingin menjaga perasaan Pak Margono dan istrinya. Lagian mereka berjanji untuk menyayangimu seperti anak kandung mereka sendiri. Tapi Bunda yakin, pada suatu saat kamu akan mengetahui rahasia sirsilahmu. Dan akan berjumpa lagi dengan bunda. Terbukti sekarang kamu datang juga kan?

    Bunda lalu memelukku erat – erat. Mencium pipi kanan dan pipi kiriku, seperti biasanya seorang ibu kepada anaknya.

    Tapi entah kenapa, perasaanku masih mengambang. Mungkin juga batinku masih kaget, karena tiba – tiba saja aku berhadapan dengan wanita yang cantik itu sebagai ibu kandungku. Perasaanku yang masih floating inilah yang menyebabkanku masih jengah ketika Bunda mencium pipi kanan dan pipi kiriku.

    Walau pun begitu, aku tidak mau bersikap canggung. Lalu kubongkar isi kotak besar berisi oleh – oleh itu. “Ini oleh – oleh dari Bangkok buat Bunda dan saudara – saudaraku semua. Nanti Bunda aja yang mengatur untuk siapa – siapanya.”

    “Waaaah… ini barang – barang mahal semua Don. Saudara – saudaramu pasti pada senang melihat dan memiliki hiasan dinding yang beraneka ragam ini. Pada umumnya berbentuk gajah ya?”

    “Iya. Kan lambang kerajaan Thailand itu gajah putih Bun.”

    Tiba – tiba terdengar suara cewek di ambang pintu depan, “Ada tamu dari mana Bunda?”

    “Donna! Lihat ini siapa?” sahut Bunda sambil menggandeng pinggangku.
    “Siapa Bun?” tanya cewek berparas cantik dan berperawakan tinggi langsing itu sambil memandangku.

    “Nah… selama ini bunda merahasiakan hal ini. Sebenarnya kamu punya saudara kembar bernama Donny ini, Sayang.”

    “Haaa?! Saudara kembar? Serius Bun?” cewek yang katanya saudara kembarku itu menatapku dengan sorot heran.

    “Sangat serius,” sahut Bunda, “Kalau Siska dan Nenden sudah tau rahasia ini. Tapi kamu baru sekarang bunda kasihtau, Donna. Ayo peluk saudara kembarmu ini.”

    Donna menghampiriku dengan sikap canggung. Lalu memeluk pinggangku. Sementara aku pun memegang sepasang bahunya, untuk mencium pipi kanan dan pipi kirinya. Juga dengan sikap canggung.

    Kemudian Bunda menjelaskan riwayatku yang sejak kecil diadopsi oleh sahabat ayahku yaitu lelaki yang kupanggil Papa dan istrinya yang tadinya kukira ibu kandungku itu. Bunda juga bercerita bahwa keadaan Pak Margono tidak seperti ayah kami. Pak Margono itu seorang pengusaha kaya raya dan berdomisili di Bangkok.

    Donna mendengarkan penuturan Bunda dengan sikap serius.

    Setelah Bunda selesai menuturkan riwayatku, Donna menggenggam tanganku sambil ketawa – ketiwi, “Hihihihhiiiii… asyiiiik… ternyata aku punya saudara kembar yang tampan dan imut – imut ini…! Berarti kapan – kapan aku bisa diajak ke Bangkok dong, “Donna mengguncang – guncang tanganku.

    Aku cuma mengangguk sambil tersenyum. Kemudian kutepuk bahu Donna sambil berkata, “Sekarang pilih dulu tuh oleh – oleh dari Bangkok. Mana yang kamu suka, ambillah. Tapi sisakan buat Kak Siska dan Kak Nenden.”

    “Haaa?! Ada oleh – oleh dari Bangkok? Hihihihiii… !” Dona melompat ke arah kotak besar berisi oleh – oleh dari Bangkok itu.

    “Oleh – olehnya gak ada parfum?” tanya Bunda.

    “Ada Bunda,” sahutku, “Itu yang dikotak kecil ada beberapa botol parfum dari Eropa,” sahutku sambil menunjuk ke kotak kecil yang diletakkan di atas meja kecil dekat kotak besar itu. Kotak berisi 10 botol parfum yang beraneka merk, tapi semuanya buatan Eropa.

    Donna mengambil patung gajah yang terbuat dari perak, mengambil kalung emas dengan liontin berbentuk gajah juga dan sebotol parfum.

    “Cuma itu? Kan masih banyak yang lain,” kataku sambil menghampiri Donna yang baru mengambil sebotol parfum pilihannya.

    “Nanti aja setelah saudara – saudara punya pilihan masing – masing, aku sih sisanya aja. Yang penting nanti traktir aku nonton bioskop ya.”

    “Boleh. Aku memang ingin mengenal jalan – jalan di kota ini. Soalnya sejak bayi sampai sekarang, aku baru sekarang menginjak kota ini. Tapi aku harus mandi dulu. Keringat Bangkok masih melekat di badanku.”

    “Emangnya Bangkok itu panas udaranya?”
    “Sangat. Jauh lebih panas dari kota ini.”
    “Ya udah… kamu mandi duluan gih. Setelah kamu mandi, aku giliran berikutnya.”
    “Giliran? Kamar mandinya cuma satu?” tanyaku setengah berbisik.
    “Iya, “Donna mengangguk, “Mudah – mudahan Boss dari Bangkok mau merenovasi rumah yang sudah sangat ketinggalan zaman ini.

    Lalu aku menghampiri Bunda. “Bun… kamarku di mana nih?” tanyaku.

    Bunda menyahut, “Kamar tidur di rumah ini hanya ada dua. Kamu pilih aja sendiri, mau tidur sama bunda apa sama Donna?”

    “Di kamar Bunda aja ya. Aku kan sejak kecil sampai dewasa belum pernah merasakan tidur dalam pelukan ibu kandungku.”

    “Iya. Bawalah kopermu ke kamar bunda, yang itu tuh kamarnya,” sahut Bunda sambil menunjuk ke pintu kamar yang tertutup.

    Setelah berada di dalam kamar Bunda, aku mengernyitkan keningku. Karena kulihat ada lemari kaca yang isinya botol – botol minuman keras yang isinya sudah kosong semua.

    Apakah Bunda sengaja mengumpulkan botol – botol itu untuk koleksi ataukah Bunda seorang peminum? Atau mungkinkah almarhum ayahku yang peminum dan botol – botolnya dikumpulkan oleh Bunda sebagai koleksi pribadinya? Entahlah. Mendingan aku mandi dulu, karena sebentar lagi mau diajak Donna nonton bioskop.

    Ternyata kamar mandi pun hanya satu – satunya, terletak di bagian paling belakang rumah ini. Kamar mandi yang sangat ketinggalan zaman. Dengan bak mandi dan gayung plastik. Mungkin di zaman kolonial Belanda kamar mandi seperti ini sudah termasuk “maju”. Tapi untuk abad milenial ini… aaaah… kasian Bunda dan saudara kembarku.

    Lalu diam – diam ada tekad di dalam hatiku, untuk merenovasi rumah ini sampai benar – benar layak dan tidak ketinggalan zaman.

    Kemudian aku mandi sebersih mungkin.

    Ketika aku keluar dari kamar mandi, ternyata Donna sudah menungguku di luar.

    Ketika berpapasan denganku, Donna berkata, “Senang aku punya saudara kembar tampan gini, “diasusul dengan kecupannya di pipiku.

    “Aku juga senang punya saudara kembar cantik gini,” sahutku sambil balas mengecup pipinya juga.

    Kemudian Donna masuk ke dalam kamar mandi, sementara aku balik ke kamar Bunda.

    Ketika aku sedang berdandan, terdengar suara Bunda di ambang pintu, “Mau nonton bioskop sama Donna?”

    “Iya,” sahutku, “Bunda mau ikut?”
    “Nggak ah. Bunda sih cukup dengan nonton tivi aja hiburannya.”
    “Ohya Bun… bagaimana kalau rumah ini direnovasi?”
    “Kamu mau nyediain biayanya?”
    “Iya. Soal biayanya biar aku sendiri yang menanggungnya.”
    “Kalau ada duitnya sih mendingan beli tanah kosong di sebelah itu. Kebetulan pemiliknya meninggal, lalu mau dijual murah oleh anaknya.”

    “Memang sih mendingan bangun rumah baru. Di sini harga tanah murah Bun?”
    “Ya nggak semahal di pusat kota lah. Di sini kan sudah dekat ke batas kota.”
    “Bunda sudah tau harga dan luas tanah di sebelah itu?”
    “Lumayan luas. Limaribu meter. Setengah hektar lah. Soal harganya besok bunda mau tanyain ke orangnya.”

    “Iya,” sahutku singkat, karena mendengar langkah Donna mendekati pintu kamar Bunda ini.
    “Donny… udah siap?” tanya Donna di ambang pintu.

    “Udah,” sahutku, lalu menghampiri Bunda, “Aku mau pergi dulu Bun,” kataku yang lalu mencium tangan Bunda disusul dengan cipika – cipiki dengan beliau. Seperti yang biasa kulakukan kepada Mama almarhumah di Bangkok dahulu.

    “Pulangnya beliin oleh – oleh ya,” kata Bunda di ambang pintu depan.
    “Mau dibeliin apa?” tanya Donna.
    “Apa aja. Pizza boleh, martabak manis juga boleh,” sahut Bunda.

    Lalu aku dan Donna melangkah ke pinggir jalan. Kebetulan ada taksi mau lewat, dicegat oleh Donna. Kami pun masuk ke dalam taksi itu. Duduk berdampingan di seat belakang.

    Donna menyebut tujuan kami kepada sopir taksi. Maka taksi itu pun mulai meluncur di kegelapan malam.

    “Bagaimana perasaanmu setelah berjumpa dengan Bunda dan aku?” tanya Donna sambil menyandarkan kepalanya di bahuku dan memegang tangan kiriku yang tersimpan di atas lutut.

    “Aku masih canggung, karena tidak menyangka kalau ibu kandungku itu Bunda. Tadinya kukira diriku ini anak tunggal Bapak dan Ibu Margono di Bangkok,” sahutku.

    “Aku juga kaget, karena baru tau tadi, bahwa aku punya saudara kembar, cowok pula.”
    “Iya Donna. Semoga kita bisa rukun sampai tua ya.”
    “Iya. Umurku dan umurmu berarti sama – sama duapuluh tahun ya?”
    “Iya… hehehee… namanya juga anak kembar, pasti dilahirkan di hari, tanggal, bulan dan tahun yang sama.”

    “Terus… kamu sudah bisa adaptasi dengan suasana baru ini? Bahwa Bunda itu ibu kandungmu dan aku ini saudara kembarmu?”

    “Masih agak sulit adaptasinya. Waktu cium pipi Mama tadi aja terasa rikuh. Seolah – olah bukan mencium pipi ibu kandungku sendiri.”

    Donna menanggapi dengan bisikan, “Sama aku juga… waktu cium pipi kamu di depan pintu kamar mandi, rasanya seperti nyium pipi pacar… hihihi…”

    “Ogitu ya?”

    “Kamu pernah dengar cerita tentang anak kembar yang berbeda jenis kelaminnya, lalu dipisahkan waktu kecil dan dijodohkan setelah mereka dewasa?”

    “Ohya?”

    “Iya. Pokoknya tradisi itu pernah ada di salah satu daerah di negara kita. Mereka menganggap kalau anak kembar itu berbeda jenis kelaminnya, berarti jodoh mereka sudah dibawa dari perut ibunya. Karena itu pada waktu masih kecil mereka dipisahkan, setelah dewasa dinikahkan.”

    “Oh, begitu ya? Aku malah baru dengar kalau di negara kita pernah ada tradisi seperti itu.”

    Tiba – tiba Donna membisiki telingaku, “Kalau kita dijodohkan, kamu mau?”

    Aku menatap wajah saudara kembarku di keremangan malam. Tapi sebelum sempat kujawab, taksi sudah berhenti di parkiran sebuah mall yang ada gedung bioskopnya.

    Aku yang baru menginjak kota ini masih kebingungan. Karena itu kuberikan uang secukupnya kepada Donna untuk membeli tiket bioskop. sumber Ngocoks.com

    Tak lama kemudian, Donna kembali lagi dengan wajah masam. “Kehabisan tiket. Cuma bisa yang midnight. Gak apa – apa?”

    “Berarti masih lama dong menunggunya.”
    “Sekarang baru jam delapan. Berarti tiga jam setengah lagi baru bisa nonton,” sahut Donna.
    “Ya udah, beli aja tiketnya. Sambil menunggu, kita kan bisa ngobrol di café atau resto.”

    Donna kembali lagi ke loket penjualan tiket. Beberapa saat kemudian dia sudah menghampiriku lagi.

    “Dapet?”
    “Dapet tapi maksa dulu. Karena seharusnya untuk yang midnight dijual sejam sebelum film diputar.”

    Lalu kami menuju sebuah resto di dalam kompleks mall itu, yang kata Donna enak – enak masakannya.

    Di dalam resto itu kami memilih bagian sudut yang terlihat sepi, agar bisa ngobrol leluasa. Walau pun begitu, kami bicara perlahan – lahan, agar tidak terdengar oleh orang lain.

    Aku dan Donna duduk berdampingan. Donna duduk di samping kiriku, sehingga ia bisa memegang tangan kiriku sambil berkata perlahan, “Tadi pertanyaan di dalam mobil belum kamu jawab.”

    “Pertanyaan tentang apa?” tanyaku pura – pura lupa. Padahal aku sedang memikirkan jawabannya.
    “Kalau kita dijodohkan, kamu mau?”
    “Kenapa tidak? Kamu cantik dan seksi, Donna.”

    Donna menghela nafas. Lalu membisiki telingaku, “Sayangnya aku tidak perawan lagi Donny.”

    “Baguslah. Jadi kita bisa ML tanpa harus memikirkan perkawinan aneh itu.”
    “Gila… !” Donna menepuk punggung tangan kiriku.

    “Soalnya kalau ketahuan oleh penghulu bahwa kita ini saudara kembar, belum tentu penghulu mau menikahkan kita.”

    Bersambung…

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
  • Direktorat Keuangan

    Direktorat Keuangan

    Cerita Sex Direktorat Keuangan – Kusandarkan punggungku ke sandaran kursi kerjaku. Kulepaskan kacamataku, kemudian kuusap lensanya dengan kain pembersih lensa. Penat sudah mataku melihat susunan angka-angka yang masih terpampang di layar komputer di atas meja kerjaku.

    Jam dua belas kurang sepuluh menit, itu yang ditunjukan oleh jam tanganku. Pantas saja ruangan tempat aku kerja sudah terasa sepi.

    Ruangan ukuran sekitar seratus meter persegi yang dihuni sebelas pekerja ini tinggal menyisakan tiga orang saja termasuk aku. Lainnya pasti sudah berhamburan untuk makan siang di luar kantor atau menuju tempat ibadah.

    “Ran, elo makan siang dimana? ”, suara Mbak Dewi yang duduk jeda dua meja sebelah kiriku. Mbak Dewi ini usianya lebih tua tiga tahun dariku. Kami seangkatan masuk kerja, dan sama-sama ditempatkan di unit anggaran kantor pusat sebuah BUMN bidang jasa transportasi. “Kayanya makan di rumah nyokap deh Mbak.

    Cerita Sex Direktorat Keuangan
    Cerita Sex Direktorat Keuangan

    Ngocoks Kupakai kembali kacamataku. Kemudian kusiapkan barang-barang seperlunya yang akan aku bawa. Dompet, handphone, dan kunci mobil. Ya, cukup ini aja yang perlu aku bawa. Akupun sengaja tidak mematikan komputer kerjaku karena aku tidak bermaksud belama-lama keluar kantor.

    Aku bangkit dari tempat dudukku. “Gue jalan dulu ya Mbak,” pamitku ke Mbak Dewi. “Ok,” jawab Mbak Dewi singkat.

    Kulangkahkan kakiku ke luar ruangan menuju lift. Ruangan tempatku kerja ada di lantai empat dari keseluruhan enam lantai gedung ini. Kulihat ada tiga orang menunggu di depan lift. Mereka semua teman-temanku tapi dari unit yang berbeda, walaupun masih dalam satu direktorat yaitu keuangan.

    Tampak pintu lift pun terbuka, kupercepat langkah kakiku, karena jarak ke pintu lift masih sekitar lima meter. Setelah berbasa basi ringan dengan teman-temanku di lift, kami pun tiba di lantai dasar dan pintu lift pun terbuka.

    Cuaca sepertinya sedang sangat panas, ini terasa begitu pintu lobby gedung terbuka. Dengan langkah cepat aku langsung menuju parkiran sambil mengingat di mana mobilku tadi pagi aku parkir.

    Kututupi atas kepalaku dengan tangan kiri, lumayan mengurangi teriknya matahari langsung menghujam kepalaku. Akupun buru-buru masuk ke mobilku. Segera kunyalakan mobil dan memposisikan tombol AC ke yang paling tinggi. 

    Sambil menunggu mobilku siap dijalankan, aku sempatkan menelepon suamiku, Doni, hanya sekedar menanyakan kabarnya dan memberitahukannya kalau aku akan ke rumah orangtuaku. Tidak lupa juga kutelepon rumahku untuk menanyakan kepada baby sitter keadaan anakku.

    Rumah orangtuaku tidak jauh lokasinya dari kantor tempatku kerja. Hanya sekitar delapan ratus meter. Orangtuaku menempati rumah dinas milik kantor dan sudah kami tempati sejak sebelum aku lahir.

    Papahku seorang pensiunan dari perusahaan yang sama denganku. Rumah yang ditempati orangtuaku ini sudah berganti atas namaku, sehingga mereka masih dengan leluasa tinggal di rumah itu, padahal orangtuaku ini juga mempunyai rumah yang cukup besar di perumahan mewah di kotaku.

    Tapi mereka beranggapan rumah dinas ini mempunyai nilai historis mereka selama lebih dari dua puluh lima tahun tinggal di sana. Sedangkan aku sendiri telah tiga bulan ini pindah ke rumah sendiri yang lokasinya sekitar lima kilometer dari tempat kerjaku. 

    Awalnya kedua orangtuaku keberatan rencana aku pindah, karena aku sebagai anak bungsu dan kedua kakakku yang sudah tinggal di rumahnya masing-masing, maka saat ini praktis hanya tinggal kedua orangtuaku dan asisten rumah tangga bernama Mpok Ela.

    Namaku Rani, usiaku saat ini dua puluh empat tahun. Aku bungsu dari tiga bersaudara yang seluruhnya perempuan. Kedua kakakku sudah menikah dan masing-masing-masing mempunyai dua anak. Sedangkan aku sendiri baru diberi anak satu dari satu setengah tahun usia pernikahanku dengan Doni. Anakku bernama Ari, masih berusia tujuh bulan.

    Diantara kakak-kakakku, aku yang paling tinggi. Tinggiku seratus enam puluh delapan centimeter, beratku saat ini lima puluh tujuh kilogram, delapan kilogram lebih berat dari sebelum aku hamil anakku.

    Kulitku kuning langsat agak kecoklatan. Kami bertiga mempunyai wajah yang mirip satu sama lain. Kakakku yang kedua, Mbak Risa, yang paling cantik dengan kulitnya yang putih bersih.

    Setibanya di rumah orangtuaku, kuparkirkan mobilku di depan pagar. Sengaja aku parkir di luar pagar, karena memang aku tidak berniat lama-lama di sini.

    Aku lihat dari balik pagar ada mobil keluarganya Mbak Risa terparkir di garasi, tapi yang ini biasanya dipakai Mas Rio, suaminya Mbak Risa, karena Mbak Risa ke kantor menggunakan mobil lainnya yang lebih kecil. “Eh Mbak Rani,” tiba-tiba ada suara dari dalam pagar. Tidak lama kemudian pintu pagar terbuka, muncul sang pemilik suara yaitu Mpok Ela.

    “Ada siapa aja di dalem Mpok?”, tanyaku.

    “Ada Mamah lagi di kamar, Mbak. Kayanya sih lagi tidur. Kalo Papah lagi pergi main golf”, jawab Mpok Ela.

    “Ngga ada Mbak Risa? Itu ada mobilnya?”, tanyaku lagi.

    “Itu bukan Mbak Risa, Mbak. Tapi Mas Rio, itu ada di kamar atas”, jawab Mpok Ela lagi.

    “Ooo kirain Mbak Risa”, sahutku.

    “Mobilnya ngga dimasukin garasi aja Mba?”, tanya Mpok Ela.

    “Ngga usahlah, cuma sebentar kok”, jawabku sambil tersenyum.

    “Laundry-an aku udah ada belum Mpok? Kalau udah ada, tolong siapin ya Mpok. Mau aku bawa”, ucapku lagi.

    “Udah ada Mbak, nanti Mpok siapin. Ngomong-ngomong Mbak Rani mau sekalian makan di sini ngga? Kalau mau, Mpok siapin makanan sekarang”, ucap Mpok Ela.

    “Iya Mpok. Aku ke kamar Mamah bentar”, jawabku.

    Akupun segera masuk ke rumah dan menuju kamar Mamahku yang ada di lantai bawah. Rumah ini ada enam kamar. Tiga kamar di atas merupakan kamar aku dan kakak-kakakku sebelum kami semua berkeluarga. Saat ini tetap tidak ditempati siapapun, karena memang sengaja sebagai tempat jika aku dan kedua kakakku main ke sini.

    Kubuka pintu kamar secara perlahan, takut membangunkan Mamahku. Tampak di tempat tidur Mamahku tertidur lelap. Aku urungkan niat untuk masuk kamar Mamahku.

    Akupun menuju ruang makan, terlihat Mpok Ela sibuk menyiapkan makanan untukku. “Silahkan Mbak Rani makan. Mpok tinggal dulu ya. Mau nyetrika. Kalau butuh apa-apa panggil aja ya Mbak,” ucapnya lalu Mpok Ela berjalan menuju bagian belakang rumah. “Ok Mpok, terima kasih,” jawabku.

    Akupun mulai menyantap makan siangku sambil memainkan handphone melihat perkembangan-perkembangan di media sosial.

    Selesai makan, aku masih berdiam sejenak di meja makan. Tiba-tiba aku teringat kalau ada Mas Rio di kamar atas. Akupun berniat untuk menemuinya sekedar bertanya kabarnya.

    Kubereskan piring bekas aku makan dan menempatkannya ke tempat cuci piring. Setelah mencuci tanganku, aku pun langsung menuju tangga dan menaikinya menuju kamar Mbak Risa dulu.

    Kamar Mba Risa ini tepat sebelahan dengan kamarku. Dulunya kamar kami ini kamar yang besar, akan tetapi seiring pertumbuhan kami, maka orangtuaku membagi dua kamar ini dengan disekat menggunakan material gypsum.

    Kuketuk pintu kamar Mbak Risa dulu, sambil memanggil Mas Rio pelan. Tidak ada jawaban. Aku buka pintu perlahan. Kulihat Mas Rio tidur terlentang sedikit di sisi kanan tempat tidur dengan posisi tangan dan kaki agak direntangkan ke samping.

    “Mas Rio”, kupanggil namanya sekali lagi.

    “Mmmm”, jawab Mas Rio pelan dengan mata masih tertutup.

    “Lagi ngapain Mas?”, tanyaku.

    “Ngewe”, jawabnya asal.

    “Yeee orang ditanyain bener juga?!”, sahutku.

    “Lagian elo pake nanya lagi, udah tau lagi tidur gini”, balasnya.

    “Kalau tidur kok masih ngomong? Ngigo ya? Hehehe”, candaku sambil menghempaskan pantatku ke tempat tidur dengan posisi sembilan puluh derajat dari posisi sebelah kiri Mas Rio. Kuambil bantal dan kujadikan tempat sandaran di tembok kamar dengan kaki aku luruskan di tempat tidur.

    “Seriusan Mas, ngapain di sini? Kok ngga kerja?”, tanyaku sambil kembali memainkan handphoneku.

    “Kaga, lagi izin gue. Badan gue pegel-pegel. Udah seminggu lebih lembur terus. Mau istirahat di rumah ngga bisa. Ini juga Risa yang nyuruh gue ke sini”, jawabnya kulihat tetap dengan mata tertutup.

    “Nah elo sendiri ngapain ke sini? Nyari makan gratisan ya?”, tanyanya ngeselin.

    “Siaul, mau ambil laundry-an. Tapi yaa sekalian juga makan gratisan sih. Hehehe”, jawabku.

    “Udah kebaca”, tanggapnya enteng.

    Mas Rio pun merubah posisi kaki kirinya dengan menekuknya ke atas. Sehingga membuat ujung celana pendek berbahan parasut hitam yang dipakainya dengan mudahnya turun sampai pangkal pahanya.

    Dan ini membuat terlihat “makhluk” yang tinggal di selangkangan Mas Rio. Memang kakak iparku sering aku perhatikan tidak pernah pakai celana dalam kalau memang niat perginya hanya ke rumah orangtuaku ini, karena rumah dia dengan rumah orang tuaku tidak lebih dari satu kilometer.

    Terlihat jelas makhluk itu masih dalam keadaan tidur, dengan kepalanya sedikit serong ke kiri bersandar di kantong telurnya. Degh, jantungku langsung berdegub kencang, darahku pun berdesir, karena secara otomatis memori kenikmatan itu berputar di kepalaku teringat kejadian satu setengah tahun lalu.

    Pikiranku melayang mengingat kembali bagaimana kenikmatan yang pernah diberikan makhluk itu kepadaku pada saat dia mengamuk dan marah mengoyak-ngoyak sarang kenikmatanku.

    Masih teringat jelas di otakku bentuk penis Mas Rio. Secara ukuran memang tidak berbeda dengan milik Doni, suamiku. Tetapi bentuknya yang unik membuat indera kenikmatanku tidak akan melupakannya.

    Pada saat ereksi kepala penisnya yang besar dan mengembang seperti kapala jamur, mengecil dan seperti ada sekat di leher penis, membesar di batang penis, dan mengecil kembali di pangkal penis.

    Ukh, mengingatnya aja udah membuat vaginaku basah saat ini. Keinginanku untuk menikmati penis Mas Rio timbul kembali. Tapi bagaimana caranya? Aku malu kalau harus memulai lebih dahulu. Sedangkan menurutku saat ini situasi yang mendukung untuk melampiaskan kerinduanku pada penis Mas Rio.

    “Gimana kabar Ari? Udah bisa ngapain aja?”, tanya Mas Rio membuyarkan lamunanku.

    “Baik-baik aja Mas. Yaa standar bayi umur tujuh bulan lah, udah bisa duduk sama ngoceh-ngoceh gitu”, jawabku.

    “Trus elo sendiri gimana? Udah ngga pernah kumat lagi?”, tanya Mas Rio kembali.

    “Kadang-kadang aja sih Mas tapi masih bisa aku kontrol kok. Mungkin karena sibuk ngurusin Ari, jadi ngga ada waktu buat mikir yang aneh-aneh lagi hehehe”, jawabku.

    “Sibuk ngurusin anak, bisa jadi lupa ngurusin laki lo deh hehehe,” candanya.

    “Nggalah Mas, tetep kalo itu mah, kan kebutuhan. Hehehe”, sahutku sambil tersenyum penuh arti.

    “Masih sering emang? Paling banter juga sebulan sekali. Apalagi punya bayi”, lanjut Mas Rio.

    “Curhat ya Mas?”, godaku.

    “Hahaha”, tawanya menanggapi komentarku. “Kaya elo ngga aja. Kalo gue sih minimal seminggu sekali,” lanjut Mas Rio.

    “Iya sih hehehe”, jawabku sambil nyengir.

    “Emang udah berapa lama ngga?”, selidik Mas Rio.

    “Kalo itu mah hampir tiap minggu Mas. Tapi ya ituu..”, jawabku menggantung.

    “Itu apa?”, tanyanya penasaran.

    “Udah ngga pernah ngerasain sampe orgasme lagi sejak ngelahirin, Mas hehehe”, jawabku malu.

    “Udah dol kali meki lo, dokternya lupa jahit”, sahutnya ngeselin. Aku balas melempar bantal di dekatku ke arah mukanya. Diapun tertawa lepas sambil menepis bantal yang aku lempar.

    “Pantesan aja daritadi elo ngeliatin selangkangan gue terus hehehe”, sahutnya sambil cengar cengir.

    “Yee enak aja, ngga dilihatin juga udah nongol sendiri. Tuh udah bangun, jadi ketauan kan Mas kepengen”, balasku.

    “Walaah, iya ya hehehe”, sahutnya santai.

    Penis Mas Rio sudah berdiri tegak, menyeruak dari ujung celana pendeknya, tegak sejajar dengan paha kiri Mas Rio yang masih ditekuk ke atas.

    “Trus kalo udah gini enaknya diapain ya?”, godanya.

    “Disuruh duduk aja Mas, kasian berdiri terus”, jawabku pura-pura tak acuh.

    “Yuk lah”, sahut Mas Rio.

    Kulirik jam di tangan kiriku. Jam satu kurang lima menit. Masih ada cukup waktu. “Quickie aja ya Mas,” jawabku.

    Segera kugeser posisi duduk ke samping kiri Mas Rio. Langsung kubelai penis Mas Rio memakai sisi luar jari telunjuk kiri mulai dari kepala penis sampai pangkalnya. sumber Ngocoks.com

    Penis Mas Rio berkedut-kedut bereaksi terhadap belaianku. Kulihat nafas Mas Rio mulai memburu menikmati aktifitasku memainkan penisnya. Sekitar penis dan buah zakar Mas Rio ditumbuhi rambut.

    Tidak terlalu lebat, tampaknya Mas Rio rajin merawat rambut kemaluannya. Sedangkan panjangnya sekitar empat belas sentimeter, dengan diameter sekitar tiga sentimeter di bagian kepala, membengkak menjadi tiga setengah sentimeter di tengah batang penisnya, dan mengecil di pangkal penisnya sekitar dua setengah sentimeter.

    Kemudian aku memposisikan diriku di antara kedua kaki Mas Rio yang sudah dalam posisi membuka lebih lebar siap menerima pelayanan dariku. Aku berbaring telungkup dengan menopang tangan kiriku untuk menjaga kepalaku tetap berada di atas dekat penisnya. Tangan kananku mulai mengocok perlahan penis Mas Rio.

    Kudekatkan kepalaku ke penis Mas Rio. Kujulurkan lidahku ke lubang kencingnya. Kumainkan lidahku di sana sambil tangan kananku tetap mengocok penisnya.

    Keluar dari lubang penisnya cairan kental bening pertanda penis Mas Rio siap untuk membuahi, lalu kusapu cairan itu dengan lidahku. Perlahan mulai kujilati kepala penis Mas Rio, kusapu seluruh kepala penisnya yang sudah mulai merah merekah.

    Bersambung…

    1 2