Blog

  • Cara Menyetubuhi Ibu Kandung

    Cara Menyetubuhi Ibu Kandung

    Cerita Sex Cara Menyetubuhi Ibu Kandung – Aku adalah seorang lelaki biasa, bukanlah lelaki idola, idaman wanita. Dibesarkan oleh seorang ibu, ayahku meninggal saat aku kecil. Namaku Ayman, tepatnya Ayman Abu Aita.

    Sedang mamaku namanya Sekar. Usianya kira-kira empat puluhan. Kini mama bekerja seorang diri. Kerja keras ayahku dulu membuatku tinggal di rumah yang cukup besar, dengan kolam di bagian belakangnya.

    Aku dan mama lumayan dekat. Sejak kecil, aku sering main berantem dengan mama. Suatu hari kami mau renang bareng. Namun belum juga sampai kolam, entah siapa yang memulai, kami sudah bertarung lagi, seperti gulat di smackdown versi edwin jodi. Aku saat itu hanya memakai kolor, sedang mama hanya memakai bikini saja.

    Tentu saja gesekan kulit ke kulit sulit untuk dihindari. Mama menabrakan kepala ke selangkanganku, langsung kucengkram tubuhnya membuat tanganku memegang susunya. Tabrakan mama membuatku tersungkur ke lantai, cengkraman tangan di tubuh mama tetap tak kulepas. Kakiku mengunci tubuh mama.

    Cerita Sex Cara Menyetubuhi Ibu Kandung
    Cerita Sex Cara Menyetubuhi Ibu Kandung

    Ngocoks Mama menggeliat berusaha membebaskan diri. Akibatnya pantat mama menggesek selangkanganku dan lenganku meremas susunya. Efeknya sunggh tak terduga, kontolku langsung ngaceng di bawah tekanan pantat.

    Mama menyadi kontolku yang sudah ngaceng, lantas menyerah. Kulepas mama sambil menikmati kemenanganku. Mama melihat selangkanganku dan berkata sambil tersenyum, anak mama udah gede yah.

    Aku ikut melihat selangkanganku, ternyata terlihat jelas kalau kontolku ngaceng. Aku menatap mama, khawatir. Namun wajah mama menyiratkan sesuatu yang membuatku tenang. Mama menjelaskan sedikit tentang apa yang terjadi.

    Sejak kejadian itu, pandanganku terhadap mama jadi berubah. Aku mulai masturbasi sambil membayangkan mama. Wajah mama memang biasa saja, namun tubuhnya lumayan subur. Sudah tidak langsing lagi layaknya abg.

    Kadang kuambil cd yang telah mama pakai dan kupakai masturbasi. Saat mama tak ada di rumah, aku buka lemarinya dan kugosok-gosok baju mama dengan kontolku, tidak sampai keluar.

    Karena mulai sering membuka lemari mama, aku menemukan sebuah vibrator yang ketika kupegang ternyata lengket. Aku mulai masturbasi sambil menjilati vibrator itu. Saat keluar, kuusap kontolku ke vibrator hingga vibrator itu dipenuhi pejuku. Lantas kusimpan lagi vibrator itu.

    Aku juga mulai memperhatikan selangkangan mama, berharap bisa menyemprotkan pejuku di sana. Setiap ada kesempatan, aku juga berusaha melihat apa yang seharusnya tak kulihat.

    ***

    Jumat sore, aku berdiri di balik pintu rumah sambil memegang pisau dapur. Ketika pintu dibuka mama tak bisa melihatku karena aku terhalangi oleh pintu. Saat mama masuk, aku langsung bekap mulut mama dengan tangan kiri sementara pisauku dikenakan ku leher mama.

    Kusamarkan suaraku, diam lu kalau gak mau gw bunuh.

    Karena shok, mama diam, kudorong mama hingga menekan tembok lantas kututpi mata mama dengan kain. Kututup sedemikian rupa hingga kuyakin mama tak bisa mengintip. Setelah itu kuikat tangan mama. Tentu kain dan pengikat sudah kusiapkan sebelumnya. Setelah itu, mama kubawa ke ruang tamu dan kududukan di sofa.

    Mmmm Mau apa kamu?

    Kukenakan lagi pisau ke leher mama, kusamarkan suaraku, gw cuma mau lu nurut, kecuali lu udah bosen hidup, gw bisa bantu lu pulang.

    Mama kini gemetaran. Hatiku serasa tak tega. Sepertinya aku pergi saja meninggalkannya. Namun, tubuh mama yang gemetaran membuat roknya agak naik. Aku duduk di samping mama, kutempelkan lagi pisau ke leher mama, tanganku mengelus kakinya membuat roknya tersibak. Tubuh mama menegang.

    Jangan, tolong jangan. Ambil saja semua uang.

    Diam… Lantas kuhentikan ucapanku karena menyadari suaraku belum tersamarkan. Untungya mama tak menyadari itu. Kini kusamarkan suara,

    Sekali lagi lu ngomong tanpa gw suruh, lu bakal gw… sengaja kugantung kalimatku membiarkan imajinasi mama yang melanjutkan.

    Tanganku makin masuk ke dalam rok mama membelai pahanya. Kulitnya sungguh halus, sehalus pantat bayi. Hingga jemariku menyentuh cd mama. Kueluskan jariku di cd mama. Elusanku kunaikan ke atas, lantas kumasuki cd mama hingga jemariku menyentuh jembutnya. Kuturunkan jemariku hingga mulai menyentuh belahan memek mama.

    Tak ingin terbuai keadaan, kuangkat rok mama dan kembali menyamarkan suara, kita liat lu punya apaan. Terlihatlah cd mama. Karena mama terikat dan tak bisa melihat, aku bisa melihat dan menyentuh sepuasnya.

    Kulebarkan paha dan kudekatkan wajahku ke cd mama. Kuhirup selangkangan mama. Kukecup dan kucium cd mama sambil mengelus kontolku. Saat ciumanku bergerak menekan, mama kembali mengerang.

    Kuangkat pinggul mama dan kuturunkan cdnya. Akhirnya aku bisa melihat apa yang telah kuimpikan selama ini. Di depanku terpampang memek mama. Jembutnya agak lumayan.

    Kini aku siap melangkah ke rencanaku selanjutnya.

    Aku bergerak ke belakang mama dan menyumpal mulutnya. Mama menggeliat mencoba berontak.

    Kusamarkan suara, diem lu. Ada yang datang.

    Mama diam, seolah sedang berusaha mendengar apa yang kukatakan. Pelan-pelan, berusaha tanpa menimbulkan suara, aku melangkah ke pintu depan. Aku menunggu beberapa saat, lantas ku buka. Kututup lagi pintu.

    Kusamarkan suara, diem lu kalau masih mau hidup.

    Aku melihat mama mulai bergerak-gerak di sofa.

    Kusamarkan suara, Tenang, gw bawa lu biar lu gak nabrak.

    Kuseret kakiku hingga ke ruang tamu. Kusamarkan suara lagi, kayaknya anaklu ikut gabung nih.

    Mama langsung menutup paha menyembunyikan memeknya. Aku melangkah melepas ikatan mulutnya.

    Jangan lukai dia. Kuberikan semua yang kupunya. Tapi tolong, jangan sakiti anak saya, kata mama memohon.

    Mah, ada apa ini mah? kataku bersuara normal.

    Kusamarkan suara, gw gak mau lukai siapa pun, tapi kalau terpaksa ya apa boleh buat. Kalau lu ga nurut apa kata gw… gw gak jamin ada yang selamat. Sengaja gw tutup mata lu pada biar gak tau siapa gw. Kalau lu ada yang ngintip, gw bunuh di tempat. Ngerti lu?

    Kuhentikan kata-kataku membiarkan mama mencernanya. Kusamarkan lagi suara, gw tanya lu ngerti gak?

    Iya, kata mama pelan.

    Kusamarkan suara, kalau lu ngerti gak?

    Kunormalkan suara, iya, gw ngerti. Jangan lukai kami.

    Bener nak, mama mencoba menghiburku. Kamu jangan ngelawan. Kita diam aja sampai semuanya usai.

    Kasih sayang yang timbul di suara mama membuatku tak tega. Mama yang duduk dengan mata tertutup mencoba menenangkanku yang dikira mama sama sedang menjadi korban.

    Kusamarkan suara, bagus, namalu siapa?

    Ayman, kataku normal.

    Kalau mamamu?

    Sekar, mama menjawabnya, eh, menjawabku, bukan, dia. Makin ke sini makin membuatku bingung. Aku harus benar-benar konsentrasi dengan permainan ini.

    Kusamarkan suara, Man, gw kasih lu hadiah. Gw bakal buka tutup matalu, tapi lu gak boleh berpaling liat gw. Kecuali lu mau gw bunuhlu dan mamalu.

    Mah! teriakku dalam suara normal, aku berusaha agar terdengar terkejut sebisa mungkin.

    Mama menyadari anaknya melihat tubuhnya yang telanjang dari pinggang ke bawah. Mama lantas menyilangkan kaki. Kini memeknya benar-benar tak terlihat.

    Kusamarkan suaraku, Sekar, buka lebar-lebar kakilu. Gak pantes lu tutupi apa yang udah lu kasih liat ke gw. Kasih maman juga! Sengaja kupanggil namaku dengan kata ‘maman.’

    Mama perlahan-lahan melebarkan kaki, menampilkan memeknya untuk dilihat anaknya.

    Kusamarkan suara, man, lu berlutut di depan mamalu trus liat baik-baik memek mamalu.

    Kutekankan wajah ke memek mama seolah-olah sedang didorong kepalaku dari belakang. Aku berpura-pura menarik wajahku dari tekanan. Kugosok lagi kepalaku dan kutarik lagi, walau secuil, secuil.

    Kusamarkan suara, sekali lagi lu ngelawan, lu bakal tau akibatnya. Bilang ke mamamu di mana sekarang pisau gw hah?

    Kunormalkan suara, pisaunya nempel di leher mah, kataku berusaha terdengar ketakutan.

    Jangan, jangan sakiti anakku. Dia gakkan ngelawan lagi. Man, sayang, lakuin apa kata dia. Jangan ngelawan.

    Aku tersenyum mendengar mama yang mengizinkanku melakukan apa pun.

    Kusamarkan suara, liat memek mamalu, pegang, periksa. Apa yang lu liat?

    Kutatap memek mama hingga puas. Aku senang mengetahui kalau mama menyadari anaknya sedang melihat memeknya. Perlahan kusentuh memek mama dengan jariku membuat mama mendesah, tapi mama tak menyuruhku berhenti. Kuelus jembutnya dan kutekan-tekan di beberapa bagian, akhirnya kubuka bibir memek mama.

    Aku mulai melakukan apa yang aku suruh, memeknya ada jembutnya. Ada celahnya. Ada seperti bibir luarnya. Di dalam hangat dan lembab. Ada lubangnya, jariku mudah masuk. Di dalam lubang lebih hangat dan basash. Ada benjolan kecil di atasnya, sepertinya agak keras dan licin.

    Oh nak, mama mengerang saat jemariku memainkan itilnya, jangan di situ nak, sensitif banget.

    Kusamarkan suara, kayakanya lu bikin mamalu sange, terus mainin itilnya. Dia suka tuh.

    Mama sepertinya sangat malu, bukan hanya anaknya memainkan memeknya, tapi juga mama malah terangsang. Kini mama ikut menggerakkan pinggulnya.

    Kusamarkan suara, bagus, dia bener-bener menikmatinya. Iya kan sekar? Man, sekarang pake mulutlu, jarilu ganti pake lidah. Sekar, lu jangan hentikan anaklu sampai lu keluar. Awas, jangan sampai pura-pura keluar, gw bakalan tau. Juga jangan malu, bilang ke anaklu apa yang mesti dilakukan dan gimana rasanya saat anaklu ngelakuinnya.

    Langsung kulahap memek mama dengan mulutku. Kujilati celahnya, dari bawah ke atas. Kuselipkan lidahku ke dalamnya. Kudorong lidahku ke liang memek mama. Ngocoks.com

    Uh, nak, mama bicara di sela erangannya, lidahmu di dalam mama. Kayak keluar masuk. Kerasa gak denyutan memek mama ke lidahmu? Nikmat sayang. Oh… geraknya yang cepat nak. Ya, bener nak… sekarang jilat itil mama. Nah, kayak gitu, terus… ah… nikmat… ahh… ahh… mama keluar, ohhh aahhhh.

    Mamaku keluar di wajahku. Kutarik wajahku dan kusamarkan suara, sekarang gw tutup lagi matalu. Awas kalau lu coba ngintip. Aku mundur sambil melihat mama terengah-engah. bagus. Gimana rasanya memek mamalu man? Gw liat lu jilatin memeknya, berarti lu suka ya? Gimana rasanya lidah anaklu Sekar? Kalau liat lu keluar kayaknya lu bener-bener suka lidah anaku ya.

    Mama memerah karena malu. Bagaimana mungkin mama bisa menikmati aktifitas seksual yang dilakukan oleh anaknya sendiri? Seorang ibu tak boleh terangsang oleh anaknya, tapi lidahku ternyata membuat mama keluar.

    Kusamarkan suara, sekar, gw liat apa yang gak lu liat. Anaklu juga doyan memeklu, kontolnya udah bikin celananya jadi ngembang. Maman, lepas celanamu.

    Gw Ayman, bukan Maman, kataku normal sambil berteriak.

    Kusamarkan suara, mau ngelawan lu anjing. kutampar tanganku hingga bersuara keras.

    Apa itu? mama menjerit ketakutan.

    Bersambung…

    1 2 3
  • Perjalanan Wisata

    Perjalanan Wisata

    Cerita Sex Perjalanan Wisata – Jenuh sekali rasanya dengan kemacetan di Jakarta dan pekerjaan rutin yang rasanya bikin perut mual. Aku berkhayal berkelana ke suatu daerah dataran tinggi yang masih asing bagiku.

    Di kantor aku mencoba membuka google earth menjelajah daerah-daerah yang kira-kira menarik. Pertama aku menelisik daerah Wanayasa di Subang, tetapi tidak ada yang menarik, hanya ada beberapa spot, tetapi kayaknya sih biasa-biasa saja.

    Aku berpindah ke daerah antara Sukabumi dengan Cianjur. Ada situs megalitik Gunung Padang. Situs ini sering muncul di pemberitaan. Yang kuingat berita dugaan bahwa situs ini diduga berupa bangunan paling tua di Asia.

    Sebetulnya mengunjungi situs megalitik, tidak terlalu menarik bagiku, apalagi untuk datang kesana harus menaiki jalan undak-undakan yang cukup tinggi. Namun ada yang menarik di sekitar Situs Gunung Padang.

    Cerita Sex Perjalanan Wisata
    Cerita Sex Perjalanan Wisata

    Ngocoks Di sana ada terowongan kereta api yang dibangun Belanda di akhir tahun 1800 an. Terowongan panjang lebih dari 400 m dengan stasiun kecil Lampegan. Terowongan dan stasiun yang tidak terpakai cukup lama itu juga sudah menjadi daya tarik wisata.

    Namun rasanya kurang menarik bagiku untuk jauh-jauh datang hanya melihat terowongan dan stasiun. Setelah googling aku banyak menerima informasi mengenai situs Gunung Padang dan Lampegan.

    Boleh juga rasanya ada dua obyek wisata untuk menjadi tujuan wisata. Di peta Goggle muncul pula foto air terjun Cikondang. Air terjun itu kelihatannya cukup menarik. Wah 3 obyek wisata untuk sekali perjalanan wisata, rasanya cukuplah memadai.

    Otakku berproses sesuai dengan pengalaman dan minatku. Jika di tahun 1879 – 1882 pembangunan terowongan Lampengan, pastilah banyak orang Belanda yang terlibat pada pekerjaan konstruksi itu.

    Pasti mereka tinggal di daerah sekitar proyek. Dan rasanya Belanda tidak akan berani membawa istri ke proyek yang pada waktu itu berada di pelosok hutan. Sebab sekarang saja letaknya kelihatan cukup jauh dari jalan raya Sukabumi-Cianjur.

    Logikanya pastilah orang-orang Belanda dulu nyikat cewek-cewek kampung di sekitar Proyek. Pada waktu itu mana ada yang peduli kalau ngewek harus menjaga agar ceweknya tidak sampai hamil.

    Yang penting puas negcrot ya sudah. Bisa jadi akan ada orang-orang yang keturunan bule campur wanita sunda. Jika benar, maka yang sekarang ada itu adalah mungkin keturunan generasi ke tiga atau bahkan ke empat.

    Informasi ini tidak aku dapat dari pemburuan melalui googling, jadinya bikin penasaran. Jadilah tujuan wisata itu makin menarik minat. Siapa tahu bisa ketemu cewek indo di kampung pedalaman Jawa Barat.

    Untuk berkelana sendirian rasanya kurang nyaman. Aku mengajak temanku sebut saja Bambang, Aku memanggilnya Mas Bambang, padahal dia juga memanggilku Mas, mas Jay. Usianya memang lebih muda dariku.

    Setelah bersepakat, aku ambil cuti 2 hari, Kamis-Jumat. Pagi-pagi sekali kami berdua berangkat langsung ke Cianjur. Aku menghindar pergi ke sana pada hari Sabtu atau Minggu, karena hanya boros-boros energi, dan uang dengan kemacetan jalur puncak.

    Sedikit kujelaskan mengenai teman seperjalananku ini, dia agak punya keistimewaan soal indra ke enam. Memang tidak tajam-tajam amat, tetapi beberapa kali cukup terbukti dengan dugaannya. Soal lain kami berdua sama-sama suka berburu wanita cantik.

    Hampir 4 jam juga akhirnya kami sampai ke jalan lintas antara Cianjur – Sukabumi. Kami berhenti di satu warung yang sangat sederhana di tepi jalan raya. Bukan untuk makan, karena sejam lalu sudah makan cukup kenyang, tapi untuk sekedar ngopi dan menggali informasi.

    Enak sekali rasanya ngopi sambil nyedot asap rokok di daerah yang udaranya sejuk begini. Bambang tiba-tiba bangkit berjalan ke tepi jalan raya. Aku tidak sempat bertanya, hanya mengikuti dengan pandangan saja. Dia terlihat menghampiri seorang wanita yang kelihatannya sedang menunggu kendaraan umum.

    Mereka kelihatan ngobrol sebentar, lalu wanita itu ikut Bambang berjalan menuju warung. Kelihatannya ceweknya cukup bening, umurnya sekitar 25 – 30 tahun agak tinggi, kulit putih dan rambut kelihat kayak dicat coklat. Setelah agak dekat aku baru agak jelas melihat raut wajahnya, yang lumayan cantik juga.

    “Kenali mas,” Bambang mengenalkan wanita itu ke aku. Si cewek mengulurkan tangan dan aku segera menyalaminya. Rasanya lembut sekali tangannya. Dia menyebut namanya Wieke. Ketika kutawari minum dia menolak, eh malah minta izin ke pemilik warung mau ke WC.

    Ketika dia berlalu, aku penasaran dengan rencana si Bambang. Dia dengan semangat menjelaskan bahwa, Wieke ini berhasil dibujuk Bambang agar menjadi penunjuk jalan untuk mencapai obyek wisata yang akan dituju.

    Harus aku akui, Bambang cukup cerdas, dan mungkin sixth sense nya tadi bermain. Perjalananku bakal makin menarik dan menantang. Wieke duduk di depan mendampingiku mengemudi, Bambang pindah ke belakang.

    “Mau kemana tadi Wiek,” tanyaku.

    “Mau jalan aja,” jawabnya.

    Jawabannya itu menimbulkan kecurigaanku, karena jawaban seperti itu sering dikemukakan cewek-cewek yang cari mangsa di Puncak. Aku harus memastikan apa profesinya, kalau dia jualan, aku agak malas juga lah.

    “Mau jalan kemana,” tanya ku.

    “Ya jalan aja, di rumah stress,” katanya singkat.

    “Lho kok stress, emang kenapa,” tanyaku dengan rasa ingin tahu tanpa tedeng-aling-aling.

    Akhirnya dia bercerita mengenai keadaan rumah tangganya yang terpuruk sejak dia ditinggal oleh suaminya yang menghilang begitu saja sejak usahanya bangkrut. Wieke kembali ke kampung bersama anak nya berumur 2 tahun tinggal di rumah orang tuanya.

    Mencari kerja tidak ada yang cocok, mulai mejadi spg sampai bekerja di restoran, hasilnya tidak memadai, karena sebagian besar habis untuk ongkos dan lebihnya untuk di rumah hanya sedikit. “Ada sih yang ngajak untuk kerja gituan, tapi saya ogah, takut kena penyakit,” katanya terus terang.

    “Lha sekarang kenapa stress,” tanya saya memancing.

    “Gimana gak stress, duit gak ada, gak tau mau cari kemana, listrik di rumah belum dibayar, cicilan motor udah 2 bulan nunggak, utang di warung banyak,” katanya sambil berbicara menahan tangis.

    Untuk menetralkan suasana aku bertanya mengenai arah jalan. Dia menunjukkan jalan, bahkan hafal benar dengan jalan yang rusak. Rupanya dia memang berasal dari daerah Cibokor, tempat dimana yang aku duga banyak keturunan Belanda.

    Wieke membenarkan bahwa di kampungnya memang benar banyak orang yang keturunan Indo. Tapi dia tidak bisa menceritakan kenapa dikampungnya banyak cewek-cewek indo yang padahal asli lahir dan besar di kampung itu dan lahir dari keluarga Sunda. Dia mengaku juga bahwa mungkin dia juga keturunan Indo.

    Aku mencoba mengorek informasi mengenai tujuan wisataku. Dia mengatakan, situs Megalitik memang banyak yang berkunjung, terutama pada hari libur atau minggu. Menurut dia, tujuan wisata itu kurang cocok untuk kami, karena akan melelahkan mendaki sampai ke puncak yang disebut teras-teras. Namun untuk foto-foto masih cukup bagus.

    Kami tiba di terowongan Lampegan. Terowongan yang bersejarah ini agak kurang menarik karena banyak corat-coret grafiti. Dalam perjalanan menuju Lampegan kami meliwati kampung yang disebut banyak perempuan cantik keturunan indo.

    Sebetulnya aku ingin berhenti sejenak untuk ngopi, tapi Wieke mencegah, karena dia beralasan malu, sebab banyak yang dikenal di kampung itu.

    Dari Lampegan perjalanan diteruskan ke Gunung Padang. Situs yang dipenuhi oleh bertaburan batu-batu purbakala itu masih dalam proses penggalian, sehingga bentuk bangunan sesungguhnya seperti apa, belum bisa dibayangkan.

    Kami ambil beberapa foto, dan menjadikan Wieke menjadi modelnya. Orangnya cukup supel, dan wajahnya cukup photogenic, pandai bergaya pula. Sejam lebih kami habiskan mengitari situs Gunung Padang, lalu kami meneruskan perjalanan ke air terjun Cikondang. Orang Sunda menyebut Curug Cikondang.

    Perjalanan cukup jauh juga dan jalannya banyak yang masuk klasifikasi off road . Untung mobilku SUV, sehingga mudah melahap jalan tanah yang berbatu-batu.

    Sesampainya di dekat air terjun perjalanan tidak bisa dilanjutkan karena buntu. Kami harus berjalan kaki sekitar 1 km. Air terjun sudah terdengar dari jauh. Cukup terbayar jalan rusak dan berjalan kaki 1 km dengan pemandangan air terjun yang cukup menakjubkan.

    Waktu sudah semakin sore, jam di tanganku sudah menunjukkan jam 5 sore, jika pulang ke Jakarta bisa dipastikan akan sampai tengah malam. Aku memang sudah berencana akan bermalam.

    Aku lantas berpikir bagaimana caranya menanyakan kemungkinan ngajak nginap si Wieke. Persoalan berikutnya adalah, sama siapa si Wieke akan tidur, andaikan dia mau ikut nginap.

    Pusing juga memikirkan cara menyampaikan hasrat. Aku berhentikan kendaraaan lalu mencabut 2 ratus ribu dan ku serahkan ke Wieke. Itu adalah upah dia sebagai pemandu. Diterimanya dan wajahnya terlihat senang betul.

    Dalam suasana seperti itu, aku langsung melancarkan niatku mengajaknya menginap di Sukabumi. Wieke terdiam sejenak, sepertinya dia sedang berpikir. Akhirnya dia setuju ikut kami menginap. Satu persoalan sudah teratasi, persoalan berikutnya menunggu jawaban.

    Aku meminta dia mengajak seorang temannya untuk ikut menginap, agar menjadi dua pasang. Wieke terdiam sejenak. “Temen saya banyak, kang,” katanya.

    “Ada fotonya ? Di HP mu,” tanya ku.

    Wieke lalu membuka foto-foto yang tersimpan di Hpnya, Sambil mobil terus berjalan dia menunjukkan sekitar 3 orang temannya. Aku minta si Bambang untuk memilihnya.

    Bambang memilih foto yang cukuk cantik, malah lebih cantik dari si Wieke, rambutnya juga rada pirang. Wieke mencoba mengontak. Aku tau yang diajak berbicara adalah Neneng, karena Wieke menyebutnya Neng.

    Kelihatannya si Neng mau diajak nginap. Menurut Wieke, Neng juga janda, umurnya sedikit lebih muda, dan baru punya satu anak sekarang sudah sekolah di SD. Neng kawin muda, lalu cerai karena suaminya ketahuan punya simpanan.

    Si Neng menunggu di minimarket. Sekitar jam 7 kami sampai di titik yang dijanjikan , tapi Neneng belum kelihatan batang hidungnya. Ketika di kontak Wieke, neng sedang dalam perjalanan naik ojek dari rumahnya. “Kang si neng gak punya duit, untuk bayar ojek, makanya dia nunggu kita nyampe dulu di sini, akang bayarin ya ojeknya,” kata si Wieke.

    Menurut Wieke ojek si Neng sekitar tiga puluh ribu. Pantas saja dia belum muncul, karena kalau dia datang duluan, duit untuk bayar ojeknya dia gak punya. Kehidupan di kampung kelihatannya memang berat sekali.

    Aku sempat menyeduh kopi, karena kebetulan mini market ini menyediakan alat penyeduh kopi dan ada bebera set kursi dan meja. Sekitar 15 menit kami menunggu, muncul sepeda motor dengan seorang perempuan duduk di belakang. Wieke yang sudah kupegangi uang 30 ribu langsung mendekati tukang ojek untuk membayarnya.

    Neneng memang cantik juga, wajahnya segar rambutnya tergerai melebihi bahunya. Aku sudah sepakat dengan Bambang, bahwa aku berpasangan dengan Wieke dan Bambang dengan si Neng. Jika memungkinkan besok di swing.

    Si Neng lebih ceriwis, dia banyak berbicara dengan logat khas Sunda. Sesampai di Sukabumi aku mengarahkan ke Salabintana. Dua buah cottage kami sewa. Unit yang tersedia tidak ada yang berdekatan, sehingga kami terpisah jauh. Unit cottage, cukup mewah, dengan ruang tamu terpisah dengan ruang tidur dan ada pantry untuk memasak.

    Badan terasa lengket oleh bekas keringat. Aku berencana mandi. Di kamar mandi ada shower dan setelah kuperiksa memang tersedia air panas. Sayang tidak ada bak untuk berendam.

    Wieke yang duduk menonton TV kuajak mandi bareng. Tanpa malu-malu aku minta dia memandikanku. “ Ih si Akang udah kolot juga masih minta dimandiin,” katanya

    Namun begitu dia berdiri juga dan merangkulku menuju kamar mandi. Aku bertahan sejenak, karena sebelum masuk kamar mandi aku menyarankan agar masing-masing membuka baju agar bisa digantung di lemari. Gantungan di kamar mandi terbatas.

    Si Wieke paham, lalu dia membuka bajuku dengan menarik kaus oblongku, lalu singlet, melepas sabuk dan menurunkan resleting. Di balik celana dalam sudah mengeras sebongkah urat. “Idih senjata udah dikokang aja tuh.” kata Wieke.

    Tanpa ragu celana dalamku dilepasnya sekalian, sehingga penisku langsung tegak mengacung. Digenggamnya sejenak. Rasanya nikmat.

    Berikutnya giliran Wieke melepas satu persatu pakaiannya sampai telanjang bulat. Tubuhnya masih bagus, kulit putih di sekujur tubuhnya nyaris tanpa noda dan cacat. Putingnya coklat muda, rambut di selangkangannya jarang, bahkan dapat dikatakan gundul. Bentuk memeknya jadi terlihat jelas cembung.

    Teteknya masih cukup tegak berdiri, ukurannya tidak terlalu besar, tetapi juga tidak dapat digolongkan kecil. Perutnya kecil, meski masih tersisa bekas stretch ketika hamil dulu, pantatnya agak nonggeng.

    Wieke termasuk tinggi, bedanya dengan ku mungkin hanya sekitar 5 cm. Kutaksir tingginya sekitar 170 cm. Kami berdua berangkulan menuju kamar mandi. Setelah ritual gosok gigi dengan sikat dan pasta gigi yang disediakan hotel, kami berdua lalu berbasah ria di bawah shower. Nikmat sekali rasa air hangat, apalagi sambil berpelukan dengan cewek yang cantik.

    Tegangan penisku dari tadi tidak kendur, sehingga ketika disabuni tetap berdiri tegar. Wieke nakal, dia mengocok penisku membuat dia makin keras dan garang. Setelah sekujur tubuh kami bersih dan wangi. Wieke jongkok lalu menghisap penisku. Aku bagai melayang ke angkasa merasakan nikmat. Dia tidak menuntaskan sampai spermaku muncrat.

    Dengan dua handuk kami mengeringkan badan, rasa lelah dan lesu seketika hilang, yang ada tinggal nafsu. Wieke menawariku untuk memijat, Aku memang suka dipijat, tetapi dalam keadaan tegang begini, aku memilih untuk melampiaskan birahiku dahulu.

    Wieke setuju. Dia kuminta berbaring telentang dan aku menciumi sekujur tubuhnya menghisap kedua putingnya bergantian meremas teteknya yang mengkal, lalu mengobok-obok celah memeknya. Sudah berlendir celah vagina di bawah sana.

    Aku berpindah melakukan oral di kemaluannya. Kemaluan Wieke agak unik, karena bibir dalamnya agak panjang sehingga aku bisa menjewerkan. Warnanya tidak seperti kebanyakan cewek indonesia yang umumnya berwarna gelap atau cenderung berwarna ungu tua. Milik Wieke yang seperti jengger itu berwarna merah agak gelap.

    Aku mengecup kedua bibir panjang itu dan menggigit dengan kedua bibirku lalu menariknya. Dengan sentuhan itu saja Wieke sudah kelojotan nikmat, padahal itilnya belum tersentuh lidah.

    Banjir di lubang vaginanya makin banyak. Bulatan itilnya menonjol keluar dan terlihat mengkilat berwarna merah. Ketika kusapu dengan lidahku, Wieke langsung menggelinjang.

    Aku sedot sekuat-kuatnya, sehingga clitorisnya tetarik keluar. Bentuknya seperti kepala penis hanya saja ukurannya kecil. Aku menjilati, mengulum dan menghisapnya sampai akhirnya dia mencapai orgasme.

    Wieke termasuk cepat mencapai orgasme. Setelah orgasmenya selesai aku memasukkan jari tengah dan jari manis ke dalam celah vaginanya lalu perlahan-lahan. Mengocoknya.

    Awalnya dia tidak menunjukkan reaksi, tetapi beberapa menit kemudian dia mulai mengerang dan suaranya makin lama makin keras sampai akhirnya dia berteriak mau pipis,

    “Kang aku kebelet pipis, aduuuuuh gak tahan, aduh- aduhhhhhh,” dan serrrr memancar cairan dari celah vaginanyanya, Pancaran cairan itu cukup deras, seperti air kencing, dan memancur sekitar 3 kali dengan gelombang orgasme.

    Bersambung…

    1 2
  • Demi Keluarga

    Demi Keluarga

    Cerita Sex Demi Keluarga – Aku dilahirkan dalam keluarga pengusaha. Papa dan Mamaku adalah pengusaha. Mereka membangun bisnis bersama dari nol. Usaha keluarga kami cukup menghasilkan. Kami mampu membeli rumah di daerah Kelapa Gading dan beberapa rumah peristirahatan di luar kota Jakarta.

    Keluarga kami terdiri dari Papaku, Hermawan berusia empat puluh tahun, Mamaku, Lenny berusia tiga puluh enam tahun dan aku, sekarang usiaku delapan belas tahun. Kami keturunan Tionghoa. Papaku tampak seperti pengusaha biasa, dengan rambut mulai membotak dan perut buncit.

    Mama, di lain pihak, adalah perempuan yang senang merawat diri. Tubuh Mama tidak pernah gendut. Ia tampak langsing dan memiliki postur yang tegap bagai peragawati. Walaupun dadanya tidak terlalu membusung, namun tetap saja terlihat indah dan mancung di balik pakaiannya.

    Cerita Sex Demi Keluarga
    Cerita Sex Demi Keluarga

    Ngocoks Tetapi jujur saja, aku mengagumi kecantikan Mamaku. Pernah juga aku masturbasi membayangkan tubuh Mamaku namun setelah itu aku merasa bersalah. Alasan aku pernah membayangkan tubuh Mama adalah kami punya kolam renang dan biasa berenang.

    Biasanya Mama memakai baju renang one piece. Dan karena biasa aku jadi tidak terlalu memikirkannya, namun suatu kali Mama memakai bikini kuning dan aku dapat melihat tubuh Mama yang hampir telanjang.

    Payudara Mama memang tidak besar, namun gundukkan teteknya cukup jelas terlihat dan bentuknya tegak bukan kendor, dengan puting menyembul di kain penutup dadanya. Perut Mama begitu rata dengan pinggang ramping, namun pantat sedikit besar. Tinggi badannya 160 cm, lebih pendek dariku yang bertinggi 170 cm.

    KE DUKUN KARENA PUTUS ASA

    Kisahku dimulai tahun lalu. Saat itu aku berusia tujuh belas tahun. Aku saat itu kelas 3 SMA. Berhubung aku sudah dewasa dan memiliki KTP, aku dihadiahkan mobil sedan yang sering kupakai untuk sekolah maupun jalan-jalan.

    Pada saat itu, usaha Papa dan Mama mengalami kemunduran, kemunduran ini mulai semenjak tiga tahun belakangan. Kami tertipu ratusan juta rupiah. Selain itu, banyak juga rekan bisnis yang memilih untuk berbisnis dengan saingan kami. Juga ada investasi yang tidak menguntungkan, maka makin lama, keuangan kami mulai menipis.

    Segala hal telah dicoba, mulai dengan menawarkan discount ke rekan bisnis ataupun customer, berhutang ke bank untuk ditanam sebagai modal (yang membuat hutang semakin banyak) dan bahkan pergi ke orang pintar untuk meminta bantuan. Namun semuanya tidak berhasil mengangkat perekonomian keluarga kami.

    Suatu hari, teman dekat Mamaku datang berkunjung. Mereka asyik berbincang ngalor ngidul. Akhirnya sampai pada topic keuangan. Teman Mamaku itu juga memiliki bisnis keluarga yang dibangun bersama suaminya. Mama bertanya kepada temannya mengenai kiat mereka sehingga dalam jaman susah begini usahanya makin maju.

    Sungguh terperanjat Mama ketika tahu, bahwa temannya itu pergi ke dukun di luar kota. Mulanya Mama tidak percaya, namun temannya tetap bersikukuh bahwa semua karena dukun itu. Akhirnya setelah bicara panjang lebar, Mama menjadi yakin dan ingin mencoba dukun itu. Anehnya, teman Mama berkata.

    Tetapi, Ci. Ada syaratnya.

    Syarat? Apa syaratnya?

    Cici harus berangkat berdua ke dukun itu. Harus membawa teman lelaki, tetapi tidak boleh membawa suami.

    Loh, kenapa?

    Itu memang syaratnya. Pokoknya cici percaya saja. Saya sudah membuktikan sendiri. Dan segala perkataan dukun itu telah terbukti.

    Terus harus sama siapa?

    Pokoknya harus lelaki dewasa yang bukan suami sendiri. Cici kan punya sopir? Saya sarankan bawa sopir aja. Kan sekalian ada yang ngatar juga. Nah, begitu sampai, Cici dan supir Cici harus menghadap dukun itu.

    Tak lama kemudian teman Mama pulang setelah memberitahukan alamat dukun itu dengan peta buram untuk mencapai ke sana. Malamnya, Mama dan Papa berembuk. Papa yang juga sudah tak berdaya menghadapi keadaan akhirnya setuju.

    Tapi, Ma, kata Papa, Papa ga mau Mama dianter sopir ke tempat dukun itu di luar kota. Papa ga merasa nyaman.

    Loh, Pak Mo itu kan sudah lama jadi supir kita? Hampir sepuluh tahun.

    Papa tetap ga setuju.

    Tapi syaratnya kan harus ada lelaki yang ngantar Mama.

    Begini saja, deh. Si Koko itu kan sudah besar, lagian dia juga sudah bisa bawa mobil. Mending kalian berdua saja yang pergi. Papa merasa kalau Koko yang nganter, maka lebih aman dan nyaman. Baik bagi Mama maupun bagi Papa.

    Akhirnya mereka menyetujui hal ini. Aku jadi sopirnya Mama. Pada mulanya aku menolak, berhubung akhir minggu aku ada kencan dengan pacarku. Tapi Papa malah marah dan mengatakan aku anak durhaka yang tak mau menolong keluarga. Akhirnya aku terpaksa menurut juga dengan hati penuh rasa sebal dan marah.

    Malam Sabtu kami berangkat sore. Perjalanan ke tempat dukun itu memakan waktu sekitar lima jam. Sekitar pukul sepuluh kami sampai di tempat itu. Tampak banyak pengunjung. Ada sekitar dua puluhan pasangan menunggu. Setelah kamipun ada sekitar lima atau enam pasangan yang datang.

    Dari kesemua pasien dukun itu, tampak sepertinya adalah majikan dan sopir. Namun ada juga yang bagaikan suami isteri yang sepantaran. Mungkin juga supir tapi ganteng, entahlah. Mama dan aku berpandangan. Jangan-jangan harus dengan sopir. Wah bisa berabe nih. Namun karena nasi sudah menjadi bubur, maka kami tetap menunggu giliran kami dipanggil dukun itu.

    Akhirnya kami dipanggil masuk kamar dukun itu. Dukun itu tampak sedikit terkejut. Kami bersila di depannya dengan tempat kemenyan yang berasap di antara kami dan dukun itu. Setelah jeda yang agak lama ia berkata.

    Maaf, Mama. Mama membawa siapa?

    Ini anak saya, Ki.

    Dukun itu mengangguk-angguk dan terdiam berfikir selama beberapa saat. Akhirnya ia berkata,

    Biasanya yang datang adalah pasien dengan sopirnya atau temannya. Tapi Mama bawa anak sendiri. Bagus, bagus.

    Apanya yang bagus, dok? tanyaku penasaran. Tapi dukun itu tidak menjawab malah menerawang jauh seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Akhirnya ia berkata lagi.

    Ada keinginan apa, sehingga Mama datang ke sini?

    Mamaku menjawab,

    Begini, Ki. Kami sekeluarga memiliki usaha yang besar. Tetapi akhir-akhir ini terus merugi. Kami sudah melakukan segalanya untuk memperbaiki usaha kami, tapi selalu gagal. Nah, menurut teman saya, Aki ini katanya pintar sekali dan manjur. Maka kami ke sini minta bantuan Aki agar usaha kami sukses.

    Dukun itu manggut-manggut. Setelah terdiam (lagi) beberapa saat ia berkata,

    Bisa. Bisa. Tapi, syarat untuk mencapai keinginan ini berat sekali. Kalian harus bersumpah kepada Aki untuk melakukan syaratnya. Bila syarat ini tidak dilakukan, maka hasilnya adalah harta kalian akan habis sekejap dan kalian akan jadi miskin.

    Syarat apa itu, Ki? Kalau tidak berat maka kami pasti akan melakukannya, kata Mamaku.

    Syarat ini jelas berat. Namun, Aki tidak boleh membicarakan syarat sebelum kalian bersumpah dahulu. Ini adalah keharusan dari ilmu yang Aki miliki.

    Maksudnya, kami harus bersumpah tanpa tahu syaratnya apa? Tanya Mama.

    Betul.

    Gimana, ya Ki? Kami harus tahu dulu agar kami bisa menentukan bisa atau tidaknya. Contoh, bila syaratnya membunuh orang, tentu kami tidak akan melakukannya.

    tidak perlu membunuh. Syarat ini tidak akan menyakiti orang lain malahan akan memberikan kebaikan pada diri sendiri.

    Aki tidak akan bilang syaratnya sebelum kami bersumpah?

    Dukun itu mengangguk-angguk lagi.

    Mama menatapku dan bertanya,

    Gimana?

    Koko sih setuju aja bila tidak harus menyakiti orang lain. Kan semua demi keluarga.

    Akhirnya kami setuju. Dan ritual sumpah itu dilakukan. Kami bersumpah sendiri-sendiri dengan sang dukun memegang jidat kami dan mengasapi dengan kemenyan. Anehnya, aku hanya bersumpah akan melakukan satu syarat, sementara Mama harus bersumpah melakukan dua syarat. Barulah kemudian ia kembali duduk di tempat semula dan berkata.

    Perlu diingat bahwa kalian sudah bersumpah. Dan dalam sumpah itu, kalian juga menerima bahwa apabila menolak melakukan syarat-syarat, maka harta kalian akan hilang dari muka bumi.

    Kami berdua mengangguk.

    Sebenarnya syaratnya adalah kalian harus melakukan ritual dalam sebulan tiga kali, untuk membuat jin-jin membantu kalian mengumpulkan uang. Bila ritual ini tidak dijalankan, maka jin-jin itu akan menghabiskan uang kalian, alias akan merugikan kalian sendiri. Ritual itu harus dilakukan kalian berdua sebagai pasangan yang datang kemari minta bantuan.

    Sang dukun berdehem dan kemudian melanjutkan pembicaraan,

    Ritual ini adalah ritual seks.

    Apaaaa?

    Kami berdua kaget setengah mati. Ritual seks? Mama dan anak?

    Tapi, Ki. Kami Mama dan anak! kata Mamaku.

    Justru disitulah kuncinya. Selama ini, Aki menganjurkan ritual dengan lelaki yang bukan suami. Demikian tuntutan ilmu itu. Berselingkuh dengan lelaki lain membuat jin-jin itu akan datang menonton dan bekerja kepada pasangan tidak sah itu. Sedangkan bila Mama dengan anak melakukan ritual, dapat dipastikan jin-jin yang datang akan lebih banyak.

    Tapi tapi..

    Sang Dukun memotong,

    Yang perlu diingat sumpah si lelaki hanya satu syarat, tetapi sumpah si perempuan ada 2 syarat. Yang satu adalah melakukan ritual dengan pasangan yang di bawa ke sini, yang satu adalah untuk menghentikan hubungan seksual dengan suami sendiri.

    Ini adalah kesenangan Jin yang lain, melihat bahwa si suami tidak mendapatkan tubuh isterinya, sementara isterinya memberikan diri kepada orang lain. Ngocoks.com

    Mama tambah membelalakan matanya. Seks dengan anak sudah parah, kini tidak boleh berhubungan seks dengan suaminya. Rupanya dukun ini adalah dukun ilmu hitam. Ada rasa penyesalan yang terlihat di wajah Mama. Aku pun kaget jadinya.

    Dukun ini berwajah angker dan berwibawa. Mama tidak berani menolak melainkan hanya mengangguk saja untuk memperlihatkan persetujuan. Akhirnya Mama membayar mahar sekitar sepuluh juta rupiah lalu kami pergi dari situ.

    Sepanjang jalan Mama ngomel-ngomel. Untung saja Pak Mo, supir kami tidak ikut. Pak Mo itu sudah tua dan tampangnya juga jelek. Mama mana nafsu dengan lelaki itu. Aku sepanjang jalan terdiam karena ketika mendengar syarat itu aku terkejut seperti Mama, namun aku tidak semarah Mama, melainkan aku menjadi membayangkan tubuh Mama saat memakai bikini dan kontolku langsung bangun.

    Namun, dalam perjalanan kami itu, Mama menekankan bahwa kami tidak akan berhubungan seks. Dukun itu memang gila. Masa harus begituan dengan anak sendiri? Aku menjadi kecewa dan sedih, namun aku berusaha tidak menunjukkannya.

    Kami sampai di Jakarta keesokan paginya. Aku langsung tidur karena letih dan begitu juga Mama. Sampai beberapa minggu hal ini tidak pernah kami bicarakan.

    Bersambung…

    1 2 3 4 5 6
  • Cewek Populer

    Cewek Populer

    Cerita Sex Cewek Populer – Namaku adalah Arif (samaran) adalah siswa salah satu SMA negeri ternama di kotaku di provinsi. Aku sudah lama naksir sama cewek SMA tetangga, yah sebut saja Ira (samaran men, untuk menjaga nama baik). Anaknya cantik, banyak yang naksir sama dia, cukup populer juga disekolahnya.

    Sebenarnya, aku belum berani ngungkapin perasaanku ke Ira, boro-boro nembak, mau sms aja aku sudah gemetaran. Hahaha…maklum bro, aku ada masa lalu yang pahit, jadi trauma mau ndeketin cewek.

    Lalu, aku punya sahabat namanya Rangga dan Tama, merekalah yang selalu menjadi tempatku berkeluh kesah kalau menyangkut masalah Ira.

    Suatu hari, saat disekolah sedang tidak ada pelajaran, aku keluar kelas, mendengarkan lagu menggunakan headset sambil melamun tentang Ira. Aku begitu terbawa dengan lamunanku sehingga tanpa sadar, Rangga dan Tama sudah berdiri di sebelahku.

    Cerita Sex Cewek Populer
    Cerita Sex Cewek Populer

    Ngocoks ”Woy, kamu lagi ngapain heh! Kesambet ntar loh!”, Rangga memukul punggungku menggunakan buku ekonomi yang tebalnya 200 halaman. Sontak aku loncat berdiri.

    ”Heh setan, kamu pengen aku mati jantungan?!” semprotku.

    ”Apa lah Rif? Mesti lagi mikirin komandan yah? Hahahahaha” Tama ngikut percakapan kami. Aku dan Tama biasa menyebut Ira dengan call-sign “komandan”.

    “Alaaaa….Ira mulu dipikirin. Kafe Blabag yuk! Laper neh coy!”, Rangga menyahut.

    ”Gak! Ogah! Gak ada duit!”, jawabku sinis.

    ”Hah? Tam, rika percaya?” ,tanya Rangga ke Tama dengan logat Jawa-nya yang kental.

    ”Ora..ora..bocah kaya iki koh.” ,jawab Tama dengan aksen yang tak kalah kental

    Rangga dan Tama adalah anak pindahan dari daerah apa lah namanya. Mereka sering bicara dengan bahasa ibu mereka.

    ”Laaah…pada ngomong apa sih? Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar! Aku ga paham nih!”, potongku dengan ekspresi datar.

    ”Hahahahaha…makanya kalo guru ngajar bahasa Jawa dengerin dong!”,tawa Rangga sinis.

    ”Udah lah, ikut aja yuk! Cepetan…ntar kita traktir deh! Mumpung pak Junaedi gak ngajar! Bentar lagi juga bel pulang kan?”, kata Tama sambil menarik tanganku.

    Sebenarnya aku malas, tapi daripada didepan kelas kaya orang bego, lebih baik ikut mereka, maka aku masuk ke kelas dan keluar sambil membawakan tas Rangga dan Tama dan juga tasku sendiri.

    Kafe Blabag terletak di persimpangan dekat sekolahku, Cuma butuh 5 menit jalan kaki. Aku menggendong ranselku dengan malas. Memang, hari ini perasaanku tidak enak.

    Setelah berjalan beberapa menit, tampaklah kafe Blabag dengan motor-motor pengunjung yang berderet rapi. Aku melihat ada satu motor yang sangat kukenal, darahku berdesir. Sekilas kulirik Tama dan Rangga, mereka seperti menahan senyum.

    Perasaanku semakin tidak enak. Kami pun masuk kafe, kulihat di bagian pojok kafe, ada beberapa cowok dan cewek. Semuanya masih memakai seragam SMA. Tidak ada seorangpun yang kukenal.

    ”Yo!”, sapa Rangga kepada salah satu temannya.

    ”Yo! Kabur Ngga? Hahahahaha”,sahut temannya. Kalau nggak salah, namanya Setyo, anaknya tinggi besar, khas preman terminal.

    ”Hei Luna. Udah lama nunggu?”,tanya Tama kepada salah satu cewek yang (setahuku) ditaksir berat sama Tama. Kemudian mereka ngobrol berdua.

    Sejenak kemudian mereka semua sudah ramai ngobrol ngalor ngidul gak karuan. Aku cuma duduk manis mendengarkan dan sesekali tertawa kalau ada hal-hal lucu (gak ada yang kenal coy!).

    Aku melamun, prasaanku masih tidak enak sewaktu lihat motor yang diparkir didepan tadi. Aku yang tidak tahu apa-apa dengan polosnya memasang headset, menunduk dan sibuk memilah-milah lagu dari HP ku.

    Setelah kutemukan lagu yang pas, aku menyetelnya dan telingaku dipenuhi alunan musik favoritku, aku tersenyum dan menengadahkan kepala.

    Aku tercekat. Seakan-akan ada seorang kuli bangunan veteran yang mencekikku. Di hadapanku Ira berdiri, kedua tangannya dimasukan saku jaket. Dia menatapku sambil tersenyum, manis sekali. Aku semakin megap-megap.

    “Headsetan aja! Ntar budek loh!”,kata Ira sambil menyambar headsetku.

    ”Laporan dulu gih sama komandanmu!”,Tama menyikut lenganku.

    Entah kenapa, mungkin karena terkesima dan kaget, aku hanya mampu berbicara dengan tidak jelas, “Haah? Koman….dan? Haaaaahh?”,ucapku tak jelas.

    Semuanya tertawa keras sekali, Rangga tertawa sampai mengeluarkan air mata, dan Setyo memukul-mukul meja sambil tertawa. Entah seperti hewan apa mukaku saat itu, setolol apa, aku tidak tau, tapi yang jelas aku malu sekali. Aku tidak menyangka kalau Ira adalah salah satu dari kelompok kami ini.

    Kemudian aku ikut aktif ngobrol bareng, ternyata mereka semua anak-anak yg baik & supel, ramah pula. Segera saja aku mendapatkan tempat dalam kelompok ini.

    Sejak saat itu, kami sering main bersama dan aku mulai hafal anggota geng kami satu persatu. Aku jadi dekat dengan mereka, dan karena mereka juga, aku jadi bisa mendekati Ira lebih jauh.

    Kami semua semakin akrab. Waktu itu kebetulan kami main bersama-sama. Kami memutuskan untuk berjalan-jalan di mall.

    Anak-anak cewek yaitu Angel, Ira, Luna dan Dian berencana melihat-lihat pakaian sementara aku, Tama, Setyo, dan Rangga akan melihat pameran gadget yang diadakan di lantai 5 mall tersebut. Kami berangkat menggunakan mobil Rangga yang cukup besar.

    Seperti kebanyakan cewek-cewek kota, Angel, Luna dan Dian mengenakan kaos dan hotpants, namun Ira mengenakan kaos dan celana jeans panjang.

    Memang Ira memakai kaos yang cukup tertutup namun ketat dan dibagian dadanya agak longgar sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya yang seksi dan belahan dadanya yang menantang.

    Aku duduk disebelah Rangga yang menyetir, sementara Angel, Luna, Dian dan Ira duduk berdesakan di bangku tengah dan Setyo serta Tama duduk dibangku paling belakang.

    Di mobil, anak-anak cewek sibuk berkicau
    ”Eh Ira, kamu seksi banget deh…” celoteh Angel

    ”Iyaa…kesannya gimana gitu…hahahaha” kata Dian dilanjutkan dengan tawa cewek-cewek lain.

    Ira kelihatan salah tingkah dan berusaha menutupi bagian dadanya yang agak terbuka.
    ”Ah masa sih…kaosku lagi di cuci semua…aku nggak tau kalo kaos ini kekecilan”

    Kemudian mereka meributkan masalah lain, seputar kosmetik, trend fashion dan banyak hal tetek bengek lain yang tidak penting bagi para cowok. Tama dan Setyo sedang sibuk membicarakan salah satu handphone di majalah gadget yang dibawa Rangga.

    Aku pura-pura memainkan handphone, walaupun aku sesekali melirik belahan dada Ira yang duduk di bangku tengah namun berseberangan dengan aku. Aku menelan ludah.

    Ketika hampir sampai di mall, tiba-tiba hujan deras turun.

    ”Waaah…ujan nih, mana tempat parkiran basement penuh lagi. Guys, cari tempat lain yuk…” ujar Rangga

    ”Wuuuu….nggak mau! Kan disana ada pinjaman payung!” jawab anak-anak cewek kompak

    ”Oke…oke…whatever…hehehe” Rangga tertawa ringan dan mengarahkan mobilnya masuk ke parkiran mobil yang ada di tempat terbuka.

    Setelah mobil kami diparkir, kami turun dan berlari ke sebuah kanopi. Kebetulan saat itu ada 3 tukang parkir yang akan kembali ke pintu masuk mall, mereka membawa 4 payung.

    Maka semuanya meminjam payung dari ketiga tukang parkir tersebut. Aku dan Ira tertinggal dibelakang. Aku melihat mereka semua menembus hujan menggunakan payung sementara aku dan Ira hanya menatap mereka.

    Sudah 5 menit berlalu, namun belum ada orang yang menjemput kami.

    ”Lari aja yuk? Nggak sampai 100 meter inih” ucapku kepada Ira

    Ira hanya mengangguk. Kami berlari menembus hujan yang ternyata cukup lebat itu.
    Ketika kami sampai di pintu masuk mall, kami sudah basah kuyup, tetapi aku tidak terlalu basah karena jaketku yang water-proof.

    ”Waduh…maaf ya…tadi tukang parkirnya malah pergi nggak tau kemana” kata Rangga

    ”Iya. Kita mau minjemin payung buat kalian malah mereka pergi. Mana payungnya dibawa semua lagi” Angel menggerutu

    Aku mengangguk. Kulirik Ira, ia kedinginan, tubuhnya basah kuyup. Gilanya lagi, karena kaosnya basah, maka setiap lekuk tubuhnya yang indah tercetak jelas dan belahan dadanya kini lebih terekspos. Aku menelan ludah melihatnya.

    Kami melangkah masuk ke mall. Kuperhatikan, setiap pasang mata disana memperhatikan belahan dada Ira yang terlihat sangat mengesankan. Teman-teman yang lain tidak tahu karena mereka berjalan di depan.

    Ira mati-matian berusaha menutupi dadanya, ia terlihat malu sekali dan tidak berani menatap orang-orang di sekeliling kami, lebih parahnya lagi, ia menggigil. Aku kasihan melihatnya, maka aku segera berlari ke counter minuman terdekat dan membeli segelas teh hangat kemudian kembali kesampingnya.

    ”Nih…” aku menyodorkan teh itu padanya

    “Makasih Rif” jawabnya pendek. Ira langsung meminum teh hangat tersebut, namun agak canggung karena ia juga harus menutupi tubuhnya yang menjadi tontonan setiap orang di mall itu.

    Ketika ia mengangkat lengan untuk meminum dari gelas tadi, lekuk buah dadanya sangat jelas terlihat. Aku melotot melihatnya dan tiba-tiba ‘adik’ ku menjadi tegang, namun cepat-cepat kusingkirkan pikiran kotor itu.

    Aku merasa iba, maka kulepas jaketku dan kupakaikan kepadanya lalu kurangkul tubuhnya. Terdengar seruan kecewa dari berbagai penjuru ketika tubuh Ira yang eksotis itu tertutupi jaketku.

    Aku menatap tajam kepada sekelompok cowok yang dari tadi tertawa-tawa sambil menunjuk Ira, ketika mereka sadar bahwa aku sedang memelototi mereka, mereka segera bubar.

    Ira kaget melihat perlakuanku namun tidak menolak. Ia menatapku, tatapan yang tidak akan pernah kulupakan. Tatapannya menghujam begitu dalam, aku goyah.

    Aku tidak kuasa menatap matanya lebih lama, maka aku melepaskan pelukanku dari bahunya dan memperlambat langkahku sehingga kini aku berada paling belakang. Aku malu, canggung dan merasa tidak enak dengan perlakuanku.

    Awalnya aku merasa bahwa Ira akan marah besar kepadaku. Tetapi ternyata tidak, ia tetap bercanda denganku seperti biasa, namun kadang-kadang kupergoki dia sedang melirik ke arahku. Deg-degan juga, apa ini berarti ia ada perasaan kepadaku?

    Suatu ketika, di kotaku ada acara besar…perayaan apa gitu, aku tidak ingat. Teman-teman satu geng ku mengajakku nonton pawai yang diadakan di alun-alun kota. Tetapi aku menolak, berhubung hari ini aku ingin cepat pulang. Kebetulan rumahku jauh dari alun-alun dan pusat kota.

    Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya papasan dengan beberapa orang, itu saja mereka sedang menuju ke alun-alun. Selebihnya, kota ini seperti kota mati. Aku sangat heran, sebegitu meriahnya kah perayaan itu?

    Aku mengendarai motorku dengan santai, ketika sampai di perempatan, kulirik lampu lalu lintas; “Hijau, tancep cuy!”, pikirku.

    Di tengah-tengah persimpangan tiba-tiba ada sebuah motor (Tiger kalo nggak salah) melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi, kelihatannya pengemudinya mabuk, tanpa helm, matanya merah dan mukanya kusut, aku menginjak rem, tapi sepertinya dia sengaja membelokkan motornya mengikuti gerakan motorku. Aku tercengang. Jarak kami tinggal 1 meter.

    “Anjrit! Salahku apa sih?!”,umpatku dalam hati.

    BRUAAKK!!! Sempat kulihat aspal yang menjauhi pandanganku dan…..PET! Semuanya gelap.
    Hal pertama yang kurasakan adalah nyeri dan dingin di lengan kanan.

    ”Ah…aku dimana? Perasaan tadi aku tabrakan deh…apa aku udah mati?”,tanya ku dalam hati.

    Kuberanikan diri membuka mata. Aku sedang berbaring di sofa. Langit-langit yang putih, aroma parfum yang manis, samar-samar kuingat bau parfum ini. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kulihat teman-temanku duduk didekatku satu persatu, Ade, Feby dan….Ira!! Nafasku tertahan.

    ”Masih idup Rif? Hahahaha…”,canda Feby kepadaku

    ”Mujur banget loh kamu, Cuma memar di lengan doang! Motormu jadi rongsokan tuh dihalaman. Ga ada orang yang nolongin, pas ketemu Ira. Tapi…masa cowok pingsan sih?”,Ade menimpali sambil tertawa.

    ”Aduh! Loh kok pada disini?”,tanyaku sambil meringis menyentuh lengan kananku.

    ”Tadi aku dijalan pulang liat kamu lagi tidur di jalan, motormu ancur noh…jadi aku SMS Ade sama Feby, soalnya yang lain pada kejebak macet…alun-alun macet total, pas banget si Feby sama Ade belom berangkat, jadi mereka kusuruh kesini nolongin kamu”,jelas Ira panjang lebar sambil mengompres memar di lengan kananku.

    Oooh….jadi ini sensasi dingin yang tadi kurasakan? Darahku berdesir…

    ”An angel speak to me…”,gumamku lirih.

    ”Hah? Apa Rif? Kamu ngomong apa? Pasti ngomong yang nggak-nggak nih! Dia ngomongin kamu loh Ra!”,cerocos Ade dengan cepat sambil nyengir.

    ”Apa? Apa iya? Kamu ngomong apa hah barusan?”,tanya Ira kepadaku.

    ”Ah nggak kok…nggak papa…gausah dipikir…hahahahaha”,jawabku.

    Feby melirik jam tangannya, kemudian berkata, “Eh..eh…aku sama Ade pergi dulu yah? Uda di tungguin gebetan neh..hehehe…malem minggu cuy…hahaha”.

    ”Ehem…tau lah…tau…yang masih jomblo….”,sahut Ira sambil tertawa

    ”Cus yah men! Rif, nyetir yang bener dong! Hahahaha…yuk Ra, duluan yah!”,ujar Ade sambil mengambil helmnya.

    ”Okeh men? Duluan ya!!”,kata Feby sambil tersenyum. Entah kenapa aku merasa ada maksud lain dari senyuman Feby.

    Ira mengantar Feby dan Ade keluar. Kulihat HP Ira tergeletak di atas meja, aku tidak mengerti kenapa, tapi aku langsung mengambil HP itu dan membuka inbox nya.

    Aku kaget… ternyata sangat banyak SMS yang isinya mengajak kenalan Ira, bahkan ketika aku sedang membaca SMS itu, masih ada saja SMS yang masuk.

    Lalu kulihat sent messages nya…aku tidak percaya dengan apa yang kulihat…Ira hanya membalas SMS ku dan teman-teman se geng ku…dan yang paling banyak adalah balasan SMS untukku. Memang sejak kejadian di kafe, aku dan Ira jadi sering SMS-an.

    ”Wawawawawawa……!!”,teriakku dalam hati karena senang.

    Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Ira masuk.

    ”Eh, Rif, kamu udah makan apa bel………”,ucapan Ira tiba-tiba terpotong begitu melihatku tengah asyik memainkan HP nya.

    DEG!
    Aku kaget setengah mati.
    ”Aduuhh…..bego! Bego!! Ntar bisa-bisa dia marah nih! Duuh..gimana yah?”,batinku panik.

    ”Udah makan belum kamu? Aku mau bikin mie, kamu mau nggak?”,ucap Ira seraya merebut HP nya dari tanganku lalu duduk di lantai di sebelahku. Kulihat dia mencoba menahan emosinya.

    ”Eh…euh….udah…aku udah makan kok…..hehehe”,jawabku salah tingkah.

    Keheningan yang tidak enak menyelimuti kami. Aku dan Ira sama-sama panik dan salah tingkah. Akhirnya kuputuskan untuk membuka percakapan.

    ”Eh…aku sekarang dimana nih? Dari tadi aku mau tanya lupa-lupa terus”,tanyaku sekenanya

    ”Ini rumahku…kamu kecelakaan dekat sini. Karena ga ada orang lain, jalan juga bener-bener sepi, makanya kamu kubawa kerumah aja.”,Ira tersenyum canggung.

    ”Serius nih? Aku di rumahmu? Aku ga enak woi sama keluargamu, aku kan cowok!”,ujarku dengan cepat.

    ”Gak apa-apa kok…semua lagi di toko, jadi ga ada orang disini”,jawabnya lirih.

    “Jadi…kita…cu..cuma..ber…berdua di sini?”,tanyaku terbata-bata.

    Ira hanya mengangguk pelan, dia menunduk kemudian menatap HP nya. Sekilas kulihat rona merah di wajahnya. Aku mencoba duduk dan tidak mempedulikan lenganku yang memar.

    ”Eh, jangan duduk dulu!”,cegahnya sambil memegangi tanganku.

    Aku kaget, otomatis aku tatap matanya. Kami berdua bertatap-tatapan lama. Matanya yang teduh menunjukkan kedewasaan dan kasih sayang. Aku benar-benar speechless.
    Memar di lenganku benar-benar tidak terasa. Beberapa detik kemudian Ira yang sadar duluan, dia tersipu.

    ”Oh iya. Aku bikin mie dulu ya…”,katanya mengalihkan keadaan.

    Aku hanya diam…
    Ketika dia berdiri, kutarik tangannya dengan cepat hingga wajah kami saling berdekatan.

    Tubuhnya lebih tinggi sedikit dariku, mungkin sekitar 170 cm, kulitnya putih, langsing, dan buah dadanya tidak besar-besar amat namun menantang dan kelihatan sangat merangsang. Proporsional, lah. Rambutnya yang panjang lurus sebahu hitam dan terawat.

    Ira menatap mataku dalam-dalam…sejenak aku ragu…”Haruskah?”,pikirku.

    Kudekatkan bibirku, sepertinya Ira tidak merespon, maka aku melanjutkannya.
    Kukecup bibirnya dengan penuh kasih sayang…dengan sepenuh hati. Tidak ada protes darinya, bahkan Ira malah memejamkan mata.

    Kutarik dia dengan lembut dan kududukkan di sebelahku. Aku masih mencium bibirnya.
    Sensasi yang kurasakan luar biasa, bibirnya hangat dan lembut. Kami berciuman kira-kira 3 menit. Dalam jangka waktu segitu, siapa sih yang gak terbakar nafsunya? Hehe…

    Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Ira sudah membuka matanya dan matanya menerawang ke langit-langit. Aku tidak tau apa yang dia pikirkan. Kusibak rambutnya, kemudian kulihat lehernya yang jenjang dan bersih, serta tercium wangi parfumnya.
    Kucium leher kirinya.

    ”Mmmmmhh….”,Ira agak mendesah, dia meremas kedua tanganku.

    Kubalikkan badannya, sekarang dia duduk membelakangiku. Kemudian kembali ku cium lehernya. Nafasku membuatnya geli.

    ”Uuuuuh…”,desahnya mulai tak terkendali

    Tanganku membuka kancing seragamnya satu persatu. Ira memegangi tanganku, tetapi tidak melakukan perlawanan. Yaa otomatis kupikir ini lampu hijau. Heehehehe…

    Setelah setengah seragamnya terbuka, kulihat bra nya yang berwarna krem, yang langsung kuturunkan. Kini dapat kulihat payudaranya, yang ternyata cukup besar dengan puting berwarna pink. Kulitnya luar biasa mulus.

    ”Ehm….ehm…!!”,Ira berdehem menyindir perlakuanku.

    ”Apaaaa? Kenapaaa??”,jawabku sambil nyengir.

    Kuraba kedua payudaranya dengan tiba-tiba. Tubuhnya mengejang sekali, kaget kali yaa?
    Langsung saja kuremas kedua payudaranya dengan lembut dan kupagut bibirnya.

    ”Nnnggggghh……mmmhh…!”,desahnya diantara ciuman kami.

    Kupilin kedua putingnya. Kumainkan jari-jariku di kedua payudaranya.

    ”Nngg….aaaaahh….aaaahh…!”,Ira melepaskan bibirku dan lebih berkonsentrasi mendesah.

    Aku tidak keberatan, biar dia merasakan rasanya jadi cewek.
    Punggungku mulai kesemutan, maka kurebahkan Ira di sofa, namun dia menolak.

    ”Jangan….jangan…aku nggak mau…!”,ujarnya dengan nafas yang mulai memburu.

    Aku memandangnya dengan bingung. Ira mengelus pipiku, matanya sayu khas cewek terangsang.

    ”Maksudku….jangan…disini…pindah ke kamarku aja yuk”,katanya sambil tersenyum.

    Waduh….bisa berabeh ni kalo di kamar, ntar kebablasan bisa repot! Tapi, instingku mengabaikan logika. Hehehehe….segera saja kuangkat tubuhnya dan kugendong, kalau sudah seperti ini, tangan patah pun tetap akan kugendong, hehehehe.

    ”Yang mana nih?”, aku tersenyum

    ”Itu”, jawabnya singkat sambil menunjuk sebuah pintu.

    Tanpa buang waktu, kubuka pintu kamarnya, kubaringkan Ira di kasur dan cepat-cepat kututup pintu dari dalam. Langsung saja kulanjutkan permainan yang tadi sempat berhenti. Aku berbaring di sebelah kanannya dan mulai menciumi lehernya.

    ”Uuuh….uuuhh….”, Ira mendesah sambil mengrenyitkan alisnya.

    Tanganku perlahan-lahan masuk ke dalam roknya. Kususuri dari perut dengan penuh penghayatan. Ketika akhirnya tanganku meraba celana dalamnya, aku menahan nafas.

    Kuselipkan tanganku masuk celana dalamnya. Ternyata Ira sudah mencukur habis rambut kemaluannya. Segera saja ku gesek-gesekkan jari tengahku ke vaginanya.

    ”Hmmmff…..uuuaaaaaaahh…..aaaahh…aaaahh…!”,naf asnya tersengal-sengal dan desahannya berirama sesuai dengan gesekan jariku.

    Ira mencengkeram tanganku dengan kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.
    Ekspresinya begitu merangsang, penisku yang sedari tadi sudah tegang menjadi sangat tegang sampai-sampai celana dalamku terasa bagai belenggu, menyiksa ‘adik’ku.

    ”Gimana rasanya Ra? Enak?”,tanyaku

    ”Aaaahh…..e…uuuhhh…enaaakk….enaaaakk…..aaaahh…!!”, jawabnya setengah menjerit.

    Melihatnya sangat mudah terangsang, aku berinisiatif mengulum putingnya. Kuremas buah dadanya dan kujilat-jilat.

    ”Ngggghh…..aaaaahh….aaaahh….iiyaaa….eee…eeenaaakk… .tee..teruusss..”
    Ira mulai meracau, sepertinya dia sudah amat terangsang.

    Kumainkan lidahku di putingnya dengan liar. Ira semakin kelojotan.

    ”Aaahh…aaa..ada yang…aaauuhh….mau….uuhh…keluaaaarrrhh!” ,katanya dengan nafas yang tidak beraturan.

    ”Eh? Oh…keluarin aja nggak apa-apa!”,jawabku sambil terus menjilati putingnya.

    Sesaat kemudian tubuhnya bergetar hebat dan menegang. Ira mencengkeram tangan kananku kuat sekali, hingga kuku-kukunya menancap dan melukai tanganku. Luka-luka itu berdarah, tapi hal itu tak kupikirkan. Aku menikmati saat-saat Ira orgasme sambil tersenyum.

    ”A..apa yang barusan itu?”,tanyanya dengan nafas tersengal-sengal.

    ”Loh? Kamu belom tau?”,aku balik bertanya.

    ”Nggak…nggak tau…emang apaan?”,ujarnya lemas, kehabisan tenaga.

    ”Itu yang namanya orgasme…masa sih kamu gak tau?”,tanyaku heran.

    ”Ooh…sori..aku ga tau masalah begituan…tapi..rasanya enak banget…gak bisa dijelasin pake kata-kata”,Ira tersenyum.

    Aku heran dan berpikir, “Berarti dia polos banget sampe gak tau yang namanya orgasme. Lagian, gampang banget dirangsang…coba ah yang lebih.”

    Aku meringis saat tanganku yang luka bergesekkan dengan seragam yang kukenakan. Ada sepuluh bekas kuku, semuanya meneteskan darah segar. Aku berdiri dan mengambil sekotak tissue di meja belajar Ira dan mulai mengelap darah yang bercucuran.

    ”Itu…maaf…sakit ya?” , tanyanya dengan wajah bersalah ketika melihat tanganku berdarah.

    ”Nggak…nggak apa-apa kok…hehehe…santai aja!”, jawabku sambil tertawa.

    ”Aku jadi nggak enak…kamu abis kecelakaan malah jadi tambah luka gara-gara aku”, desah Ira.

    ”Udah…gak apa-apa…sekarang kamu diem yaa?” aku berjalan ke arahnya.

    Aku duduk disampingnya, tanganku menyelinap ke dalam roknya dan melepas celana dalamnya yang sudah basah. Ira tidak dapat berbuat apa-apa, kelihatannya dia masih sangat lemas karena orgasme barusan.

    ”Kamu mau ngapain Rif?” tanya Ira, kelihatannya dia khawatir.

    Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya. Saat sudah kulepas, celana dalamnya kulempar entah kemana, maklum, nafsu udah di puncrit, kaga bisa nahan.

    Kusingkap roknya hingga dekat pangkal paha, memperlihatkan pahanya yang suangat mulus, liurku menetes melihatnya. Ku elus-elus pahanya.

    ”Aaaawwwhhh……”, Ira kembali mendesah karena perlakuanku.

    Kudekatkan wajahku kearah vaginanya. Vagina yang begitu bersih, berwarna pink, tanpa ada bulu sedikitpun dan aromanya enak. Wangi parfum yang biasa dipakai Ira samar-samar tercium, “Apa dia nyemprotin parfum ke sini juga ya? Ah bodo amat!”

    Ketika hambusan nafasku mengenai daerah sensitifnya, dia berkata;

    ”Rif, mau ngapain kamu? Ntar…ntar dulu…aku belum siap kalo sampai kayak gini…stop…stoopp…aaaaahhhhh!!!”, Ira menjerit ketika kubenamkan lidahku kedalam vaginanya.

    Segera saja vaginanya kulumat, kujilat dengan liar, kucium dan kugigit-gigit kecil.
    Benar saja, kakinya mengejang setiap kali kugigit klitorisnya.

    ”Aaaaaaaaaaaaahhhh…..aaaaahhhhh….uuuuhhh….sssshh…s sshhh…..!!”, desahannya semakin menggila, membuat ‘adik’ku ingin cepat memproklamasikan kemerdekaan dari belenggu penjajahan celana dalam.

    Rasa nyeri menyerang ‘adik’ku ketika celana dalam ini rasanya sudah kelewatan menyiksa, tapi tetap kutahan. Di luar dugaan, Ira mulai menangis, air matanya mulai mengalir disela-sela desahan penuh kenikmatannya. Aku jadi bingung, kuhentikan jilatanku.

    ”Ra, kamu kenapa nangis?”,tanyaku berdebar-debar.

    ”Aku…udah capek Rif…aku udah nggak kuat kalo kamu terus-terusan ngeginiin aku…”, katanya dengan polos sambil terisak-isak.

    Aku diam saja.

    ”Bukannya aku nggak mau, tapi aku udah capek banget…dari tadi, badanku rasanya lemes…tangan sama kakiku udah mati rasa. Aku udah gak kuat.”, jelasnya.

    Demi mendengar pengakuannya, ‘my little brother’ yang sudah berkibar dengan gagahnya seperti kehilangan tenaga, sontak ‘adik’ku lemas lagi, bak nasionalis dibedil kompeni. Aku merasa bersalah.

    Tanpa berkata apa-apa, aku berjalan ke lemari pakaian Ira, mengambil satu celana dalam dan memakaikannya pada Ira. Kubereskan sprei yang acak-acakan akibat pertempuran tadi, kurapikan bra-nya yang lepas dan kukancingkan seragamnya. Kuangakat Ira dan kurebahkan kepalanya di bantal kemudian kuselimuti dengan selimut tebal. Ira menatapku dengan pandangan heran.

    ”Rif? Kamu marah ya? Please, ngertiin aku…aku capek banget…gak kuat”, ucapnya memelas. Namun aku masih juga tidak berkata apapun.

    ”Ra, aku….sebenernya udah dari dulu mendam perasaan ke kamu. Aku…aku…sayang sama kamu…”, ucapku, aku tidak menyangka bakal mengutarakan perasaanku di saat seperti ini.

    Dia tertegun mendengar pernyataanku.

    ”Mmm…Rif…aku…”, sepertinya Ira mau mengatakan sesuatu, tapi buru-buru kucium bibirnya dan aku berlari keluar kamar.

    Aku berjalan ke ruang tamu, memakai ranselku dan mengambil helm. Saat aku keluar halaman rumah Ira, kulihat motorku yang ringsek seperti gelandangan digebuki Satpol PP. Aku nyengir; “Hahahaha…shiit…aku pulang pake apaan nih?”, kataku pada diri sendiri. Akhirnya aku pulang jalan kaki sekitar 4,5 km ditemani hujan yang sangat lebat.

    Sesesampainya dirumah, ada secarik kertas ditempel di pintu yang bertuliskan :

    ”Mama dan Papa pergi seminar di luar kota, kira-kira satu minggu. Urus diri sendiri ya? Kalau ada apa-apa, telpon Mama atau Papa.”

    “Gila…aku idup pake apaan nih 1 minggu? Makan kerikil?”, umpatku.

    Malamnya badanku terasa tidak enak. Benar saja, esok paginya aku demam tinggi, maka kuputuskan untuk tidak masuk sekolah. Siang harinya aku bangun kemudian mandi, tak lama setelah itu, ada orang menggedor-gedor pintu rumah dengan kasar.

    Dengan sempoyongan aku membukakan pintu, dihadapanku berdiri sesosok makhluk dengan ukuran tidak manusiawi, tinggi besar dan hitam. Tetapi setelah kuperhatikan, ternyata dia adalah Setyo.

    ”Kok gak masuk tadi coy?”, tanya Setyo ceria.

    ”Loh? Tau darimana? Perasaan kita beda SMA deh…”, aku kebingungan.

    ”Itu, Rangga tadi SMS, dia mau jenguk bareng Tama, tapi ada tugas mendadak, jadi nggak jadi.”, ujarnya sambil meringis-meringis.

    “Ni orang otaknya kenapa sih?”, tanyaku dalam hati.

    ”Oh, yaudah masuk dulu…aku demam coy…kepalaku sakit banget…”, kataku sambil mempersilahkan Setyo masuk.

    ”Nggak ah, makasih, aku mau langsungan..hehehe”, jawab Setyo cengar-cengir.

    ”Ini orang kenapa sih? Aku bener-bener nggak ngerti”, pikirku.

    “Aku pulang dulu ya Rif, cepet sembuh coy!” kata Setyo sambil berjalan keluar gerbang

    ”Iyaa…makasih ya Dan!”, sahutku ceria.

    Ketika Setyo telah pergi, ternyata tepat di belakang tempat Setyo berdiri tadi ada sesosok makhluk lain yang memperhatikanku, dia mengenakan pakaian putih dan menyeringai. Rasa dingin merayapiku.

    ”Woi! Kaya liat setan aja! Kenapa sih?”, tanya Ira membuyarkan lamunan horrorku.

    ”Eh? Loh?”, tanyaku kebingungan.

    “Emang mukaku kaya setan yaa?”, tanyanya lagi dengan bibir manyun.

    ”Ah, bukan..bukan…tadi aku halusinasi…maaf.”, jawabku.

    “Jadiiii…..?” ,tanya Ira, dia tersenyum.

    ”Jadi apaan?” ,aku semakin kebingungan.

    ”Aku gak disuruh masuk atau gimana gitu?” ,sindirnya sambil tertawa.

    ”Oh iya….maaf…ayo masuk…maaf berantakan…” ,aku mempersilahkannya masuk.

    Begitu aku membalikkan badan setelah mengunci pintu, Ira tidak ada di ruang tamu. Aku kebingungan…apakah yang kulihat tadi hantu? Perasaanku jadi tidak enak, maka kuputuskan untuk tidur lagi.

    Mungkin aku terlalu lelah. Ketika aku masuk kamar, tiba-tiba pintu kamarku tertutup sendiri. Aku mematung ketakutan. Pelan-pelan aku menoleh ke belakang dan melihat Ira sedang nyengir melihat reaksiku dengan gayanya yang khas, kedua tangannya dimasukkan saku jaketnya yang berwarna putih.

    ”Eh kunyuk, udah tau aku lagi sakit, masih aja jail.” ,aku duduk di tepian tempat tidur sambil menghela nafas.

    ”Iya maaf…hehehe…gimana sakitnya?” ,Ira duduk disebelahku.

    ”Udah ada kamu, jadi aku udah gak apa-apa.” ,aku menatap matanya sambil tersenyum.

    Ira tampak terkejut mendengar jawabanku. Sejenak kami saling berpandangan. Perasaan hangat membuncah dari dalam hatiku…aku cinta mati kepada cewek di hadapanku ini.
    Matanya yang paling kusuka, mata yang teduh itu, mata yang memancarkan ketenangan dan kedewasaan yang begitu dalam.

    ”Ah iya. Aku bawa makanan nih. Tadi aku beli di kantin.” ,katanya mengalihkan pembicaraan.

    ”Aku kan udah bilang. Kamu ada disini aja udah cukup.” ,kataku sambil memeluknya dari belakang, kulingkarkan tanganku di pinggangnya, berharap Ira bisa merasakan kehangatan yang mengalir dari hatiku.

    Dia terdiam sesaat, sepertinya ia merasa canggung. Tetapi tidak mengubah posisinya dan melanjutkan menawari aku berbagai macam makanan.

    ”Aku juga bawa buah loh. Mau nggak? Ada macem-macem, ada apel, jeruk, pear. Mau yang mana?” ,tanyanya dengan terburu-buru. Ira mengeluarkan sebuah apel dari dalam tasnya.

    “Kamu sekolah apa kondangan sih?” aku mengejeknya

    “Hehehhe…sekolah, tapi buku pelajaran udah aku taruh dirumah tadi” Ira tertawa

    Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Menikmati tiap detik yang kulalui, aku merasa tenang mencium wangi tubuhnya. Aku…ingin begini selamanya…

    ”Aku mau dong buahnya.” ,jawabku.

    ”Oh? Mau yang mana?” ,tangannya masih menggenggam sebuah apel.

    ”Aku maauuu….” ,rengekku dengan manja.

    ”Iyaaa….mau yang mana ? Apel? Jeruk? Pear?” ,jawabnya sambil tersenyum.

    ”Gaak….aku gamau semuanya….” ,bantahku.

    ”Loh? Katanya mau buah? Yang mana nih?” ,Ira tampak kebingungan.

    ”Aku mau buah yang ini…” ,tanganku dengan sigap melepas kancing seragam dan menyelinap ke balik bh yang dipakainya. Kuremas-remas buah dadanya dengan lembut.

    ”Aaaaaahh…..Rif jangan…!!” ,desah Ira, apel yang ada ditangannya jatuh ke lantai.
    Langsung saja kulumat bibirnya.

    ”Mmmmmhh…..mmmhh….!” ,Ira berusaha mendesah, tetapi terhalang oleh bibirku.

    Tangan kiriku menyusuri buah dadanya, kemudian turun ke perut, masuk ke rok lalu kuselipkan kedalam celana dalamnya. “Belum basah.” ,pikirku. Kutarik tangan kiriku dan kujilat jari tengahku, kemudian kuselipkan lagi masuk celana dalamnya. Langsung saja kugesek-gesekkan jariku ke vaginanya.

    ”Iyaaaaaaaahh….aaaaaaahhh….aaaaahhhhh….aawwh…mmmhh …!!” ,Ira mendorong bibirku menjauh agar bisa mendesah, nafasnya sudah tidak beraturan.

    Mulutku kini bebas. Langsung saja kupakai untuk menciumi leher jenjangnya yang menggairahkan. Beberapa menit aku mengerjai Ira dengan menambah intens gesekan dan remasan di tubuhnya tiap menit yang berlalu. Kamarku kini dipenuhi suara desahan dan lenguhan nikmat Ira.

    ”Aaakuu….aaaahhnn….aaaahh….nggghh….maauu….aaahh…aa ahh….keluaaarr….uaaaaahh….!” ,pekiknya tertahan.

    Pahanya mengapit erat tangan kiriku, sementara kedua tangannya mencengkeram tangan kiriku juga. Kini kuku-kuku kedua tangannya kembali menancap di tanganku, kali ini tangan kiri. Tubuhnya mengejang hebat, sesaat kemudian Ira jatuh terduduk di lantai kamarku. Nafasnya tersengal-sengal, karpet lantai kamarku basah oleh cairan orgasmenya.

    ”Ihiiy…ciyee…ciyeee…yang habis orgasme…hahaha” ,candaku.

    ”Berisik! Diem lah kamu…! Haahaha” ,jawab Ira, bibirnya bergetar hebat.

    ”Iya..iya…nambah juga nih koleksi tattoo di tanganku. Kemarin yang kanan, sekarang yang kiri…hahaha…” ,sindirku

    “Ma…maaf…aku nggak sengaja…sungguh…”

    ”Iya, nggak apa-apa kok…” ,jawabku singkat

    Kubantu dia berdiri, sesaat kami berpelukan, kutatap matanya…mata yang indah yang selalu kudambakan…kemudian kucium bibirnya dengan lembut…

    Kulepas sepatunya yang dari tadi masih dipakainya dan kutidurkan dikasur. Aku berbaring di sampingnya. Setelah nafasnya teratur, tiba-tiba dia berdiri dan melepas rok beserta celana dalamnya.

    ”Eh…eeh…mau ngapain kamu? Mabok yah?” ,tanyaku terkejut sekaligus heran.

    ”Hehehehe…” ,Ira hanya terkekeh.

    Sekarang dia hanya mengenakan seragam yang sudah kusut dan kancingnya terbuka setengah, tanpa rok maupun celana dalam. Sontak ‘adik’ku menegang dengan hebatnya, jadi keras kayak mayat siap dikubur.
    Dengan cepat, Ira menidurkanku, sekarang posisi kami 69, favoritku. Hehehehe…
    Vaginanya tepat berada didepan wajahku.

    ”Ih…wooww…” ,gumamku takjub.

    ”Kenapa?” ,tanya Ira

    ”Unyuuuuuu…..hahaha” ,langsung saja kugesek-gesek vaginanya dengan jari.

    ”Aaaaahh….na…nakal…!” ,desahnya dengan manja

    Ira mengelus-elus penisku dari luar celana yang kukenakan. Geli gimana gitu. Jadi tambah tegang.

    ”Eh, Ra, kamu serius nih? Udah pernah kaya ginian belum?” ,tanyaku tidak yakin

    ”He eh…santai aja. Belom…ini yang pertama. Hehehe” ,dia membuka celanaku

    ”Apa gapapa nih? Yakin kamu?” ,aku masih belum yakin.

    ”Iiih…gak percaya amat. Coba aku praktekin kayak tadi malem waktu aku liat bo…….kep?” ,kata-katanya sempat terhenti ketika celana dalamku sudah terlepas dan ‘adik’ku dengan gagah berdiri, dengan bentuk evolusi akhir.

    Aku pun agak kaget; “Woi! Itu kamu ‘dik’? Kamu kenapa hah bisa sampe kaya gitu?” ,tanyaku kepada sang ‘adik’ dalam hati.

    “Hehehe…jadi malu…” ,aku tersenyum

    ”Wow…ternyata gini toh…anunya cowok…” ,tatapnya penasaran sambil memegang batang penisku. Rasanya aneh, tapi enak.

    ”Eh, apa tadi malem kamu nonton bokep?” ,tanyaku

    ”Iya…yaa walopun aku sempat muntah ngeliatnya…baru pertama aku liat bokep..” ,jawab Ira tersipu.

    Tanpa ba bi bu, Ira langsung memasukkan penisku ke mulutnya dengan agak canggung. Dia jilati dari ujung ke pangkal. Rasa dingin sekaligus hangat menyelimuti penisku. Tiap gesekan dengan lidahnya membawa sensasi nikmat, membuatku merinding.

    ”Oooohh…..” ,aku mengerang, seluruh tubuhku gemetar karena nikmat

    ”Coba aku praktekin kayak yang di bokep ya?”

    Dia memaju-mundurkan kepalanya, penisku keluar masuk mulutnya dengan bebas.
    Ketika aku menyentakkan pinggulku, penisku masuk terlalu dalam ke tenggorokannya.

    ”Hmph…” , Ira memejamkan matanya rapat-rapat saat penisku masuk sampai tenggorokannya

    ”Uups…sori…gimana rasanya?” ,kataku.

    “Mmm…ga terlalu buruk kok…tapi aneh sih…” ia melepaskan penisku dari mulutnya supaya bisa berbicara.

    Ku belai-belai dan kubuka sedikit bibir vaginanya. Dari sini, aku bisa melihat jelas klitorisnya yang waktu itu belum sempat dieksploitasi besar-besaran oleh lidahku. Kuhisap klitorisnya, kugigit kecil dan kubelit dengan lidahku. Responnya diluar dugaan.

    ”Mmmmmmuaaaahhh…..aaaaarrrghhh….!! Disitu…aaaaagghh….aaaahh…aaahhh…” ,teriak Ira. Dia melepaskan penisku dari mulutnya, ia menjerit dan kepalanya mendongak keatas.

    Kemudian kepalanya terkulai lemas disamping penisku yang masih dengan angkuh berdiri. Sesekali dia menjilat batang penisku dengan lemah. Wajahnya sayu, kelelahan. Melihatnya dalam kondisi seperti ini, nafsuku semakin meledak. Serangan lidahku semakin gencar di klitorisnya.

    ”Ngggghhh…..aaahhh…aaaahhh….uuuuhhh…..mmmhhh…..ter us Riff…terusin…ooohh….iyaaaahh…” ,matanya terpejam dan nafasnya pendek-pendek.

    Beberapa detik kemudian, Ira menekan vaginanya ke mulutku dengan kuat, aku megap-megap. Tubuhnya bergetar hebat.

    ”Riiiiiiiiifff……aku….keluaaaaaaaaaaarrr….!!” ,jeritnya.

    Dia mengalami orgasme yang kedua kalinya. Cairan orgasmenya membasahi mulutku. Euh…baunya aku tidak tahan. Segera setelah itu, dia terkulai lemas diatas tubuhku. Ngocoks.com

    ”Makasiih Ra…mulutku basah semua!” ,ujarku kepadanya dengan nada sinis.

    ”Mmmmhh…?” ,matanya terpejam dan kelihatan sangat lemas

    Aku duduk dan mengangkat pinggulnya dari belakang. Dari posisi ini, aku dapat melihat punggungnya yang basah oleh keringat dan wajahnya yang kelelahan.

    “Sekarang, gantian yaa” ,ucapku santai. Dari belakang, kulucuti semua pakaiannya hingga dia telanjang bulat.

    “Jangan…Rif…aku masih virgin…” ujarnya lirih, nafasnya berat dan pendek

    Ira masih tersengal-sengal ketika kutempelkan penisku di vaginanya. Aku tahu kalau dia tidak akan melawan, pasti sudah kelelahan akibat dua kali orgasme. Dengan bantuan tangan, kujejalkan penisku yang sudah basah masuk ke dalam vaginanya.

    Separuh kepala penisku ditelan vaginanya.

    “Aaaargh! S-sakit Rif! Sakiit!! Cabut! Jangan diterusin! Aaaarrggghh!!” ,Ira berteriak keras sekali. Matanya terbelalak, tangannya menggapai-gapai meraih penisku, mencoba mencabutnya.

    Dengan kedua tanganku yang masih bebas, kutekan bagian sikunya sehingga dia tidak dapat menjangkau penisku. Dengan satu hentakan keras, kujejalkan penisku seluruhnya. Kini seluruh penisku telah masuk. Darah segar mengalir pelan dari bibir vaginanya.

    ”Aaaaaaaahhhh!!” ,Ira berteriak pilu dan mulai menangis.

    Rasanya enak sekali, walaupun sempit, tapi vaginanya hangat dan meremas-remas penisku. Uuuh….nikmatnya. Pelan-pelan kupompa penisku keluar masuk vaginanya.
    Kugenjot Ira beberapa menit sampai kemudian kudengar desahan disela isak tangisnya.

    ”Lama-lama enak kan?” ,tanyaku sambil tersenyum

    ”Sakit…” , air matanya mengalir

    Bersambung…

    1 2 3 4
  • Siksaan Nikmat

    Siksaan Nikmat

    Cerita Sex Siksaan Nikmat – Saat aku nakal, ayah selalu memukulku. Tapi aku tidak keberatan karena sadar akan alasannya. Biasanya ayah memukul pantatku yang masih bercelana tiga atau empat kali. Namun mama selalu sepuluh kali atau bahkan lebih.

    Pukulan mama jauh lebih buruk. Kadang mama memakai sisir, tali dan atau rotan. Kebanyakan mama membuatku melepas celana terus aku disuruh menarik tiga sedotan dari tangan mama yang berisi tulisan sisir, tali dan rotan.

    Mama tahu aku benci rotan karea selalu berbekas selama beberapa hari. Yang paling ringan adalah sisir, karena kalau tali, akan mama kenakan ke daerah yang sensitif.

    Jika yang keluar sisir, mama menyuruhku membungkuk sambil memegang pergelangan kakiku. Jika aku tersungkur, mama akan mulai lagi dari awal. Aku tentu saja tak selalu bisa seimbang, hingga kadang kembali dari awal lagi pukulan mama.

    Cerita Sex Siksaan Nikmat
    Cerita Sex Siksaan Nikmat

    Ngocoks Jika rotan, aku membungkuk sambil memegang tepi meja makan. Jika keluar suara dan atau teriak, maka mama mulai lagi hukuman dari awal.

    Apabila tali, aku harus berdiri dengan tangan di kepalaku dan kaki dibuka lebar hingga mama bisa memecut paha bagian dalamku, perut dan bahkan putingku. Di akhir kadang mama menyuruhku melebarkan belahan pantat dan memecut bagian dalamnya.

    Tiap pukulan yang kuterima harus kujawab dengan Terimakasih mah. setelah itu mama berhenti dulu selama satu menit, lantas melanjutkan pukulan. Efeknya, saat pukulan berhenti, rasa sakit agak berkurang. Namun saat dipukul kembali rasa sakit itu kembali datang.

    Karena tak tahan maka aku melaporkan perlakuan mama ke ayah. Ayah dan mama lantas bertengkar. Kadang aku tak tahu kenapa mereka menikah sedang kini kulihat harmonis.

    Ternyata percuma lapor ke ayah karena esok atau lusa mama memukulku lagi dengan lebih keras dan mengancamku jika aku mengadu lagi maka aku akan dipukul hingga pingsan.

    Aku pun lantas tumbuh hingga berusia sepuluh tahun. Ayah dan mama bercerai. Aku ingin tinggal sama ayah tapi pemerintah menyuruhku tinggal sama mama. Mama lantas memberhentikan sekolahku dan menyuruhku sekolah di rumah. Katanya mama tak ingin orang lain di sekolah melihatku memar dan atau lainnya.

    Di rumah aku hanya dibolehkan memakai kolor. Katanya agar cepat jika akan dihukum. Tak pernah aku melewatkan hari tanpa pukulan.

    Usia sebelas tahun merupakan usia saat kontolku mulai terlihat berbeda saat ereksi. Dan mama mulai menyadarinya. Mama bilang aku tak mungkin ereksi jika tak memainkan kontolku.

    Mama mulai menggerayangiku dan melihat bercak-bercak di kolorku. Mama lantas menjadikannya alasan untuk memukulku lebih keras lagi hingga aku menangis dan nafasku sesak.

    ***

    Di internet mama mulai sering ngobrol dengan entah siapa. Mama mulai mendapat teman dari dunia maya. Teman mama bilang kalau kontolku mulai ereksi kakiku harus diikat ke meja hingga terbuka, helm kontolku dipasangi tensoplas lantas tarik ke sisi meja lain hingga terentang. Setelah itu kontolku dipecut kabel telepon.

    Mama makin dekat dengan teman mayanya hingga mereka bertukar alamat. Ternyata rumahnya tak terlalu jauh dari mama. Mama bahkan mengundangnya datang di akhir pekan.

    Aku memohon pada mama agar tak mengundangnya, namun mama hanya tertawa. Aku kabur, namun karena letak antar tetangga lumayan agak jauh, mama menangkapku.

    Sejak itu kakiku dirantai ke sebuah patok baja. Rantainya cukup panjang hingga aku bisa ke dapur dan kamar mandi. Aku duduk di lantai dekat patok. Setiap malam mama mengecekku. Jika kontolku keras, mama akan menandai tanggal di almenak. Aku benci kontolku, tapi aku tak bisa membuatnya tak keras saat aku tidur.

    ***

    Di akhir pekan, mama kedatangan tamu. Ternyata teman maya mama yang bernama bu Rahma. Mama lantas menunjukan semua alat yang suka dipakainya untuk menyiksaku. Lantas bu Rahma bilang dia bawa alat lain yang lebih baik.

    Bu rahma mengeluarkan jepitan dan memasang di sisi kanan-kiri kontolku. Lantas di helm kontolku. Apabila ingin tahu rasanya, silakan dicoba. Yang pasti aku menangis histeris.

    Dia gak punya keberanian kan? Kita mesti hukum dia karena itu, kata bu Rahma.

    Dia lantas mengeluarkan ketapel mainan, namun berfungsi, dan mengetepel testisku dengan batu atau apalah-apalah.

    Setelah itu aku dibiarkan sementara mama membuat makanan dan kopi. Mereka duduk di meja sambil menertawakanku.

    Bu Rahma bilang aku sangat menarik karena dibanding anaknya, anaknya akan selalu menerima pukulan dengan pasrah tanpa berontak. Sangat susah membuat anaknya menjerti, tambahnya. Mereka bilang mereka beruntung karena rumah di sini masih jarang.

    Bu Rahma juga bilang dia tahu cara unik. Bu Rahma menyuruh mama mengikat kakiku ke meja dan mengikat tanganku di belakang punggung.

    Lantas kontolku ditarik memakai karetgelang. Bu Rahma lantas mengambil koran dan bilang ke mama kalau memukul jangan memukul batangnya, bisa kena ke pembuluh dan membuat darah keluar.

    Aku panik dan mulai memohon untuk tak melakukan itu.

    Tenang saja. Ntar itu, jawab bu Rahma.

    Bu Rahma kembali memasang jepitan. Kini di putingku, tentu aku kembali menjerit. Sementara mama hanya terkikik.

    Bu rahma lantas mengeluarkan benang dan mulai menali testisku, hingga tersumbat di pangkalnya. Aku merasa mual. Bu Rahma lantas berkata ke mama, lihat, karena tersumbat kita bisa liat pembuluhnya. Coba jepit di sana!

    Mama menjepit di testis bagian kiri. Aku menjerit lantas muntah. Mereka hanya tertawa sambil menyentil-nyentil jepitan.

    Akhirnya mereka bosan dan mencabut semua jepitan. Aku dibiarkan istirahat. Karena lelah, aku tertidur.

    ***

    Kurasa kita mesti buat anak ini rendah hati, kata bu Rahma.

    Ternyata yang dimaksud adalah aku harus menjilati memek bu rahma tiap dia selesai kencing. Bahkan menjilati anusnya setelah buang air besar.

    Aku kadang disuruh memohon agar mereka memukulku sepuluh kali. Aku tahu jika tak menurut, bencana yang lebih hebat bakal melanda tubuhku.

    Aku juga disuruh memohon agar pahaku dipecut, putingku dipecut, namun saat aku disuruh memohon agar belahan pantatku dipecut, aku berkata, jangan mohon. Aku akan lakukan apa saja asal jangan itu.

    Kasihan. Lagian kamu juga bakal ngelakuin apa aja. Cuma kamu mesti dihukum karena udah nolak. Masing-masing dua puluh pukulan. Ngocoks.com

    Seberapa sakitkah itu? Tak bisa kujelaskan lebih rinci lagi. Mereka buka pantatku lebar-lebar lantas mencambuknya hingga di kakiku mengalir darah segar.

    Setelah itu aku dibiarkan istirahat sejenak. Setelah itu kontolku diikat dan diambungkan ke sebuah ember kecil seukuran gelas. Jangan tanya darimana asalanya, karena aku tak mau repot-repot memikirkan hal-hal yang akan menyakitiku. Mereka juga mengikat pergelangan kakiku hingga jalanku agak sulit.

    Setelah puas, mereka melepasnya dan membiarkanku istirahat.

    Satu lagi. Lantas aku mesti pulang. Aku tak meninggalkan makanan dan atau air untuk anakku. Aku tak ingin dia jadi terlalu lemah.

    Ambil cambuk ini. Pecut dada sendiri hingga ke selangkangan. Kalau tak cukup merah, kami ambil alih mecut. Termasuk testismu.

    Aku begitu takut hingga mengambil cambuk itu dan mulai mencambuk dadaku hingga merah mulai melapisinya serta perutku. Saat kejadian ini, aku tak percaya menyadari kontolku yang tiba-tiba keras dan tegak menjulang ke atas membuatnya juga kena cambukan.

    Menarik kan, kata bu rahma sambil tertawa, anakku saja kadang begitu bersemangat saat memecut dirinya sendiri.

    Setelah itu dia pergi dan bilang pekan depan akan kembali dan bawa anaknya agar aku dapat teman main. Mama membiarkanku menangis di lantai hingga tertidur.

    Bersambung…

    1 2 3 4 5
  • Beach Resort

    Beach Resort

    Cerita Sex Beach Resort – Sekitar satu minggu yang lalu isteriku, Dayu dan aku diundang hadir ke sebuah beach resort bersama dengan rekan-rekan kerjanya. Isteriku bekerja pada bagian marketing di sebuah perusahaan besar yang sangat sukses beberapa tahun belakangan, dan hal tersebut berimbas pada kesejahteraan karyawannya yang semakin naik dan beberapa bonus juga, salah satunya adalah perjalanan ke resort kali ini.

    Aku sangat bergairah untuk pergi, meskipun dia merasa khawatir bertemu dengan rekan-rekan kerja isteriku. Kantor Dayu bekerja sangatlah berkultur informal, dan kadang Dayu cerita padaku tentang semua godaan dan cubitan yang berlangsung selama jam kerja.

    Aku bekerja pada sebuah firma hukum, yang sangat disiplin dan professional, dan bercanda apalagi saling goda merupakan hal yang tak bisa ditolerir dalam perusahaan. Dan hal itu mempengaruhi sikap dan perilakuku dalam keseharian, aku menjadi seorang yang tegas dan formal.

    Cerita Sex Beach Resort
    Cerita Sex Beach Resort

    Ngocoks Aku tak begitu yakin bisa berbaur dengan rekan kerja Dayu nanti. Dayu sendiri adalah seorang wanita periang dan mudah bergaul. Berumur 30 tahun, potongan rambut pendek seleher dan berwajah manis.

    Dia agak sedikit pendek dibawah rata-rata, pahanya ramping yang bermuara pada pinggang dengan pantat yang kencang. Sosok mungilnya berhiaskan sepasang payudara yang lumayan besar dan namun bulat kencang meskipun tanpa memakai penyangga bra.

    Kami berjumpa dibangku kuliah dan menjadi dekat dalam waktu singkat lalu menikah tak lama setelah kami lulus. Dia tak begitu berpengalaman dalam hal seks, meskipun aku bukanlah lelaki pertama yang berhubungan seks dengannya.

    Kala hari perjalanan itu tiba, kami mengenderai mobil menuju resort tersebut. Dalam perjalanan kesana Dayu menceritakan kalau dia telah membeli sebuah bikini baru untuk akhir pekan kali ini.

    “Mau pamer tubuh ke orang-orang, ya?” candaku padanya.
    “Mungkin,” jawabnya dengan tersenyum.
    “Maksudmu?” tanyaku penasaran.

    Dayu yang kutahu tak begitu suka mempertontonkan tubuhnya, aku selalu merasa sulit untuk sekedar memaki pakaian renang yang minim.

    “Nggak ada, bukan apa-apa” Dayu tertawa menggoda suaminya.
    “Sudah pernah kubilang padamu kan kalau dikantor kita senang bercanda dan saling menggoda. Liburan ini pasti tak ada bedanya, hanya tempat dan suasananya yang beda untuk sedikit genit didepan para pria.”

    “Kamu juga genit di depan teman-teman priamu?” tanya Wisnu gusar.
    “Bukan cuma aku, sayang. Semua teman wanitaku juga melakukannya kok,” jawab Dayu menjelaskan. “Cuma sedikit genit, menggoda dan bercanda. Kamu tahu, kadang saling bercanda mmm… yeah bercanda agak jorok, seks dan juga sedikit tontonan.”

    “Tunggu, apa?” suara Wisnu agak meninggi. “Tontonan? Kamu mempertontonkan tubuhmu ke teman-teman priamu?”
    “Oh, sayang, ini bukan sungguh-sungguh,” jawab Dayu. “Cuma menggoda kok. Hanya sedikit menyingkap baju, kadang sedikit memberi bonus dengan memperlihatkan dada sebentar.”

    Aku terhenyak, isteriku memperlihatkan payudaranya pada pria lain? Pria lain di kantornya? Ini bukan seperti sosok Dayu yang kukenal selama ini. Hanya seberapa dekat dia dengan teman kerja prianya? Kepalaku dipenuhi oleh pikiran yang berkecamuk tak karuan hingga akhirnya kami tiba di resort.

    Segera kuparkir kendaraan kami. Begitu memasuki lobby dengan bawaan kami, sekelompok orang melambai ke arah Dayu untuk mendekat. Mereka adalah beberapa orang dari rekan-rekan kerjanya dan Dayu memperkenalkanku. Alan, Dave, Eddie, Gary adalah nama taman-teman prianya dan yang wanitanya Sasha, Kristin, Melly dan Nina.

    Mereka berkata pada Dayu kalau semua orang harus bertemu di kolam renang pribadi dan minum-minum dulu sebelum berikutnya pergi ke pantai. Kami setuju untuk menyusul mereka secepatnya setelah menaruh bawaan dikamar dan berganti pakaian.

    Baru saja mereka beranjak, Alan sudah beraksi dengan mencubit pinggul Dayu yang langsung memekik kegelian dan mendorong tubuh Alan menjauh.

    Aku sangat terkejut mendapati hal tersebut dan hampir saja teriak marah, tapi mereka semua mulai tertawa, termasuk Dayu, jadi aku pikir inilah sebagian dari cara mereka saling menggoda dan bercanda. Aku tak mau dianggap seorang yang kolot dan tak bisa berbaur di lima menit pertama kehadiranku, jadi aku hanya diam saja membiarkan.

    Kami menuju ke kamar kami dan mulai berganti pakaian dengan pakaian renang. Dayu masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian dan kemudian keluar dengan sebuah handuk membalut tubuhnya. Aku ingin melihat apa yang dipakainya dibalik handuk tersebut, tapi dia langsung memotongku sebelum mampu berkata sepatah kata “Ayo, kita turun!”

    Kuraih sebuah buku dan berjalan mengikutinya menuju kolam renang. Kantor Dayu pasti sudah menyewa seluruh kolam tersebut, karena ada logo perusahaan pada semua handuk dan pada tulisan selamat datang. Ada sekitar lima puluhan orang di area kola mini.

    Kebanyakan dari mereka adalah pria, dan yang membuatku kecewa, kebanyakan dari mereka terlihat muda dan menarik. Para wanitanya juga tak ada yang mengecewakan. Kebanyakan mereka hanya berbikini minim memperlihatkan keindahan tubuh muda mereka.

    Baru saja aku hendak bertanya dimanakah teman-temannya yang tadi, saat kulihat isteriku sedang membuka handuk penutup tubuhnya. Apa yang terpampang dihadapanku sangat membuatku terpaku, dibalik handuk tersebut dia memakai sebuah bikini warna merah tua dan… sangat minim.

    Bagian atasnya hanya menutup sebagian depan dari payudaranya, dan tali penahannya yang terkalung dileher jenjangnya terlihat seakan siap untuk dilepas. Sedangkan bagian bawah hampir menyerupai thong, memperlihatkan keindahan paha dan bongkahan pantatnya. Dia terlihat begitu menawan.

    Tak heran dia menutupinya dengan handuk saat dikamar tadi, pikirku. Dia tahu kalau aku pasti akan meributkan apa yang dipakainya. Baru saja aku hendak berkomentar namun terpotong oleh sebuah teriakan dari seberang kolam, “Hey, lihat Dayu!”

    Dan langsung disusul oleh riuh rendah suara yang diiringi siulan nakal dari para pria di area kolam tersebut. Dayu hanya tertawa riang lalu melakukan sebuah pose, memperlihatkan perutnya yang rata dan kemulusan pahanya sambil mengoleskan sun-block ke tubuhnya. Dia menoleh ke arahku dan berkata, “Lihat kan? Hanya menggoda saja!”

    Aku hanya mengangguk dan terdiam. Aku harapdia mengatakan sesuatu tentang betapa terbukanya pakaian renang yang dia pakai ini tapi itu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan, ini tetap hanya sebuah bikini. Jika para pria ingin memandangi tubuh isteriku, apa salahnya dengan itu? Bahkan aku bisa merasa bangga akan hal tersebut.

    Aku rebah di atas bangku malas dan mulai membuka buku yang kubawa sedangkan Dayu berjalan menghampiri teman-temannya. Aku berencana menghabiskan waktu dengan membaca, namun mataku terus melayang ke arah dimana isteriku berada.

    Setiap kali aku melihat Dayu, dia tengah asik bercanda dengan teman prianya. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti membaca, dan hanya memperhatikan setiap tingkah lakunya sambil terus pura-pura membaca bukuku.

    Di salah satu sudut kolam tersebut ada bar yang menyuguhkan berbagai macam minuman dan sudah berulang kali aku kesana untuk sebotol bir dingin. Kelihatannya minumannya sudah dipersiapkan dalam jumlah dan ragam yang banyak untuk membuat pesta ini berjalan meriah.

    Kuamati Dayu sudah berulang kali pergi ke sana untuk segelas margaritas dan entah sudah berapa banyak orang yang pergi mengambilkan minuman untuknya. Namun yang jelas dia semakin bertambah mabuk seiring berjalannya waktu.

    Ditambah lagi para pria yang mendorongnya dan juga para wanita lainnya untuk minum lebih banyak lagi. Pada suatu kesempatan Dave menantang Dayu untuk berlomba menghabiskan minuman dalam gelas mereka, yang tentu saja dimenangkan Dave dengan mudah, melihat kondisi Dayu sudah lebih dari sekedar mabuk.

    Baru saja aku mulai kembali membaca, Dayu datang menghampiri. Dia baru saja keluar dari dalam kolam dan tubuhnya basah kuyup. Dengan kain penutup tubuh yang dia kenakan menempel erat disetiap lekuk tubuhnya, membuat dia semakin terlihat menggoda.

    “Hai, sayang,” sapanya. “Sudah lebih santai?”
    “Yeah,” jawab Wisnu. “Kamu sendiri, bisa bersenang-senang?”
    “Oh, ya,” dia tersenyum manja. “Aku sudah agak mabuk.”
    Itu terlihat jelas, tapi aku tak mau lebih mendesaknya. Dayu mengeringkan tubuhnya dengan handuknya, lalu melangkah kembali ke teman-temannya.

    Aku kembali pada bacaanku, hingga tiba-tiba saja kudengar suara jeritan. Dengan cepat aku menoleh ke arah suara tersebut, tepat disaat kulihat Melly yang tengah menutupi payudara telanjangnya dengan tangannya.

    Salah satu dari pria tersebut menarik lepas penutup dadanya dan sekarang tengah berlari dipinggiran kolam dengan menenteng penutup dada tersebut. Melly mengejarnya, dengan lengan menyilang menutupi dadanya hingga si pria berhenti lalu menangkap tubuh Melly dan menariknya bersamanya menceburkan diri ke dalam kolam.

    Aku dengar sebuah suara jeritan lagi dan salah seorang wanita yang tak kukenal sekarang juga tak berpenutup dada. Alih-alih menutupi payudaranya, kali ini si wanita hanya membiarkan saja pria yang menarik lepas penutup dadanya itu berlari menjauh dan dia terus mengobrol dengan temannya seakan tak terjadi apapun.

    Aku memandang sekeliling untuk mencari Dayu. Dia sedang sedang mengobrol dengan seorang pria di kolam yang dangkal. Kuperhatikan Alan sedang berenang ke arahnya dari belakang dan muncul tepat dibelakangnya lalu menyentakkan tali penahan penutup dadanya di leher.

    Penutup dada Dayu tertarik erat menekan daging bulat kenyal tersebut dan tiba-tiba saja payudaranya terayun meloncat lepas dari penutupnya. Dia memekik dan tubuhnya berbalik ke belakang untuk memukul Alan.

    Alan mengangkat penutup dada tersebut tinggi ke atas, Dayu hanya tertawa keras lalu melompat mencoba merebutnya. Nampak payudaranya terayun seiring tiap lompatannya, puting merah mudanya terlihat jelas mencuat keras membuat seluruh pria dikolam tersebut bersorak riuh.

    Dave bergerak ke belakang Dayu lalu menangkap pinggangnya dan mengangkatnya tinggi tinggi agar bisa meraih penutup dada yang dipegangi Alan. Dayu rebut penutup dada tersebut dari tangan Alan lalu mengibaskannya pada Alan dengan tertawa genit.

    Dayu mulai memakai kembali penutup dadanya, namun masih kalah cepat dengan tangan Alan yang menjulur ke arahnya untuk meremas payudara telanjangnya yang sebelah kiri. Kembali Dayu memekik dan menepis tangan Alan untuk menjauh.

    Rupanya para wanita tak membiarkan begitu saja dengan perbuatan para pria terhadap penutup dada mereka. Beberapa menit setelah Dave membantu Dayu tadi, nampak Melly berjalan mengendap dibelakang Dave yang sekarang berdiri di depan Bar lalu menarik turun celana renang yang dipakai Dave.

    Sebuah batang penis yang besar menyembul keluar dan seluruh wanita menjerit riuh tak terkecuali Dayu. Dave hanya tertawa keras dan mulai mengejar Melly yang berlari mengitari tepian kolam. Dengan konyol Dave berlari mengejr dan mengibas-ngibaskan batang penisnya ke arah Melly yang berlari, menjerit dan tertawa.

    Setelah beberapa menit kemudian, Dayu keluar dari kolam renang dan berjalan ke arahku. Sebelum dia mampu mengucap sepatah kata, aku sudah memberondongnya dengan pertanyaan tentang apa yang sedang terjadi disana.

    “Oh, sayang, bukan apa-apa. Mereka hanya bersenang-senang, itu saja,” jawab Dayu.
    “Aku rasa melihatmu telanjang dada dan juga menyentuh dadamu bukan sekedar bercanda atapun senang-senang!” kataku ketus.

    “Sayang, jangan terlalu kolot begitu. Lagipula aku sudah memakai penutup dadaku lagi. Lihat para pria itu, mereka melepas beberapa penutup dada teman wanitaku yang lainnya lagi dan sebagian dari para merka, mereka tak ambil pusing untuk memakainya lagi.”

    Dia berhasil memojokkanku. Beberapa teman wanitanya sekarang sudah mondar-mandir dengan telanjang dada, terkadang salah seorang pria akan mendekat untuk sekedar menyentuh atau meremas payudara mereka.

    “Lagipula,” Dayu membungkuk dan tiba-tiba memelankan suaranya, “Bukankah ini membuatmu terangsang melihat para pria melirikku? Mengintip dadaku dan menyentuhnya sedikit?”

    Aku jadi terdiam karena memang itu kenyataannya. Aku merasakan rangsangan setelah melihat para pria tersebut menggoda isterinku, namun aku juga merasakan cemburu yang sangat besar.

    “Semua hanya coba bersenang-senang dan tak ada yang dirugikan,” sambung Dayu lagi. “Coba pikirkan saja betapa nakalnya isterimu ini, membiarkan para pria melihat dadanya dan menyentuhnya.”

    Aku menganggukkan kepala pelan dan dia tersenyum lebar lalu melangkah pergi. Aku merasa harus mengucapkan sesuatu, namun moment tersebut telah musnah. Ngocoks.com

    Lagipula, jika para pria berlaku seperti itu pada semua wanita di sini, tak ada alasan bagiku untuk merasa marah. Aku coba lagi untuk konsentrasi pada buku yang kubawa, namun tak berapa lama rasa kantuk melanda. Aku ambil kacamatku lalu dengan cepat terlelap.

    Saat aku terbangun, suasana menjadi sangat riuh di dalam kolam. Kebanyakan para wanita yang berada disana sudah tak memakai penutup dada lagi, termasuk Kristin yang tengah berjalan lewat di depan tempatku berada.

    Kristin berbadan lebih tinggi dibandingkan Dayu, tapi payudaranya lebih kecil. Dadanya terekspos bebas, dan penutup dadanya terlihat menggantung dilehernya, mungkin hasil usil beberapa pria yang melepaskan pengaitnya.

    Aku masih merasa ngantuk namun sudah terjaga, dan dengan kaca mata yang menutupi mataku terlihat aku masih tertidur. Aku sapukan pandangan ke seantero area kolam untuk mencari istriku dan kusaksikan suasana sudah semakin memanas, beberapa pasang pria wanita bahkan terlihat saling bercumbu di dalam kolam renang tanpa mempedulikan sekeliling lagi.

    Akhirnya kutemukan keberadaan Dayu, yang sedang duduk dipinggir kolam dengan kakinya masuk ke dalam air. Alan menemaninya di dalam kolam, lengannya bertumpu di atas paha Dayu. Keduanya terlihat asik ngobrol dengan wajah yang hampir bersentuhan.

    Ekspresi wajah Dayu terlihat jengah, sedangkan Alan terlihat sedang merajuk tentang sesuatu. Sebentar-sebentar terdengar suara tawa renyah pecah dari mulut Dayu, terdengar jelas kalau dia masih dalam kondisi mabuk.

    Beberapa menit berselang, terlihat Dayu mengangkat lengannya dan mengangkat salah satu tali penahan penutup dadanya dibahunya kemudian pelan-pelan dia turunkan dari bahunya.

    Alan mengucapkan sesuatu yang kembali membuat tawa isteriku pecah. Kemuadian dia memegang tangan Dayu dan menariknya masuk ke dalam air diantara kedua pahanya. Brengsek, umpatku dalam hati. Apa Alan sudah membuat isteriku menyentuh batang penisnya?

    Dayu memekik terkejut pada awalnya lalu kembali dia tertawa. Dia tetap membiarkan tangannya berada di dalam air, lalu mulailah terlihat dia menggerakkan tangannya.

    Kembali Alan mengucapkan sesuatu dan Dayu tertawa lagi, lalu dia angkat tangannya dari dalam air dan menurunkan tali penahan penutup dadanya yang satu lagi dari bahunya. Dia memandang sekilas kearahku, dan aku terdiam tak berani bergerak. Aku pasti telah membuatnya yakin kalau aku masih tertidur lelap karena kemudian dia menoleh kembali pada Alan.

    Penutup dadanya sekarang hanya bergantung ditahan hanya oleh daging bulat payudaranya saja. Alan sekarang memandanginya tanpa sungkan-sungkan lagi dan mengobrol dengan penuh semangat.

    Aku tak tahu apa yang tengah dia ucapkan, tapi melihat isteriku yang terlihat melakukan setiap apapun yang Alan pinta, itu pasti sebuah paduan sempurna dari sebuah humor dan rayuan. Beberapa saat berikutnya kembali tangan Dayu masuk ke dalam air.

    Kali ini dia terlihat menahan nafas. Apapun yang dia pegang di dalam air tersebut, itu membuatnya terkesan. Alan tertawa dan membisikkan sesuatu yang membuat tawa Dayu lebih pecah dengan kerasnya.

    Kembali Dayu mengangkat tangannya dari dalam air kemudian meremas kedua lengannya rapat-rapat. Belahan daging payudaranya terangkat sedikit, cukup untuk membuat penutup dadanya sedikit lebih turun lagi, membuat putingnya sekarang terekspos di hadapan mata Alan.

    Putingnya yang merekah terlihat sangat keras dan mencuat menggiurkan dari bulat kenyalnya payudaranya yang indah.

    Menyaksikan hal itu membuatku sangat terkejut sekaligus merasa api birahiku berkobar hebat, batang penisku langsung tebangun dan ereksi penuh.

    Aku tak bisa percayai kalau isteriku telah mengekspos dirinya dihadapan seorang pria seperti itu, dan aku tak bisa percaya kalau diriku sendiri merasa terangsang karena melihat kejadian tersebut. Apa yang salah dengan diriku?

    Bersambung…

    1 2