Cerita Sex Tukang Ojek Komplek – Dengan jemari lentiknya, Dian menyimpulkan tali jubah mandinya sembari berjalan masuk ke kamar mandi. Sore itu, ia berencana melepaskan segala macam kepenatan pikirannya dengan mandi sambil berendam di bathup. Yup, itu semua karena pekerjaan di kantor barunya benar-benar menyita seluruh tenaga dan konsentrasinya.
Air segera mengucur deras dengan seketika begitu Dian memutar tuas keran air yang ada dibagian bawah bathup. Sesekali, ia kecipakkan tangan putih mulusnya ke air guna merasakan tingkat kepanasan air.
“Moga-moga, mandi berendam ini dapat menjernihkan pikiranku…” ucapnya pelan.
Butuh beberapa waktu guna memenuhi bak bathup itu dengan air. Oleh karenanya, selagi menunggu bathup penuh, Dian menuju dapur yang ada di lantai dasar untuk membuat segelas jus melon kegemarannya. Jus melon, olahan minuman dari buah yang bagi Dian adalah teman setia ketika menemaninya berendam.
“Cobalah oh sayang hatiku pasti jadi milikmu | Bila kau tunjukkan kasih sayang padaku
Sepenuh hati dengan cintamu | Sayangi aku selayaknya aku kekasihmu
Aku wanita yang butuh cinta | Bukan hanya perzinahan | Yang dapat kau lalui lalu kau pergi “
Ngocoks Tak sadar, dari semenjak keluar kamar hingga dapur, bibir tipis Dian melantun sebait lagu yang semakin lama semakin keras. Dan dengan diiringi gerakan tarian manja, Dian menyanyikan keseluruhan tembang yang dibawakan oleh grup band lawas tersebut. Hingga ketika melewati ruang tengah, Dian dikagetkan oleh sesuatu.
“Eh Mitha… kamu kok sudah pulang…?” Tanya Dian dengan nada kaget akan keberadaan putri semata wayangnya di sudut kursi ruang tengah.
“I…iya mi… hari ini lesnya libur… khan sekarang hari jumat….” Jawab Mitha yang juga terkejut akan kehadirannya Dian yang tiba-tiba.
“Haloo… halooo…. Mith…? Mitha…?” panggil seorang pria yang ada di ujung telephon
“Eh iya… Ga kenapa-napa kok, cuma ada mami…” sambung Mitha
“Hayoooo… kamu sedang telepon ama siapa sayang?” Tanya Dian menggoda anak perempuan satu-satunya.
Didekatkannya telinga Dian pada gagang telephon yang berada pada genggaman Mitha, seolah ia ingin nguping. Namun karena malu, Mitha segera menghindarkan gagang telephon itu jauh-jauh dari jangkauan maminya.
“Ahhhh… Mami kepo banget deh.… Cuma temen kok Mi…” Jawab Mitha malu-malu.
“Hahaha… Dasar anak kecil…” tawa Dian yang akhirnya menyerah untuk menginvestigasi putrinya itu.
“Udah sana, mami mandi gih… Tuh denger… Suara aer bathupnya dah penuh…”
“Iyadeh… Yang masih ABG…” Canda Dian genit.
“Halloohh…iya…………” kembali Mitha melanjutkan perbincangan serunya seolah barusan tak ada apa-apa.
Sambil tersenyum, Dian pun ikut-ikutan tak menggubris Mitha yang sedang telepon. Dia segera menuju dapur untuk membuat jus melonnya.
Dari dapur, suara berat Mitha masih sedikit terdengar. Dian sebenarnya berusaha untuk tak menghiraukan percakapan antara putri dan temannya itu, namun entah kenapa, jika melihat dari gelagat Mitha ketika menelpon, dia terlihat seperti sesosok mata-mata yang sedang membocorkan rahasia. Duduk disudut ruangan, bergelap-gelapan dengan pandangan mata yang selalu siaga mengawasi kondisi sekitar.
Mau tak mau, Dian pun menjadi penasaran. Segera saja, ia mematikan mesin blender yang sedang menggiling daging buah melon itu, lalu ia pertajam indra pendengarannya. Dan mendadak, Dian lupa akan tujuan awalnya membuat jus melon sebagai teman mandi berendamnya.
“Hihihi… iya bener.. rasanya bikin deg-degan gimana gitu….” Ucap Mitha lirih sambil sesekali ia tertawa kecil.
“Bener-bener… bentuknya ga sama seperti gambar yang ada di buku… beda banget…”
“Gedhe dan panjang…”
“Iya.. Mitha juga pengen…”
“Aduh… kapan ya bisa seperti kemaren lagi…?” Kembali Mitha celingukan, menengok kearah dapur dimana mamanya berada. Ia berjaga-jaga supaya tak ada seseorangpun yang mendengar percakapannya.
“Mitha juga merindukan sodokan batang panjangmu sayang… hihihi…” kembali Mitha tertawa kecil.
“Merindukan sodokan batang panjangmu…?” Tanya Dian dalam hati
“Batang apakah yang sedang dibicarakan antara Mitha dan teman prianya ini?”
Mendadak muka Dian menjadi merah, dan detak jantungnya berdebar begitu kencang. Apakah mungkin, Mitha sedang membahas tentang batang kelamin teman lelakinya? Mitha khan baru masuk kelas 2 SMP baru 15 tahun. Belum sepantasnya ia mendiskusikan tentang hal itu dengan teman lelakinya.
Dian mencoba mengingat tentang kejadian beberapa waktu lalu. Ada beberapa kejanggalan mengenai putrinya yang susah untuk dijelaskan.
Pulang larut malam, cupangan di leher bawah serta dadanya, dan yang paling mengejutkan adalah adanya plastic kondom di laci kamarnya. Hal itulah yang membuat pikiran Dian menjadi gelisah. Ada apa gerangan yang terjadi pada kelakuan putri satu-satunya itu.
“Ah.. Kamu jangan gitu ahh… Mitha juga pengen….”
Kembali Dian membuang semua pikiran aneh itu dan lebih memilih untuk mendengarkan percakapan putrinya dari jauh. Hingga, sebuah kalimat yang membuat detak jantungnya seolah berhenti.
“Mitha juga pengen ngejilatin kontolmu Mas… pengen banget minum pejuhmu lagi..”
DEG..
Dian seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Walau terdengar begitu samar, namun Dian yakin, jika barusan ia mendengar putrinya ingin meminum sperma lelaki teman bicaranya.
“Mitha ga sabar nunggu mami pergi keluar kota lagi, jadi khan kita bisa nerusin rencana mas Udin yang sempat tertunda kemaren..”
“Udin….?” Tanya Dian dalam hati.
Mendengar pembicaraan mereka yang mulai tak senonoh, Dian berjingkat pelan. Mendekat kearah Mitha dari arah belakang punggung Mitha dan…
“Kamu sedang ngobrol dengan Udin si tukang ojek itu ya…?
Mitha menengok kearah datangnya suara itu dan langsung berdiri dari tempat duduknya. “Sialan… udah dulu ya sayang, ada mami… ”
Sebelum Mitha meletakkan gagang telephon itu ke badan telephon, Dian langsung menyerbu kearah Mitha sambil berteriak lantang.
“Berikan telepon itu…” bentak Dian sembari menyambar gagang telephon itu dari tangan putrinya.
“Dengar ya Din… Jika gue ngelihat lo dekatan dengan anak gue lagi, gue ga akan segan-segan untuk ngelaporin lo ke Polisi. Mengerti lo?” Bentak Dian sambil menutup telepon.
Seperti mendengar gemuruh geluduk di siang bolong, Mitha yang mendengar lelaki tercintanya diancam seperti itu, menjadi tak terima “Miiii, apa yang mami lakuin sih? Emang Mas udin salah apa miiiih..??”
“Mami ga suka kamu menjalin hubungan dengan lelaki tanpa masa depan seperti itu..”
“Tapi miii, aku mencintainya…”
“Buka matamu sayang… tukang ojek seperti dia tuh tidak cocok buatmu…”
“Mitha tak peduli dengan apa kerjaan dia, yang jelas Mas Udin cinta ama Mitha…”
“Jadi kamu menentang pendapat mami?”
“Mami Jahat…Mitha benci Mami…”
“Udah-udah… Kamu dihukum…. Weekend ini kamu tak boleh keluar rumah… sana masuk kamar..”
“Aku benci mami… Aku benar-benar benci mami…!” Tangis Mitha histeris. Ia berlari masuk kamar lalu membanting pintu kamarnya keras-keras.
Tiba-tiba, rasa bersalah muncul dalam hati Dian. Apakah dia salah atau terlalu keras dalam mendidik Mitha, sehingga Mitha bisa berteman dengan lelaki busuk semacam Udin. Apakah Dian kurang dalam memberikan perhatian dan kasih sayangnya, sehingga Mitha bisa menjalin hubungan special dengan lelaki tak terurus seperti Udin.
Udin, lelaki yang dalam pandangan matanya benar-benar jauh dari ganteng, putih atau bermasa depan. Lelaki yang selalu menggunakan pakaian hitam belel, celana jean sobek dan berbau asem. Belum lagi reputasinya sebagai pengedar narkoba yang entah itu benar atau salah, semakin membuat citra Udin mejadi begitu buruk dimata Dian.
Dian kembali teringat beberapa waktu lalu, ketika masa awal-awal perkenalannya dengan Udin. Udin adalah tukang ojek ujung komplek yang membantu mengantarkan Dian berangkat interview karena mobilnya entah kenapa susah untuk dinyalakan.
Dan ternyata, semenjak kejadian itu, Udin menjadi tumpuan harapan bagi Dian dalam hal trasportasi. Baik sebagai sarana antar jemput atau untuk minta tolong segala macam kebutuhan Dian.
Yah dengan kata lainnya, Udin dapat diandalkan sebagai tangan tambahan ketika Dian tak mampu dalam mengerjakan sebuah tugas.
Ramah, baik dan tak perhitungan. Itulah yang membuat Dian percaya untuk menggunakan jasa Udin. Namun ada satu hal yang Dian kurang suka dengan tukang ojek itu. Udin memiliki sifat mesum. Apalagi semenjak putri semata wayang Dian juga mulai sering menggunakan jasa ojek Udin, sifat mesum Udin menjadi semakin menjadi-jadi.
Hingga pernah, Dian beberapa kali memergokin Udin yang sering memphoto dirinya ataupun Mitha ketika mereka sedang mengenakan rok pendek atau baju dengan atasan berbelahan dada rendah. Dan yang paling parah, Dian sempat mendapati adanya sperma di kamar mandi, setelah kamar mandi itu digunakan Udin.
Yup, Udin beronani dikamar mandi.
Memang sih, Udin tak pernah mau mengaku melakukan hal itu, tapi Dian benar-benar yakin jika lelehan sperma di dinding dan lantai kamar mandi itu berasal dari batang penisnya.
Udin juga sepertinya membawa dampak buruk kepada Mitha. Karena semenjak kenal Udin, Mitha menjadi sangat susah diatur, suka melawan, dan mulai menggunakan gaya berpakaiannya yang berbeda.
Dulu, putri satu-satunya itu selalu malu jika diminta untuk mengenakan baju seksi, namun sekarang, tak disuruh pun Mitha dengan pedenya berani mengenakan jins ketat atau jeans super pendek, berkaos kecil, yang kesemuanya menonjolkan lekuk tubuhnya
“Huuuhhh…. “ desah Dian lirih. Kali ini, pikirannya semakin kacau.
“Mas Loddy…Apa yang harus Dian lakukan…?” Tanya Dian dalam hati. Diraihnya gagang telephon yang ada di atas meja ruang tengah, dan mulai menekan beberapa tombol.
Dian berharap suami tercintanya yang sedang tugas keluar kota mampu memberikan masukan tentang masalah yang ia hadapi saat ini. Namun tiba-tiba Dian memilih meletakkan gagang telepon, dan tak jadi menghubungi suaminya. Ia tak mau mengganggu pikiran suaminya dengan masalah lagi. untuk sementara, ia pendam saja dulu masalah ini.
Dian kembali kearah dapur, mengambil gelas jus melon favoritnya dan bergegas ke kamar mandi di lantai atas. Ia menutup pintu kamar mandi, meletakkan gelas jus disamping bathup dan mulai melucuti jubah mandinya. Dian berjalan ke cermin dan membiarkan jubahnya jatuh ke lantai. Itu adalah kebiasaan sehari-hari untuk memeriksa tubuhnya sendiri sebelum mandi.
Dengan jeli, mata bulat Dian memeriksa sekujur tubuhnya. Terkadang, Dian merasa bangga akan tubuh yang ia dapati. Masih berusia 34 tahun namun sudah memiliki seorang putri cantik berumur 15 tahun. Hal itu pun terkadang membuatnya sedikit besar kepala, karena ketika mereka jalan berdua, tak jarang banyak orang yang salah mengira jika mereka kakak adik.
Rambut hitam yang lurus panjang, menjuntai hingga punggung. Tubuh yang dibalut kulit berwarna kuning langsat, tinggi 165 cm dan berat tak lebih dari 50 kg itu pun sering membuat mata lelaki susah untuk tidak melihat kesintalan tubuh ibu satu anak itu. Belum lagi dengan tonjolan buah dada 34C dan bongkahan bokongnya yang membulat indah, membuat Dian benar-benar seperti bidadari.
“Waktunya berendam…” bisik Dian dalam hati.
Segera saja, Dian meluncurkan kaki jenjangnya kedalam bathup. Mencoba beradaptasi sejenak hingga tubuhnya menjadi terbiasa dengan panasnya air yang menggenang di bathup. Lalu tak lama kemudian, sekujur tubuhnya sudah masuk semua kedalam bathup itu.
“Oooouuuhh… nyaman sekali rasanya…” desahnya lirih.
Diusapnya pangkal luar lengannya yang mulus, pundak, payudara, perut, paha hingga kedua betis butir padinya. Dengan perlahan ia menyeka semua daerah itu sembari memeriksa kulit mulusnya. Dian memejamkan mata, dan menenggelamkan seluruh tubuhnya.
***
Tak terasa, sudah hampir sejam Dian tertidur di bathup. Karena begitu sadar dari lelap, jemari tangannya sudah terlihat keriput, dan air yang memenuhi bathup itu sudah tak lagi hangat.
Segera saja Dian beranjak dari bathup dan mulai membilas tubuh langsingnya. Dian mengambil sabun aroma melati dan membilas bahu serta lengannya sebelum pindah ke dadanya.
Mendadak, Dian tersentak kaget saat sabun dan buih-buihnya meluncur di sekitar putting payudaranya. Puting berwarna merah muda itu selalu sensitif, bukan sensitive lagi, melainkan super sensitif . Sentuhan sepelan apapun, selalu dapat mengirimkan getaran kejang ke sekujur tubuhnya.
Puting payudaranya selalu mencuat keras dan begitu menjulang jauh kedepan, sehingga terkadang putting itu terasa begitu ngilu jika terhimpit oleh kain branya. Dan saat ini, kedua putting payudara itu benar-benar sensitive, keras dan sakit.
Dian menggosok sabun di sekitar bawah payudaranya sebelum meluncur di atas perutnya yang rata. Terakhir dia menyabuni selangkangannya dan meluncur ke tungkai pahanya. Dia tergoda untuk membiarkan tangannya berlama-lama di antara kakinya, daerah intim wanita yang selalu membuatnya merasa geli barcampur nikmat ketika digosok.
“Andai kamu ada disini mas….” Sambil terus mengusap selangkangannya, kembali Dian membayangkan kehadiran suaminya.
Rasa licin dan lembutnya sabun yang berada di sekitar puting payudaranya membuat dia terangsang. Ingin sekali rasanya bercinta saat itu juga, namun Loddy, suami Dian masih dinas diluar kota. Dan masih ada waktu sekitar seminggu lagi hingga suaminya bisa pulang dan menyetubuhinya.
Lagi-lagi. Dian harus menahan birahi yang memuncak itu. Dian ingin ketika suaminya pulang, ia akan mendapatkan kebinalan dirinya secara penuh.
Setelah kurang lebih lima menit membilas tubuh, Dian akhirnya menyudahi mandi sorenya.
Ditariknya karet penyumbat bathup itu dan ia segera beranjak keluar kamar mandi. Dikeringkannya tubuh basah itu dengan handuk putih tebal lalu menggosokkan baby oil ke seluruh kulit tubuhnya.
Mendadak, Dian merasa begitu lapar.
Mandi berendam di sore hari seperti ini memang sangat menguras stamina. Walau sama sekali tak melakukan aktifitas apapun, tubuh seperti baru saja melakukan renang melewati dua pulau.
Dengan rambut yang masih digelung kain handuk, Dian keluar dari kamarnya dan menuju kedapur. Suasana rumah kembali terasa sepi, karena si Mitha sedang menjalani hukumannya di dalam kamarnya.
Namun, ketika Dian melewati kamar Mitha, sayup-sayup terdengar suara cekikikan yang sangat ia kenal.
Dengan cepat, Dian membuka pintu kamar putrinya dan melihat kesekeliling ruangan. Mitha yang semula sedang tertawa-tawa, langsung menyembunyikan handphone yang ia genggam kebelakang punggungnya begitu maminya masuk.
“Kesinikan handphonemu…” pinta Dian
“Buat apa mi…?” Tanya Mitha
“Kesiniin….!!!” Ucap Dian lagi dengan nada sedikit keras.
Dengan berat hati, Mitha melempar handphone itu ke sudut kasur, dekat dengan posisi Dian berdiri.
“Mitha smsan ama Rezy mii…. Bener kok…”
“Yuk kita lihat…”
Merasa pernah muda, Dian tak bisa dibohongi anak semata wayangnya begitu saja. Ditekannya tombol hijau di telpon Mitha, menelpon teman putrinya yang bernama Rezy.
“Baru juga sms-an bentar, sayang Mitha udah kangen ama kontol abang udin ya? Sampe nelpon-nelpon segala…” ujar lelaki dari ujung telephon,
“BANGSAT lo Din… JAUHI Mitha…!!!” bentak Dian seketika dan mengakhiri pembicaraan.
“Mitha… mami kecewa denganmu… mami tak mengira kamu masih berhubungan dengan lelaki mesum itu..”
“Biarin… Mitha cinta bang udin… dan Mitha tak akan tinggal diam melihat mami menghalang-halangi hubungan kami…”
“Berani kamu ya…?” Emosi Dian meningkat. “Ayo ikut mami… mami tak akan membiarkanmu seperti ini”
“Mitha ga mau ikut…” Tolak Mitha sengit sambil cemberut dan menyilangkan lengan didepan dadanya.
“Ikut…!” bentak Dian sambil mencengkeram pergelangan tangan Mitha.
Diseretnya putri semata wayangnya itu kearah kamar tidurnya.
“Kali ini kita tukeran kamar tidur… “ ujar Dian sambil mendorong Mitha secara paksa memasuki kamar tidurnya. “Kali ini, kamu akan merasakan, apa itu rasanya dikurung…” tambah Dian lagi sambil mengunci pintu kamar tidurnya.
“Mitha benci mami… Mitha ga mau punya mami jahat seperti mami…” histeris Mitha dari dalam kamar Dian.
Sebenarnya, Dian merasa menyesal akan apa yang telah ia lakukan pada Mitha barusan. Akan tetapi ia sama sekali tak memiliki jalan keluar tentang apa yang harus dilakukan guna memisahkan putri satu-satunya dengan ojek kampung itu.
Dian merasa begitu frustasi, dan berpikir untuk segera menelpon Lody. Namun, kembali, ia mengurungkan niatnya. Ia tak ingin membuat suaminya itu khawatir akan apa yang terjadi kepada putri satu-satunya tersebut.
Dengan langkah gontai dan pikiran kalut, Dian berjalan kearah dapur dan membuat makan malam. Dua porsi besar spageti bakso dan dua gelas orange jus, satu untuk dirinya, dan satu untuk Mitha.
Sejahat-jahatnya ibu, Dian tak tega juga melihat putrinya hanya meringkuk di sudut tempat tidurnya.
“Mitha… nih makan malamnya udah mami siapin.. yuk kita makan malam bareng.…”
Tak ada jawaban sedikitpun dari Mitha. Rupanya saat itu Mitha masih benar-benar sebal akan hukuman dari Dian.
Walau sedang menghukum putri semata wayangnya, Dian juga tak tega melihat putrinya itu kelaparan. Oleh karena itu, ia sengaja meletakkan makan malam itu di dalam kamar tidurnya, lalu kembali keluar dan mengunci kamarnya lagi.
“Aku mami yang sadis….” Ujar Mitha dalam hati.
Malam semakin larut, rasa kantuk karena makan malam pun mulai menyergap. Dan karena kamar tidur Dian malam ini ditempatin oleh Mitha, mau tak mau Dian harus tidur dikamar Mitha.
“Sudah lama juga aku tak pernah berkunjung ke kamar yang mungil ini..” Sejenak, Dian mengamati sekeliling kamar putrinya. Laptop, TV, audio set, lemari, rak buku dan tempat tidur dengan sprei dan selimut berwarna pink. Dinding berwarna hijau muda yang ditempeli beberapa poster idola, AC dan dua buah jendela yang ada disamping-samping tempat tidur. Tak ada yang special dari kamar itu, sama seperti remaja cewe pada umumnya.
Dian kembali berkeliling kamar mungil itu. Di atas meja belajarnya terdapat beberapa photo Mitha mengenakan bikini seksi bersama teman-temannya ketika berenang di pantai beberapa tahun lalu. Melihat tubuh putrinya mengenakan bikini, Dian benar-benar bersyukur karena telah memiliki putri yang cantik seperti Mitha.
Perhatian Dian mendadak tertuju pada laptop Mitha. Laptop itu masih aktif karena lampu indicator masih menyala. Penasaran akan apa yang ada dalam laptop Mitha, Dian segera membuka laptop itu.
Tak ada sesuatu yang disembunyikan di laptop itu, hanya berisi tugas-tugas sekolah, photo dan beberapa game. Namun, ketika sedang asyik-asyiknya ‘menggeledah’ isi laptop Mitha, Dian menyadari ada sebuah folder yang sangat mengganggu. Folder berisikan gambar-gambar Mitha yang menurutnya kurang sesuai dengan gambaran anak berusia 15 tahun.
Folder itu berisikan photo-photo dari catatan sex Mitha semenjak dia berkenalan dengan Udin. Mitha sepertinya sengaja mendokumentasikan segala macam coretan tangannya dengan cara memphotonya dan menyimpannya di dalam laptop.
Corat-coretan vulgar yang menggambarkan kapan Udin mencium Mitha.
Corat-coretan vulgar yang menggambarkan gimana rasanya putting ketika dijilat.
Corat-coretan vulgar yang menggambarkan apa rasa pejuh ketika masuk mulut.
Corat-coretan vulgar yang menggambarkan sketsa kelamin pria yang sama sekali tak proporsional dengan postur tubuhnya dengan tulisan “Kontol Bang Udin Tersayang” dan gambar kecupan bibir di sekujur gambarnya.
Dan yang paling parah, Mitha memiliki beberapa photo penis Udin kampung itu. Mulai dari kondisi lemas, setengah ereksi, ereksi sempurna, blowjob, hingga photo penis yang sudah memuncratkan pejuhnya di mulut Mitha.
“Ya ampun… sudah sejauh inikah hubungan mereka?”
Tak tahan dengan pikiran yang mendadak menghantui, Dian segera mematikan laptop putrinya dan duduk di tempat tidur. Dengan nafas yang masih menderu-deru, Dian mencoba menenangkan diri.
Satu hal yang dipikirkan Dian semenjak ia melihat photo-photo catatan Mitha.
“Udin harus sesegera mungkin dijauhkan dari kehidupan Mitha… ya.. itulah satu-satunya cara untuk membuat Mitha kembali nurut seperti dulu lagi” batin Dian sembari menenggak seluruh jus orange sisa makan malam itu hingga tak tersisa.
Mendadak, kepala Dian pusing. pandangan matanya kabur, dan kelopak matanya menjadi sangat berat.
Bersambung…