Author: admin

  • Anak Baik Baik

    Anak Baik Baik

    Cerita Sex Anak Baik Baik – Perkenalkan Namaku Reggie, biasa dpanggilnya Egi. Dulu aku ini anak baik-baik. Paling bandel cuma nonton bokep. Pacaran ga berani ga ada nyali. Main game kesukaanku. Tapi hobiku sebenarnya adalah belajar. Aneh ga? Itulah yang sebenarnya. Sampai pada kisah ini, pada waktu aku telah lulus SMA waktu umur 17 tahun.

    Kisah ini bermula ketika aku hendak daftar ulang kuliah di Universitas M kota besar B. Karena aku masih belum berpengalaman pergi-pergi sendirian dan karena Mamah Papahku sibuk, mereka meminta Pamanku yang mengantar aku. Pas nya lagi, ternyata Pamanku memang sedang berada disana di kota B, sedang bertugas untuk LSM besar tempat dia bernaung.

    Karena berbagai hal, sesampainya aku di kota B hari sudah gelap. Aku menelpon Pamanku untuk meminta jemputan di terminal. Rencananya aku menginap di kosan Pamanku saja, besok baru mendaftar ulangnya.

    Cerita Sex Anak Baik Baik
    Cerita Sex Anak Baik Baik

    Ngocoks Kami bertemu di sebuah warung di terminal, rupanya ia sudah semenjak sore menunggu disitu. Ia tidak sendirian pula. Ada gadis yang menarik mata pria disebelahnya. Pamanku mengenalkanku padanya.

    Tangan lentik gadis cantik itu mengulur padaku.

    “Reggie..”, kataku kaku.

    Perempuan berkulit putih dengan rambut hitam lurus sebahu itu tersenyum ramah, ia tidak menyebutkan namanya.

    “Ini temen Mamang Gi..’, kata Pamanku. “Esih namanya.. Tante Esih lah kalo kamu manggilnya”

    “Ih.. masa Tante.. emang aku udah tua..”, ia tersenyum. “Panggilnya Teteh aja..’, sambungnya lagi.

    Aku mengangguk mengiyakan saja. Dalam hati aku masih bingung, siapakah dia ini?. Apa Pamanku punya istri lagi? menjijikan… bi Nur istri Paman Cahya yang sah kemana.. pikirku.

    Tapi tak mau kupikirkan lagi. Ditawari makan aku langsung memesan soto. Bodo amat ah, aku tak mau campuri urusan, kataku dalam hati sambil makan.

    Setelah aku makan, pamanku berbisik padaku.

    “Mana ada ga titipan si Bapak buat Mamang?”

    Aku termenung dulu, mengingat ingat.

    “Oh iya.. lupa Egi..”

    Aku mengeluarkan amplop dari tasku. Pamanku merebut begitu saja. Dibukanya isinya, ia menghitung. Lalu setengah diberikannya pada Esih.

    “Yeuh.. eta jeung ongkosna sakalian nya?” (Nih.. itu sama ongkosnya ya sekalian?)

    Teteh Esih tersenyum mengangguk.

    “Nuhun.. (makasih)”, jawabnya.

    Aku melihat setidaknya 500 ribu dipegang perempuan itu lalu masuk kedalam saku celana jeannya, sementara sisanya 500 ribu masuk ke kantung saku seragam LSM milik pamanku.

    “Hayu Gi.. kita cao…”, sahut Pamanku bersemangat.

    Didalam mobil sedan butut tahun jebot milik pamanku mereka mengobrol seru didepan. Aku menghabiskan waktu dengan melihat-lihat sekitar, mencoba mengingat-ingat jalan yang kami lalui. Biar hafal nanti kalau kesini sendirian.

    “Oh.. jadi ini teh anak dokter Linda..’, teteh Esih menoleh padaku.

    ‘Iyaah..”, jawab pamanku.

    Aku mengangguk ramah.

    “Kunaon memangnaa..(kenapa emangnya)?”, tanya mang Cahya.

    “Gapapa.. hihi kasep..(ganteng).. hahahaha..”, teh Esih tertawa sambil menutup mulutnya.

    “Mirip Mamangnya ya?”

    “Ih.. ini mah mirip Mamahnya atuh putih… si Akang mah mirip Papahnya.. item hahaha”

    “Enya da lanceuk atuh.. (iya kan memang Kakak saya).

    Mereka membicarakan Papahku yang kakaknya Mang Cahya. Papahku juga Dokter sama dengan Mamahku. Pada saat itu Papahku menjabat sebagai Kepala di RSUD di kota kami.

    “Si Mamah teh orang Tionghoa bukan A Egi?”, tanya teh Esih.

    “Iya setengah..”, jawabku, “Dari si Kakek yang Tionghoa mah, nenek asli urang sunda..”

    “Ooooh sama atuh yah sama Teteh.. Teteh juga kan Papah Teteh orang Tionghoa..”

    “Ngan (cuma) beda nasiib…” sela Pamanku.

    Hahaha.. kami semua tertawa bersama.

    “Ko Teteh bisa kenal sama Mamah sayah.. emang orang mana aslinya?”, tanyaku penasaran.

    Teteh dan Pamanku tertawa.

    “Iya sama.. orang kota S juga Egi.. tadi baru datang juga pake bis.. cuma dia mah sore, kalo kamu janjina sore, datang-datang udah Isya.. huuuh..” jawab Pamanku. Aku cengengesan, Teh Esih tertawa, kini tak lagi sambil menutup mulutnya. Ia membalik untuk melihat wajahku. Dimatanya terlihat pula senyumnya padaku.

    Dia cantik, pake kaos u can see ketat, dimasukin kedalam celana jean yang menampilkan lekuk pantat, membentuk bodi ramping, ukuran dadanya pas. Rambutnya digerai sebahu lebih dikit. pakai poni untuk tirai wajahnya. ‘Haduuuh… lumayan buat bahan coli nih..’, kataku dalam hati.

    ‘Dimana Pamanku yang begajulan bisa menemukan perempuan seperti ini’, pikirku

    Mobil memasuki pelataran sebuah cafe yang didekorasi dengan batang bambu.

    “Mau kemana kita Mang?”, tanyaku.

    “Sebentar Gi ketemu temen… cuma sebentar… kamu makan lagi atuh.. atau nyanyi-nyanyi karaoke tuh sambil nunggu, si Esih seneng tah nyanyi… kalo ke kosan dulu jauh Gi muter..”

    Aku sedang tak tertarik untuk bernyanyi, padahal aku ini vokalis band kacangan, aku lelah sebenernya pengen tidur. Tapi malas untuk protes sama mang Cahya.

    Aku memilih memisah menjauh dari meja mereka. Segera saja teman-teman pamanku berdatangan. Mereka memesan minuman beralkohol dan kacang-kacangan. Mereka mulai mengambil mic dan bernyanyi. Aku memesan kopi susu, dan mengambil hapeku mengabari orang tuaku bahwa aku sudah samapai dan bertemu mang Cahya, kubalasi pesan-pesan kawan-kawanku pada hapeku.

    Malam semakin larut, pesta di meja pamanku sudah mulai berkurang. Kini tinggal teh Esih yang sedang bernyanyi. Pamanku yang sudah setengah teler tengah berbisik-bisik dengan rekannya. Ia kelihatannya sudah lupa kalau aku sekarang ini ikut bersamanya. Teh Esih melirik ke arahku, kelihatannya kasihan dengan keadaanku yang kelihatan bosan, ia mengangkat 1 botol bir yang masih penuh bermaksud menawarkan padaku.

    Ternyata efek bir sebotol itu lumayan buatku. Aku terlelap di mejaku. Bukan tak sadarkan diri. Cuma hawa alkohol memang berhasil menambah kantukku. Pamanku membangunkanku ketika mereka semua bersiap untuk bubar. Di mobil aku lanjut tidur. Sesampai di kosanpun aku langsung menggoler tiduran lagi diatas karpet, aku memilih diatas karpet karena kulihat kasur cuma ada satu.

    Aku terbangun sesaat di gelap malam, terganggu oleh suara yang konstan berulang, aku sayup mendengar suara kain bergesek berulang-ulang suara pria yang sedang ngos-ngosan, dan suara perempuan yang sedang merintih seperti menahan sakit. Mataku mencari-cari, masih buram karena belum terbiasa dengan gelapnya ruangan.

    Setelah jelas barulah aku melihat tubuh pamanku yang telanjang tengah menindih tubuh teh Esih yang bersuara lirih. Tidak terlihat seluruh tubuh bawahnya, karena terhalang pantat paman yang aktif naik turun memompa. Mata Teh Esih terpejam, ia kelihatan berusaha menahan suaranya sepelan mungkin. Desahannya terdngar, ‘aang..

    Seumur hidupku baru dua kali memergoki orang sedang bersetubuh, kedua orangtuaku sewaktu aku kecil, sekarang pamanku dan teh Esih yang entah siapanya. Kejadiannya hampir sama, terbangun seperti ini.

    “Aw.. aw”, tiba-tiba teh Esih mengaduh. Aku buru-buru menutup mataku lagi.

    “Aduh jangan neken kesitu atuh Kang, kena tulang ih.. sakit..”.

    “Oh enya maap atuh..”

    Pompaan itu kembali terdengar. Aku mengintip lagi. Kini kulihat teh Esih tak lagi memejamkan mata, tak lagi mendesah kenikmatan, wajahnya bolak balik menatap ke arah sana sini. Ia seperti sedang melayani pamanku saja, menunggu selesai.

    Tiba-tiba pandangan matanya beradu dengan intipan mataku. Aku terkejut, sontak kututup buru-buru. Teh Esih kelihatannya masih memperhatikanku untuk memastikan

    “Kang.. eh eh Kang.. itu s Egi bangun kali..?”

    Pamanku berhenti sejenak, ia berpaling menatap ke arahku. Aku tegang, berusaha sebaiknya diluar kemampuanku berakting pura-pura tidur. ‘Mampus.. jangan sampe ketawan..’. Nafasku kuatur semirip orang yang tidur. Sampai kukeluarkan sedikit suara kerongkongan orang tidur.

    Terdengar kembali suara kain bergesekan, walau perlahan. Lagi enak kayaknya si Paman, tanggung kalau mau lepas.

    “Bukan ah.. tidur dia sih.. ngga.. ga apa-apa..”

    Pamanku melanjut ijut lagi teh Esih, lebih semangat kedngrannya sekarang. Suara plak plak kulit beradu pun terdengar.

    “Aaaach..”, teh Esih menjerit kecil. Akupun penasaran, kubuka lagi mataku.

    Pamanku menahan badannya dengan tangannya, hentakan pada tubuh bawahnya jadi lebih kencang. Plak plak.. teh Esih memejamkan kembali matanya. Kedua tangnnya ada di dada mang Cahya.

    “Sssshhh… aaah… Tong kaluar di jero.. (jangan keluar didalam)”, seru teh Esih.

    “Enyaaa.. (iyaaa) aaaaaaarghh..”, Pamanku mencabut kontolnya pas ketika spermanya muncrat di perut teh Esih.

    “aaaaaaargh.. ah hah hah hah..”

    Teh Esih memperhatikan tiap crotnya yang keluar. Tak terlalu banyak seperti yang di film bokep. Cepat ia mengambil celana pendek pamanku dan mengelapnya seketika. Sempat ia melirik ke arahku. Pandangan kami beradu lagi sekilas. Terkejut lagi aku, otomatis pula kututup matak. u.

    “Aaahh..”, pamanku terdengar menggelesoh ke sebelah teh Esih.

    Deg!. Inilah kesempatanku melihat memeknya. Sebelum ditutup yang punya. Aku membuka mataku lagi.

    ‘Wew..! Kusaksikan teh Esih menutupi tubuhnya dan memeknya yang ditumbuhi bulu hitam itu perlahan dengan selimut. Aku terpana. Selimut itu terus ditariknya sampai dada yang masih memakai u can see tadi. Kutangkap matanya menatap kepadaku, bibirnya agak mengulum senyum. Aku langsung terkena sihir, terutama si tititku yang perjaka, si titit tegang luarbiasa.

    Tapi ku tak berani apa-apa, setidaknya harus menunggu mandi pagi agar bisa kucolikan ketegangan ini.

    Pamanku langsung mengorok. Teh Esih beranjak duduk sambil berselimut rapat. Aku membalikan badanku. Akupun berusaha tidur.

    Sebelum tertidur kudengar teh Esih pergi kekamar mandi cukup lama.

    Udara dingin menerpa wajahku. Aku masih bisa bertahan, tapi kemudian suara bising mobil sedan butut dan bau knalpot membangunkanku. Setelah sepenuhnya sadar, barulah aku tahu, pamanku sudah berada dalam mobil hendak memacunya pergi. Kulihat teh Esih berdiri dekat jendela mobil berbicara dengan pamanku.

    Aku duduk kebingungan menatap teh Esih yang masuk kembali ke kamar sambil menutup pintu.

    “Apa A, hehe udah bangun?”, tanyanya duduk diatas kasur sambil menyulut sebatang rokok.

    “Itu si Mamang dipanggil ketua Kota B, disuruhnya mah kemarin setelah dari café itu. Tapi malah ketiduran dianya..”

    Ia duduk mencari-cari sesuatu. Mataku pun ikut mencari. Sama-sama kami tertumbuk pada sesuatu, celana dalam perempuan teh Esih. Ditariknya kain kecil berenda tersebut kedalam selimutnya. Ia tiduran sebentar sambil berusaha memakainya, masih didalam selimut rapat.

    “Eh maap ya A, pakai ini dulu.. hihi males mau ke kamar mandi..”

    Barulah disitu aku ingat kejadian semalam. Terbayang kembali keseruannya. Kontolku bergerak sedikt demi sedikit.

    ‘Aduh.. aku coliin dulu aja apa ya?’, pikirku dalam hati.

    “Mau ngopi A?”, tanya teh Esih.

    Ia kini setengah menelungkup menghadapku, bertumpu pada siku sambil merokok.

    “Teteh mau?”

    “Eh, malah balik nanya, Teteh bikin satu gelas untuk berdua aja ya?”

    Aku mengangguk. Ia berdiri mengikatkan selimut pada pinggangnya, diatasnya ia tetap memakai U can see, tapi tanpa beha kulihat.

    Sambil memperhatikannya menyeduh kopi, aku bertanya.

    “Teh? maaf ini.. Teteh tuh siapanya mang Cahya? Istri muda? atau masih pacarnya? atau… siapanya Teh? maaf ini mah..”

    “Ah haha.. bukan siapa2nya A’.. cuma temen.. biasa..”

    Kopipun tersuguhkan.

    “Udah lama kenalnya?’

    “Udaah.. dari kecil Teteh udah kenal sama kang Cahya..”

    “Kenal dimana?”

    “Dikampung..”

    “Ooooh teman main?”

    Si Teteh menyeruput kopi panasnya, lalu mengisap kembali rokoknya.

    “Bukan atuh Kang Cahya mah beda jauh diatas Teteh..”

    “Emang Teteh maaf umurnya berapa sekarang?”

    “euuuh… 29 yah taun ini.. bntar lagi”

    Aku membelalak. “Wow.. Teteh masih kayak baru lulus SMA.. awet muda ya?”

    “Iiiiih bisa aja si Aa mah ngegombal..’

    “Bener Teh..”

    “Ah masa?, udah tua ginih..”, ia tersenyum senang.. ia mematikan rokoknya dan kemudian berbaring, menutupi seluruh tubuhnya lagi dengan selimut.

    Aku tercenung, tidak enak mau bertanya pertanyaan krusial yang berhubungan dengan peristiwa ngentotnya mereka tadi malam.

    “Teteh mau tidur lagi?”, tanyaku kecewa.

    “Iyah.. masih ngantuk.. baru tidur sebentar, ,”

    “Yaah..”, Akupun mau tak mau kembali berbaring diatas karpet keras itu. Tapi mataku tak lepas dari gerak gerik si Teteh. Ia bulak balik posisi dalam usaha untuk tidurnya. Sampai ia menatap padaku tersenyum.

    “Aa ga dingin disitu A?”

    “Iya dingin atuh.. mana keras lagi..”, jawabku setengah merengek.

    Teh Esih berpikir sebentar.

    “Iya sinih atuh A, sebelah Teteh..”. Ditawari itu, aku seperti meloncat cepat bergerak ke sisinya.

    Teh Esih tertawa sedikit

    “Selimutnya mah ga usah ya?”

    “Walah Egi kedinginan atuh Teh, ,?”

    “Atuh masa mau berdua..?”

    “Kalo peluk boleh?”

    Teh Esih tertawa lagi.

    “Ya udah atuh nih sok selimut berdua..”

    Hatiku melompat girang.

    “Tapi dibatesin sama guling ya?”

    Ia menaruh guling diantara kami berdua. Kontolku sudah ngaceng sejak tadi. Aku sangat berharap, siapa tahu dapet seoles dua oles kalau diusahakan. Posisi dia membalik ke arah dindng sekarang. Aku mengintip kedalam selimut. Pantatnya yang ranum tertutup ketat CD putih berenda tadi. Pahanya putih mulus luarbiasa.

    “Hehe ayoo ngapain..?” Dia menutup selimutnya sehingga pandanganku terbatas. Akupun keluar dari selimut. Agak malu sih, tapi cuek ah..

    “Teh..”

    “Iya..”

    “Teteh ko mau ngewe sama si Mamang? kan Si Mamang bukan siapa-siapanya Teteh?”, akhirnya tercetus juga pertanyaan yang kutahan sejak tadi. Agak iri terdengarnya.

    Teh Esih tersenyum. Kemudian ia menatapku, terlihat memikirkan jawaban.

    “Iya gapapa sama Kang Cahya mah A.. Udah lama kenal, udah sering ngasih bantuan..”, Ia membalik sekarang menghadapku. “Tadi mah, Teteh lagi butuh, jadi weh nelp Kang Cahya.. dia mah suka ada aja ngasih A”.

    “Cuma memang terakhirnya suka ada maunya dia mah.. hehihi”, lanjutnya sambl cekikikan.

    Ia menatapku lama seakan mengagumi tiap detil wajahku.

    “Enak ya si Mamang..”, kataku iri. Teteh tersenyum genit.

    “Hahaha, iya memang enak A’ ngewe.. semua juga suka.. ahahaha”

    Ia terdiam seperti menunggu sesuatu. Kemudian balik lagi menatapku.

    “Emang kenapa gitu A?”, suaranya agak tinggi sedkit. Aku terkejut dengan perubahan nadanya, agak takut sih tapi si Otongku dibawah meminta kesempatan ini.

    “Egi juga mau atuh Teh.. Ngewe sama Teteh..”.

    Tanganku bergerak menuju paha mulusnya, mengelusnya sambil berharap.

    “Nanti juga Egi kasih bantuan kayak s Mamang, cuma yaa semampunya Egi.. kan Egi masih kuliah belum kerja, nanti kalau udah kerja..”

    Teh Esih tak menjawab, aku menatap wajahnya takut dia marah, tapi dia tersenyum.

    “Iya sok (silakan) atuh kalo Aa mau mah..”

    Ia membuka selimut memperlihatkan tubuhnya yang ramping putih menggiurkan hanya memakai u can see dan CD berenda saja. Mempersilakanku untuk menikmatinya. Jantungku bersorak berdetak kencang.

    Tapi aku hanya terpana. Perlahan tanganku mulai berani meraba susunya.

    “Uuuh sedap..” kataku dalam hati.

    Melihat pergerakanku yang tidak impresif sama sekali, tangan teh Esih bergerak meremas-remas kontolku, masih dari luar celana. Ia tertawa kecil.

    “Eh hehe, bilang dong dari tadi pengen ngewe gitu.. kirain teh anak orang kaya ganteng ga napsu sama Teteh..”

    Mataku terpejam merasakan kenikmatan dari rabaan si Teteh.

    Terus terang baru kali inilah aku dipegang-pegang cewe, ciuman saja aku belum pernah. Pacaran pernah baru dua minggu putus. Dia pindah ke kota lain. Ngocoks.com

    Ternyata lain rasanya sama pegang-pegang sendiri, diginiian aja udah enak banget.

    Bibir te Esih menciumi leherku terus naik ke kuping.

    “Bener ya A? nanti ga lupa ngasih bantuan ke Teteh..”, bisiknya sexi di kupingku.

    Aku mengangguk. Tangan te Esih naik ke perut terus ke dadaku. Menarik ke atas kaosku.

    “Buka A..”, perintahnya halus.

    Aku masih berusaha menangkap bibirnya dengan bibirku, tapi dia melengos.

    “Jangan di bibir..” desahnya.

    Aku duduk membuka kausku buru-buru, sekalian dengan celana panjangku, dan tak lupa CDku kulempar kesamping.

    Kontolku yang sudah berdiri menantang kini terbebas dari belenggunya.

    Aku duduk menghadapi hidangan tubuh yang mempesona ini.

    Tangan halus the Esih kembali hinggap mengelus dan mengocok kontolku.

    “Aaaah enak…” erangku terpesona akan kenikmatan colian si teteh Esih.

    Aku ingin sekali melihat kembali memek dengan jembut hitam miliknya itu. Maka aku berusaha membuka CD rendanya. The Esih tersnyum lagi

    “Mau cepet aja?”, tanyanya. Aku bingung dengan pertanyaan itu.

    “Mau cepet aja maksudnya langsung masukin aja mungkin begitu..?”, cetusku dalam hati.

    “Iya sok atuh..”, katanya sambil menarik kontol ku supaya aku berada diatas tubuhnya. Aku bergerak mengikuti arahannya. Kini kontolku berada diatas memeknya.

    Aku membuka kaus te Esih keatas, ingin liat susunya. Dan wooow, luar biasa indah menawan. Besarnya lebih besar dari kepalan tanganku, pentilnya imut coklat agak kemerahan. Kulumat dengan bibir dan tanganku.

    “Aaaaah.. enak A’”, bibir te Esih mendesah lirih. Pandang matanya menyipit.

    Puas dengan tete, aku memperhatikan memek the Esih. Ku elus elus dengan tanganku. Sudah ada cairan sedikit yang keluar. Pelumas kelihatannya.

    Aku menatap te Esih meminta tuntunan cara memasukan kontolku. The Esih yang sudah setengah terpejam hanya mengangkangkan pahanya saja, memperlihatkan keindahan kemaluannya. Aku bingung, kucoba saja menusuk-nusukan kontolku kearah celah yang ada disitu.

    “Angh… bukan disitu A’..”. Salah sasaran ternyata aku.

    Tangan te Esih menggapai kontolku menuntunnya ke arah kenikmatan yang benar.

    Aku dengan cepat menekan, ‘Ugh..’ masih meleset. Malah menjadi gesekan nikmat memek te Esih pada kontolku.

    “Aduh digesek disini aja udah enak..”, kataku.

    Kini kontolku sudah diarahkan lagi. aku menekan lagi. Hampir terkuak itu bibir kemaluannya oleh kontolku, tapi ko malah melenting ke atas lagi kontolku.

    “Belum terlalu basah sih A.. bentar..”.

    Te Esih mengambil ludah mliknya dan dioleskan pada memeknya, kemudian dia meludah ke tangannya lagi, kini agak banyak. Dia balurkan ke kontolku, sambil dia kocok-kocok cepat, agar tersebar rata mungkin pelumasnya.

    Tapi..

    Kocokan itu malah membuat kontolku berdenyut-denyut keenakan. Gilee.. enak bener.. dan terjadilah hal yang aku sesali.. si Otong tidak mampu bertahan, staminanya anjlok, dia muntah sperma..

    Crot.. crot.. crot banyak banget ke atas perut dan tangan si Teteh.

    “Aaaaaaaauuuuhh…”, lenguhku nikmat tapi juga aku sesali.

    “Yaaaah Teh.. maaaaf..?”, kataku lemas.

    Si Teteh malah tertawa, sekali lagi seperti tadi ia mengambil celana pendek s Mamang, mengelap dengan cekatan.

    “Yaaaah si Aa kasiaaaaan… hahaha”. Katanya.

    Aku berbaring di samping si Teteh. Masih memperhatikan memeknya yang kurindu. Tapi apa lacur, s Otong masih belum mau bangkit lagi.

    Teh Esih berdiri berjalan ke kamar mandi sambil membetulkan kausnya.

    “Eh kemana Teh..? belum.. The”, tegurku putus asa.

    “Iya Aa tenang aja.. haha, ini mau bersih-bersih aja..”.

    Bersambung…

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
  • Sudah Nikah Masih Jajan

    Sudah Nikah Masih Jajan

    Cerita Sex Sudah Nikah Masih Jajan – Tia memberikan HP-nya kepada kakak iparnya untuk memperlihatkan foto-foto yang diambilnya dari HP suaminya, Bram. Citra, kakak ipar Tia, menyandarkan punggung ke kursi salon yang didudukinya sambil membuka satu per satu foto-foto itu. Di cermin terlihat pantulan muka Tia yang cemberut.

    “Oo,” gumam Citra tanpa ekspresi, “Beginian. Dasar Bram. Penyakit lama, nih”.

    Tia agak kesal melihat kakak iparnya—merangkap pemilik salon tempat mereka berdua ngobrol—‘biasa saja’ melihat foto-foto perempuan lain yang membikin Tia dan Bram bertengkar dua hari lalu. Waktu itu Tia makin marah ketika Bram mengakui bahwa perempuan-perempuan itu PSK.

    “Penyakit lama, Kak Citra? Apa dari dulu Mas Bram memang suka jajan?” “Emmm…” gumam Citra sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang ada di meja, “Iya sih. Lho kamu kok malah baru tahu. Gimana. Kamu kan istrinya.”

    Cerita Sex Sudah Nikah Masih Jajan
    Cerita Sex Sudah Nikah Masih Jajan

    Ngocoks Tia malu sendiri. Tapi dia memang tidak bisa disalahkan, karena pernikahannya dengan Bram baru berjalan setahun, dan sebelumnya mereka berdua tidak pernah pacaran.

    Keduanya memang dijodohkan oleh orangtua masing-masing yang rekanan bisnis, dan sekarang mereka sama-sama disiapkan jadi penerus usaha keluarga besar mereka.Tia dan Bram sudah kenal sejak kecil, tapi mereka baru mulai saling mengakrabkan diri setelah menikah.

    Satu yang Tia tahu, keluarga Bram memang longgar dalam mendidik anak-anaknya. Jadi seharusnya dia tidak heran kalau Bram ketahuan punya kebiasaan buruk seperti itu. Sama saja dengan kakak Bram, Citra.

    Citra yang sekarang berumur 30-an tadinya malah disiapkan untuk dijodohkan dengan seorang saudara Tia, tapi karena terbiasa bergaul sangat bebas, Citra dihamili temannya waktu kuliah dan terpaksa dinikahkan dan selanjutnya diusir karena bikin malu keluarganya.

    “Terus gimana nih?” Citra bicara sambil menjepit rokok yang baru dinyalakan dengan bibirnya yang tersaput lipstik merah jambu tebal. “Kamu udah dua hari nggak ngomong sama Bram. Apa mau terus-terusan? Ah, tapi kamu kan anak baik. Pasti kamu mikirin keluarga besar kita. Gak enak sama mereka kalau sampai… cerai.”

    “Nggak!” jerit Tia. “Bram emang salah sih, tapi Kak, aku nggak niat cerai sama dia. Aku udah mulai belajar sayang dia Kak. Dan aku juga baru tahu kebiasaan dia yang ini. Makanya aku datang minta saran Kak Citra, gimana baiknya aku hadapi masalah ini. Kak Citra kan lebih kenal Bram,” suara Tia mengecil karena malu, “…lagian aku nggak mau nyusahin orangtua kita semua.”

    Baik banget ini anak, pikir Citra. Cuma saat itu juga Citra merasa dapat satu lagi alasan yang bisa dia kasih kalau ada orang tanya pendapat dia tentang menikah tanpa pacaran. Tia, yang tidak pernah pacaran dengan Bram, kaget waktu kebiasaan buruk Bram ketahuan sekarang.

    Kalau Tia pacaran dulu sama Bram, pastinya mereka bisa lebih saling ngerti, atau bisa putus tanpa repot kalau memang Tia nggak suka. Citra mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menyemburkan asap dari mulut.

    Tia menghindar sambil mengipas-ngipas di depan muka. Kakak iparnya itu sudah merokok sejak SMA, dan kadang-kadang Tia mengira Citra selalu bermake-up tebal (seperti saat mereka ngobrol sekarang) untuk menutupi penuaan dini di mukanya yang sudah belasan tahun kena asap rokok.

    Citra memang tidak pernah tampil tanpa riasan lengkap, rambut tertata, dan pakaian mencolok; tidak hanya sejak dia membuka salon, tapi sejak dia remaja. Tia melihat Citra seperti berpikir sambil merokok, lalu membetulkan tali sackdressnya yang melorot dari bahu.

    Sackdress hitam agak transparan itu gagal membuat bra merah yang ada di bawahnya tidak kelihatan. Citra lalu menaruh rokoknya di asbak, tersenyum, berdiri, lalu mendekati Tia.

    “Kalau menurutku sih begini saja…”

    ……. ….. … .. .  .   .

    “KOK GITU SIH CARANYA???” Tia tidak bisa menahan volume suaranya setelah mendengar saran Citra sampai habis. Yang memberi saran dengan santainya mengambil lagi rokok yang tadi ditinggal lalu meneruskan menyedot batang rokok.

    “Terserah kamu sih. Saranku ya gitu. Kalau mengingat sifatnya Bram sih kupikir cara itu mempan. Kalau kamu mau coba tanya orang lain, silakan.”

    “…” Tia diam saja.

    “Kalau kamu mau, aku siap bantu. Gratis,” kata Citra, sambil nyengir. “Bukan cuma sekali, tapi seterusnya juga boleh. Hitung-hitung balas budi sama kalian yang udah bantu aku selama ini.”

    “…Sebentar. Aku pikir-pikir dulu,” bisik Tia, menimbang-nimbang.

    Ternyata dia perlu waktu lama sekali buat menimbang-nimbang. Berkali-kali dilihatnya lagi foto-foto yang diambilnya dari HP Bram.

    “Mas, aku mau bicara sama kamu nanti malam.” SMS itu Tia kirim ke HP Bram.

    Bram, yang sudah uring-uringan sejak bertengkar dengan Tia setelah ‘foto-foto kenangan’nya ketahuan, menarik nafas lega di kantor.

    Menjelang sore.

    Sesudah memastikan jalanan di luar kosong, Tia langsung keluar dari salon Citra dan secepatnya menuju rumah besar di sebelahnya. Rumah itu rumah Bram dan Tia; Citra tinggal dan buka usaha di sebelah rumah mereka berdua.

    Sewaktu mau membuka pagar rumahnya sendiri, Tia kalang-kabut ketika melihat mobil Mercedes-Benz hitam muncul di ujung jalan. Tapi dia sempat masuk ke rumah sebelum Mercy itu lewat. Mercy itu tidak berhenti di rumahnya, karena memang itu mobil orang lain; mobil mewah itu berhenti di depan salon Citra.

    Dari balik pintu supirnya keluar seorang laki-laki, yang lantas mengunci Mercy itu, lalu masuklah dia ke salon Citra. Semua itu tidak sempat diperhatikan Tia. Tia sendiri sudah cukup lega karena tidak kepergok siapapun dalam perjalanan yang cuma beberapa meter saja dari tempat kakak iparnya.

    “Aku pulang kira-kira sejam lagi.” SMS dari Bram masuk ke HP Tia.

    Tia duduk sendirian di dalam kamar di depan cermin. Normalnya dia bakal melihat rona mukanya sendiri berubah merah karena perasaannya yang campur aduk, tapi kali ini agak susah bagi dia. Rumah itu baru terisi mereka berdua, Bram dan Tia, yang menikah tahun lalu. Belum ada anak.

    Selama ini kehidupan mereka lancar-lancar saja. Tia ‘si anak baik’ menerima saja ketika orangtuanya dan orangtua Bram memutuskan perjodohan mereka. Bram juga bukan suami brengsek. Setidaknya sampai belangnya ketahuan beberapa hari lalu. Hanya saja Tia sering merasa Bram seperti bosan dengan dirinya.

    Tia masih muda. Bram lebih tua sedikit. Setelah lulus kuliah keduanya dijodohkan dan tak lama sesudahnya menikah. Karier mereka berdua terjamin karena mereka berdua akan meneruskan usaha yang dirintis orangtua-orangtua mereka, dan mereka sama-sama sedang bekerja di sana, hanya di bagian yang berbeda.

    Tia punya banyak waktu luang dan bisa bekerja di rumah, sedangkan Bram banyak bepergian keliling kota dan kadang-kadang ke daerah. Sebenarnya Bram tidak bisa dibilang rugi dijodohkan dengan Tia, yang berwajah lumayan menarik.

    Citra, yang sudah kenal duluan dengan Tia sebelum Tia mengenal Bram, pernah bilang dia iri dengan tubuh Tia yang lebih sintal daripada tubuhnya sendiri.

    Tapi kalau keduanya berjejer, orang bakal lebih banyak yang menengok ke arah Citra daripada Tia, karena Citra selalu tampil ‘meriah’ dengan dandanan cenderung menor dan pakaian seksi, sementara Tia selalu terlihat polos dan biasa berpakaian konservatif.

    Tia masih tidak percaya kenapa akhirnya dia setuju mencoba saran Citra. Tapi, pikirnya, dicoba sajalah… tidak ada salahnya.

    ***

    Bram menyetir pulang membawa oleh-oleh kue coklat untuk istrinya yang dia kira masih ngambek, tapi sudah beritikad baik mengajak berdamai. Dia sadar, dia sendiri salah. Sudah nikah kok masih doyan jajan.

    Tapi, yah, kebiasaan lama susah luntur. Dan ada hal-hal yang dia kira tidak bakal dia dapat dari Tia. Bunyi SMS datang di antara bunyi radio mobil.

    Pesan dari seorang perempuan yang fotonya sampai tadi pagi ada di HP Bram. Sekarang semua foto itu sudah hilang dari HP Bram (tapi pindah ke tempat-tempat lain, tentu saja). Dan Bram tidak menanggapi ajakan dalam SMS itu.

    “Jangan dulu deh”, pikir Bram.

    ***

    Tia mendengar bunyi mobil Bram dan sesudahnya bunyi pintu rumah dibuka. Dia menenangkan diri, mengulang lagi semua yang mau dia lakukan (atas saran Citra), dan bersiap-siap. Tangannya dingin.

    Berjam-jam sudah dia habiskan untuk persiapan dengan dibantu Citra tadi. Dalam hati dia berusaha membenarkan pilihannya dengan mengatakan, mungkin ini memang perlu, demi kami berdua, dan demi keluarga.

    Tapi dalam hatinya berkali-kali terselip rasa penasaran. Dia ingin tahu, bagaimana jadinya nanti. Bagaimana kira-kira reaksi Bram. Bagaimana kira-kira reaksi dia sendiri.

    “Sudah waktunya.” pikirnya

    ***

    Bram melongo di pintu, memelototi Tia yang berdiri di depannya. Malam itu, Tia berubah. Tia yang sederhana dan terkesan baik-baik sedang tidak hadir. Sebagai gantinya…Tia tampil beda.

    Dia memakai gaun mini ketat berbahan satin berwarna hitam yang panjangnya tidak sampai menutupi setengah pahanya, sehingga memperlihatkan stocking jala hitam yang membungkus kedua kakinya sampai berujung ke sepasang stiletto hak tinggi.

    Di atas pinggang, gaun mini itu mendesak sepasang payudara Tia sampai nyaris tumpah ke luar, sementara pundaknya terbuka. Kebetulan warna kulit Tia coklat muda. Bukan putih atau kuning atau sawo matang, tapi warna di antaranya.

    Itu juga yang membuat lapisan bedak yang membuat mukanya lebih putih terkesan lebih kentara, karena kontras antara warna muka dan badan. Ketika Tia berkedip, tampak rona biru muda di kelopak matanya, di bawah alis yang dibentuk dan dipertegas.

    Kedipannya juga menunjukkan bulu mata palsu yang menempel di kedua mata. Pipinya bersemu merah, tapi karena polesan.

    “Kok bengong aja, Mas? Kamu suka yang kayak gini, kan?”

    Kata-kata itu meluncur dengan nada menantang dari sepasang bibir Tia yang kali ini tidak telanjang. Biasanya Tia paling-paling hanya memakai lip gloss, namun malam itu mata Bram tidak bisa lepas dari bibir Tia yang tampak lebih penuh dan sensual. Merah, mengilap, menantang. Seperti itulah saran Citra untuk Tia.

    “If you can’t beat ‘em, join ‘em.” Citra kenal benar dengan Bram. Adiknya itu tidak bisa dibilang ganteng, malah tampangnya terhitung pas-pasan. Maka itu sejak dulu Bram selalu kurang mujur dalam percintaan; biarpun dia anak pengusaha, tetap saja jarang ada cewek yang mau dengannya.

    Jadi dia terbiasa lewat jalan pintas dengan jajan. Dan seleranya jadi terbentuk ke arah penampilan ‘khas’ cewek-cewek penjaja cinta: dandanan seksi tapi terkesan murahan. Perempuan-perempuan macam itulah yang fotonya Tia temukan di HP Bram.

    “Tia… kamu… ini maksudnya…?”

    Melihat Bram bengong saja, Tia mengingat-ingat lagi apa kata Citra mengenai bagaimana dia harus bersikap. Jadi dia segera maju mendekati Bram dan menarik dasi Bram. Bram melihat istrinya menatap tajam matanya, sambil mencium bau parfum yang lumayan keras.

    “Kenapa? Gak seneng kalo aku kayak gini?”

    Bram kewalahan, takut salah ngomong di depan istrinya yang entah kesambet apa sampai mendadak makeover jadi seperti WP langganannya. Dia cuma bisa menjawab pelan-pelan.

    “Bukan… bukan gitu… tapi kamu… Aku… nggak…”

    Tia tambah sewot. Maksudnya apa itu? Apa dia malah gak suka aku jadi seperti ini? Melihat muka Bram yang tambah panik, Tia memberanikan diri untuk agresif. Dipepetnya Bram ke tembok, sambil masih memegang pangkal dasi Bram—seperti siap mau mencekik.

    Bram lebih besar dari Tia, tapi saat itu seperti tidak punya kekuatan untuk melawan Tia. Sementara tangan kanannya siap membuat Bram susah bernafas, tangan kiri Tia mencari-cari bagian tubuh Bram yang paling jujur.

    Tuh, kan… pikir Tia. Dia merasakan kemaluan Bram mengeras di balik celana.

    Tia meremas pelir Bram. “Masih mau bohong?” katanya sengit. “Aku udah tahu. Kamu paling suka ngelihat cewek dandan sampe kelihatan murahan kayak gini kan? Itu kan alasannya kamu masih terus aja jajan di luar biarpun kamu udah punya aku kan?”

    Bram mau menjawab, sekaligus merasa agak nyeri di bijinya yang ada di cengkeraman Tia. Tia sudah kelihatan marah sekarang. Tapi Bram tidak bisa menyangkal bahwa dia terangsang melihat Tia berani tampil seperti itu. Cuma dia tidak berani bilang.

    “Gak usah nyangkal,” desis Tia. “Aku udah tahu seperti apa kamu sebenarnya, Mas. Tapi aku gak senang kalau kamu gak terus terang aja. Aku kan istri Mas Bram? Apa susahnya sih ngasih tau aku apa yang kamu suka?”

    “Habisnya…” Bram meringis. “…ya, kupikir dibilangin juga kamu ga bakal mau…”

    “Jadi kamu ga nanya dulu, nyangka aku ga mau, makanya kamu milih ngentot sama lonte? Gitu? Apa ga pernah kepikiran kalau aku bisa aja mau ngikutin kemauan Mas?” Ngocoks.com

    Bram menunduk, tidak berani bicara. Pada saat yang sama, dia tambah terangsang mendengar Tia berani ngomong jorok seperti itu. Tambah sempit saja celananya terasa. Tia juga merasakan itu.

    “Tuh, yang di bawah situ udah ngaku,” sindir Tia. “Bilang aja kalo suka, Mas. Jujur aja.”

    “Eh… i… iya… kamu… em… cantik?” Bram merasa salah ngomong, tapi tidak tahu yang benarnya seperti apa.

    “Cih. Kaya’ gini yang dianggap cantik? Seleramu payah amat, Mas,” maki Tia, walaupun dalam hati kecilnya dia senang juga dipuji seperti itu. “Tapi daripada kamu gak mau berhenti jajan…”

    Sudah waktunya, pikir Tia. Lanjut…

    “…mending kukasih aja.”

    Didorongnya Bram ke sofa ruang depan sampai Bram terduduk. Dengan tidak sabaran Tia langsung naik ke pangkuan Bram dan memaksa mencium bibir Bram. Bram awalnya kelabakan, tapi langsung menyerah pada desakan Tia. Hampir 10 menit bibir mereka bertempur, lidah mereka saling serang.

    Buat Tia sendiri, perlu kekuatan tekad sangat besar untuk bisa berpenampilan dan bersikap seperti saat itu. Seumur hidup belum pernah dia seagresif itu, jadi dia deg-degan sendiri waktu akhirnya berani bicara keras di muka Bram.

    Tapi itu baru permulaan. Dia sudah berniat mau habis-habisan malam itu, dan meyakinkan Bram untuk seterusnya bahwa dia tidak mau lagi Bram main-main di luar. Artinya, dia sendiri harus melakukan semuanya supaya Bram tidak lagi punya alasan.

    Bersambung…

    1 2 3 4 5 6 7 8
  • Kasih Sayang Ibu

    Kasih Sayang Ibu

    Cerita Sex Kasih Sayang Ibu – Anak tiriku Devan baru saja selesai di-diagnosa atas ketidak-seimbangan hormonal yang dialami tubuhnya yang menyebabkan badan anak kecil itu selalu merasa nyeri yang teramat sangat. Ini dikarenakan dengan adanya ketidak-seimbangan hormonal itu menyebabkan penisnya selalu ereksi setiap saat.

    Devan sendiri merasa malu untuk memberitahu kepada orang-orang bahkan juga padaku, ayah tirinya, perihal ketidak-nyamanan yang dialaminya. Padahal aku sayang dan mencintainya layaknya anak kandungku sendiri.

    Sebenarnya kami (aku dan Devan) cukup akrab sehari-harinya, tapi… tidak untuk kasus yang sedang dialaminya! Devan adalah seorang anak yang baik, cerdas tapi… sangat pemalu.

    Karena rasa sakitnya itulah, akhirnya Glena, ibu kandungnya Devan membawanya untuk diperiksa oleh seorang dokter spesialis anak-anak. Saat giliran periksanya tiba, sang dokter spesialis anak itu memandang wajah Devan sekilas lalu menoleh ke Glena dengan mengangkat sedikit keatas bahunya, mempersilahkan Glena duduk menunggu di bangku terdekat.

    Cerita Sex Kasih Sayang Ibu
    Cerita Sex Kasih Sayang Ibu

    Ngocoks Dokter itu memberi resep obat, katanya bahwa obat itu akan sedikit mengurangi rasa sakitnya yang disebabkan kasus penyakit yang dialami Devan itu.

    Dokter itu juga memberitahu Glena bahwasanya obat itu sedikit bahkan mungkin tidak ada pengaruhnya samasekali terhadap ereksinya penis Devan. Dijelaskan selanjutnya oleh dokter itu bahwa penis besar milik Devan yang selalu ereksi itu menunjukkan gejala awal dari suatu suatu penyakit (symptom of the disorder).

    Glena mendengarkan dengan seksama penjelasan dokter itu, tapi tidak cukup jeli mengartikan besarnya penis yang dimaksudkan dokter itu. Pikirnya sederhana saja yaitu pastilah penis seseorang akan menjadi besar saat mengalami ereksi.

    Keesokan harinya, Glena melihat kondisi Devan, sesuai dengan apa yang sudah di-prediksi dokter spesialis anak kemarin, memang obat itu tidak ada efeknya samasekali atas ketidak-nyamanan yang dialami Devan.

    Kami (aku dan isteriku Glena) sepakat memeriksakan kondisi tubuh Devan kembali, kali ini pada seorang dokter praktek umum yang lokasi-nya agak dekat dari rumah kami.

    Ditempat dokter praktek umum itu, sang dokter malahan mengusulkan solusi yang katanya sederhana saja untuk mengatasi ketidak-nyamanan yang dialami Devan. Katanya dengan nada yakin tapi santai, kalau penis Devan mengalami ereksi, ajarkan saja Devan cara untuk… ber-masturbasi! Kata dokter itu selanjutnya, “Beres sudah…!

    Glena mendengarkan saran dokter itu, pikirnya, ‘Benar juga ya tapi… siapa yang akan menerangkan pada Devan cara masturbasi yang benar?’.

    Sesampainya dirumah, Glena mengajakku berbicara empat mata.

    Glena berkata padaku dengan ragu bahwa dia bingung menerangkan cara masturbasi pada Devan, anaknya itu dan memintaku agar aku saja yang mengajarkan Devan cara ber-masturbasi yang benar.

    Aku yang mendengarkan usulan isteriku menjadi terperanjat, aku menampik dengan halus dan menerangkan padanya bahwa sebenarnya Devan lebih dekat padanya ketimbang padaku apalagi dalam urusan yang sifatnya sangat pribadi, bukankah kami relatif belum lama menikah?

    ***

    Suatu malam, tatkala Devan telah berada didalam kamar tidurnya.

    Glena datang mendekati pintu kamar tidur Devan dan mengetuk pelan pintu itu.

    (Tok-tok-tok)

    Aku, ayah tirinya menjadi tertarik tanpa sebab, dengan mengendap-endap aku menguping pembicaraan antara ibu dan anaknya itu.

    Glena berbicara lembut tapi agak gugup seperti apa kudengar saat itu. Dia melakukan juga dengan berat hati, apa yang disarankan oleh dokter praktek umum beberapa hari sebelumnya.

    Dia bertanya dengan lembut perihal ‘problem’ anaknya itu.

    Yang dijawab dengan kesal oleh Devan, “Iya… mam. Ini sekarang mulai terasa lagi ‘sakit’-nya…! Aku sudah tidak suka meminum obat itu lagi… membuat perutku menjadi… sangat mual!”

    Glena menjadi iba hatinya melihat kondisi anaknya lalu menceritakan apa yang diusulkan oleh dokter praktek umum mengenai masturbasi. “Apa kau tahu nak… apa arti masturbasi itu?,” kata Glena dengan lembut dan berhati-hati.

    “Apa pula itu… mam? Artinya… apa itu, mam?”, Devan menanggapi pertanyaan ibunya dengan was-was.

    Glena menjawab dengan lembut, “Uuuh… mmmh… sebenarnya mama sudah meminta papamu… baiklah begini… masturbasi adalah kata lain yang artinya upaya merangsang penismu sendiri dengan tanganmu… yaitu menggenggamkan tanganmu pada… eeehm… maksud mama adalah menggenggam batang penismu yang sudah keras itu…

    Kudengar Glena berusaha keras untuk menyelesaikan kata-katanya.

    Tampak wajah Devan malah tambah bingung jadinya, dengan sabar dia menunggu penjelasan ibunya selanjutnya. Baginya yang terpenting dia terbebas dari ‘siksaan’ yang dialaminya, pikirnya adalah tidak terlalu penting dia harus begini atau begitu…

    Glena meneruskan kalimatnya, “Semakin… cepat kocokan pada penismu sampai kau merasakankan… pada penismu… oh salah… maksud mama… sampai kau merasakan pikiranmu nyaman… maksud mama… enak sekali… dan kemudian penismu ber-eyakulasi… aaah… ya begitulah… Glena merasa lega telah menuntaskan kalimatnya yang sempat terputus tadi.

    Devan hanya bengong saja kelihatannya, berusaha mencernakan apa yang dikatakan ibunya barusan.

    Glena malah jadi khawatir melihat mimik wajah anaknya itu. baru saja dia ingin menjelaskan lagi secara perlahan, tiba-tiba datang satu pertanyaan dari Devan.

    “Ejakulasi… itu artinya apa ya mam? Kok susah-susah sekali ya… istilahnya…”, tanya Devan dengan muka lugu. Glena menjadi lega dengan pertanyaan Devan, berarti Devan bisa menanggapi kalimat yang diucap Glena tadi.

    Devan memang anak yang cerdas… dengan lancar Glena menjelaskannya, “Ejakulasi adalah keluarnya… sejenis cairan yang berwarna putih pekat seperti shampo atau lotion… dari ujung penismu, mama pastikan penismu akan mengecil lagi dan kemudian kamu akan dapat beristirahat tidur dengan tenang memulihkan energi-mu kembali.

    tapi… jangan lupa membersihkan cairan itu dengan handuk kecil… nanti mama sediakan dan menaruhnya didekatmu…”.

    Devan menjawabnya segera, “Aku akan mencobanya sekarang…!”

    Sementara itu aku buru-buru kembali kekamar dan berbaring diatas tempat tidur, tentu saja dengan memegang buku bacaanku.

    Tak lama Glena masuk kekamar kami, dengan panik dia berkata padaku, “Uuuh… OMG…! Aku telah melakukannya…! Mengajarkan cara bermasturbasi… pada anakku sendiri… oooh… ibu macam apa aku ini!” Glena melemparkan tubuhnya berbaring disampingku sembari tersedu.

    Kataku, “Sudahlah, bukankah itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai orangtuanya? Daripada kita melihat anak kita tersiksa sepanjang hari…”.

    Glena menjawab lemah sembari menguap, “Hooo… aaahem… benar juga katamu… Devan anak yang cerdas tentu dia bisa melakukannya dengan benar… hooo… aaahem…”.

    (Zzz…) (zzz…)

    Glena sudah tertidur pulas. Rupanya perbincangannya dengan anaknya, Devan itu menguras cukup banyak energinya…

    ***

    Pada keesokan harinya sebelum Devan beranjak untuk tidur, dia berterus-terang pada ibunya. Katanya dia sudah berusaha untuk ber-masturbasi tapi tidak berlangsung dengan baik.

    Segala upaya dia mencoba tapi tidak ada setetes pun cairan yang keluar dari dari ujung penisnya, seperti yang diterangkan ibunya kemarin malamnya.

    Glena menemuiku dan memberitahukan padaku apa yang telah terjadi pada Devan, anak kami itu.

    Kataku pada Glena, “Jujur saja sayang… aku tidak tahu apa yang aku dapat katakan padamu sekarang… barangkali kamu dapat menjelaskannya sekali lagi padanya atau… memberikannya sebotol baby-oil… mungkin?”

    Glena rupanya menyetujui saranku, bergegas dia kekamar mandi untuk mengambil sebotol baby-oil yang kumaksud. Lalu segera menuju kamar Devan seperti apa yang dilakukannya pada kemarin malamnya.

    Sedangkan aku seperti halnya dengan kemarin malam, sudah bercokol didekat pintu kamar Devan untuk ‘memantau’ keadaan.

    Kudengar Glena berkata pada Devan, “Ini… nak, pakailah sedikit minyak ini. Balurkan pada kedua belah telapak tanganmu sebelum kamu masturbasi malam ini…”.

    Devan menjawab sambil lalu acuh tak acuh, rupanya dia tidak tertarik sama sekali, “Aku rasa itu tidak akan banyak membantu, mam”. Hening sejenak, tiba-tiba terdengar lagi suara Devan, “Mam… bisakah mama… memperlihatkan pada Devan… bagaimana… caranya…?”

    Terdiam sejenak, Glena menarik napas panjang, lalu berkata, “Mama rasa… OK… bisa”.

    Segera dengan nekat dan menahan malu Devan menarik selimut yang menutupi tubuhnya sehingga Glena dapat melihat bahwa anaknya itu hanya memakai celana dalam saja… Ereksi yang sudah berlangsung lama sedari tadi dari penis Devan membentuk kerucut bagaikan kemah kecil saja layaknya.

    Terkesiap Glena melihat itu dengan takjub, jadi teringat dia akan kata-kata dokter spesialis anak padanya beberapa hari yang lalu, rupanya ini yang dimaksudkan dokter spesialis anak itu dengan perkataannya ‘penis besar milik Devan yang selalu ereksi’.

    ‘Bodohnya aku… tidak serius menyimak perkataannya… aku salah menafsirkan perkataannya…!’, maki Glena pada dirinya sendiri sembari tetap memperhatikan Devan, anaknya itu.

    Devan sudah melepas CD-nya… Seketika Glena menutup mulutnya dengan kedua belah telapak tangannya. ‘OMG…! ’, jerit Glena dalam hatinya. Sungguh suatu hal hampir tidak bisa diterima akalnya, bagaimana mungkin bisa terjadi?! Devan yang baru berusia 10 tahun lebih 2 bulan itu memiliki penis sepanjang 25 cm!

    “Eeehem…!”, Glena membersihkan tenggorokannya dahulu. Dengan berusaha keras untuk tetap tenang, Glena memulai obrolan dengan anaknya, Devan. “Coba perlihatkan pada mama bagaimana… kamu melakukannya…?”

    Dengan tenang Devan menggenggamkan tangan-tangan kecilnya melingkari batang penis besar itu pada pangkalnya lalu mengocoknya perlahan. “Lihat! Itu tidak bekerja sama sekali… bukan?,” kata Devan frustrasi.

    “Barangkali kamu harus melakukan dari ujung penis dan menurun sampai pangkal… penismu, barangkali dengan sedikit lebih pelan mengocoknya… ”, kata ibunya gemetar. Glena terpesona oleh ukuran besar penis anaknya dengan… buah pelirnya serasi besarnya. Glena merasa tangannya secara refleks mendekat…

    “Tidak mam… mama yang melakukannya… untukku…”, komentar anaknya dengan skeptis. Katanya lagi pada ibunya, “Bukankah mama ingin membantuku…? Aku akan melakukan apa saja… untuk menghentikan ‘sakit’-ku ini…!”

    Glena dengan sungkan dia mengulurkan tangannya dan… menggenggam penis anaknya itu, seraya berkata, “Apa kamu… OK begini, nak…?,” tanya Glena.

    “Oh… iya mam, rasanya lebih baik dari tanganku sendiri… tangan mama begitu halus… dan hangat… dibandingkan tanganku…”, Devan seketika merasa relaks dan merebahkan kepalanya pada bantal kembali, memperhatikan tangan ibunya yang mulai mengocok penisnya perlahan.

    “Kamu tahu…”, kata Glena sembari tetap mengocok-ngocok penis anaknya. “Kamu harus membayangkan tubuh telanjang seorang cewek… itu akan membantumu cepat… ejakulasi”.

    “Aku tak tahu mam… kurasa cara ini akan… berhasil”, jawab Devan yang napasnya mulai tersengal-sengal akibat rangsangan pada penisnya, dia memejamkan matanya, agaknya dia menikmati sekali rangsangan ini.

    Glena lebih mendekat lagi dengan tubuh anaknya, dengan begitu dia dapat lebih keras dan cepat mengocok penis Devan. Ini sudah berlangsung selama 5 menitan dan tangan Glena mulai merasa pegal.

    “Nak… cobalah berusaha membayangkan tubuh seorang cewek yang telanjang… penismu sebenarnya diperuntukan untuk cewek…”, kata Glena yang napasnya ikut-ikutan megap-megap sama halnya dengan anaknya.

    “Maksud mama… apa?”, Devan menanggapi kata terakhir dari sang ibu.

    “Iiiya… nak, penismu ini oleh Yang Maha Pencipta sudah merancangnya untuk memasuki vagina seorang cewek dan… membantunya bisa… hamil dan membuat seorang anak bayi baru… ”, terlepas juga perkataan itu dari mulut Glena yang bergidik oleh ucapannya sendiri itu. Dia sungguh merasa nyaman dengan keadaan mereka berdua sekarang.

    “OK, aku akan mencobanya…”, kata Devan ragu. “Aku sebenarnya belum pernah melihatnya… tubuh seorang cewek telanjang sesungguhnya! Memang sih pernah melihat gambar cewek telanjang di majalah…,” kata Devan mengaku pada ibunya.

    Kelihatannya usahanya belum berhasil mencapai target… membuat Devan ejakulasi, tapi Glena tak akan berhenti berusaha… untuk menolong anak semata wayangnya yang tersayang…

    “Setidaknya mama masih ada satu cara… yang ampuh mama pikir…

    tapi… apakah perlu mama melakukannya…? ”, Glena menggeliatkan badannya tanpa sadar. Puting buahdadanya menonjol mendesak gaun malamnya yang tipis memang Glena kalau dirumah tidak pernah memakai BH, tak pelak lagi keberadaan bersama anaknya itu mempunyai efek padanya. Sedang tangan Glena masih tetap mengocok-ngocok penis anaknya mulai berasa sangat pegal.

    “Mam… aku tak perduli… apapun yang ingin mama perbuat… aku senang… mama mencoba membantuku…”.

    Belum juga tuntas omongan Devan… Glena menunduk dan langsung memasukkan palkon Devan kedalam mulutnya, menjilat dan mengenyot pelan palkon anaknya itu. Kelihatan sekali Glena sungguh menikmati apa yang sedang dilakukannya itu, dia gemar melakukan BJ (Blow Job)… juga padaku dalam kegiatan seks kami.

    Buah dada Glena yang sebelah kiri tanpa disadarinya telah bebas… lepas dari balutan baju malamnya, putingnya yang sudah mengeras itu menyapu lembut kulit paha kirinya Devan… Kepala Glena mulai mengayun naik-turun pas diujung palkon yang masih tegak berdiri, mulutnya hanya mampu memuat setengah dari batang penis Devan yang panjang.

    Devan semakin merasa nyaman saja, ini pengalaman yang sama sekali baru baginya, sensasi ini membuat napasnya megap-megap keenakan. “Ahhh… mam… sungguh enak sekali rasanya… please… jangan berhenti… ohhh… mama!”

    Glena melayani keinginan anaknya terus melakukan BJ pertama untuknya dan menggenggam dan mengocok pada setengah bagian batang penis yang tidak bisa masuk mulutnya.

    Makin bertambah nikmat saja dirasakan Devan, napasnya menderu kencang, pinggulnya didorongnya keatas. Glena ikut-ikutan mendesah, dirasakannya batang penis Devan yang berada didalam mulutnya berdenyut membesar… dia paham tak lama lagi, pasti… Devan eyakulasi!

    Tiba-tiba Devan menggerung kencang, “Ohhh…! Mama…!” Seketika itu juga air maninya menyemprot keluar… membanjiri mulut ibunya.

    Terteguk air mani anaknya, Glena juga sengaja menyedot dan… tetap saja kepalanya turun-naik pada batang penis Devan yang besar sementara tangannya tidak henti-hentinya mengocok. Ngocoks.com

    Sungguh satu adegan erotis apa yang kulihat lewat bukaan sedikit pintu kamar Devan, tak luput dari ‘pantauan’-ku barang sedetik pun!

    Glena menelan semua mani yang ada didalam mulutnya, orgasme yang dialami Devan mereda.

    “Mam… itu rasanya lebih baik… aneh sekali tapi… sungguh enakkk sekaliii…! Aku merasa terlena… atau… apa ituuu… aku rasa ada sesuatu yang keluar dari penisku… apa itu… cairan putih… yang mama maksud?”, celoteh Devan.

    “Ya…”, kata ibunya. “Itu peju… maksud mama itu spermamu, mama menelan semuanya… agar tidak berceceran kemana-mana mengotor tempat tidurmu…,” Glena mengangguk, getaran anggukan ketika BJ masih saja terasa olehnya. “Kamu merasa nyaman sekarang?,” tanya Glena pada anaknya.

    “Ya”, jawab Devan sambil melihat kearah bawah, dilihatnya penisnya sudah agak melunak tinggal setengah ereksi. “Kupikir…

    ya kupikir sekarang… kurasa lebih baik… terima kasih mam”.

    Glena berdiri, membenahi gaun malam yang tadi terbuka, berusaha menenangkan dirinya sesaat dan akan keluar dari kamar Devan.

    Aku bergegas kembali kekamar, seperti biasa… berbaring sambil memegang buku bacaan.

    Glena masuk kamar kami dan naik ketempat tidur tanpa bicara, lalu menyelinap masuk kedalam selimut. Tubuhnya yang hangat merapat padaku, napasnya yang masih memburu masih bisa kudengar… rupanya isteriku ini masih terpengaruh oleh suasana dikamar Devan tadi. Agaknya dia merasa sangat bergairah dan bernafsu…

    Tahu penisku sudah ‘siap’, dengan cepat Glena menanggalkan gaun malam berikut CD-nya sekalian. Bertelanjang bulat, disingkapnya selimut kesamping dan menarik cepat celana komprangku beserta CD-ku.

    Dengan sigap naik keatas tubuhku, mengangkangi aku dan memegang penisku yang langsung dilesakkan kedalam memeknya yang sudah basah dan licin blesss…

    Cepat Glena mengayun-ayunkan pinggulnya, gaya WOT-nya (Woman On Top) membawanya cepat pada orgasme-nya sendiri yang menyebabkan tubuhnya rubuh menindih tubuhku.

    Penisku yang masih tegang masih tetap berada didalam memeknya yang nikmat kurasa karena masih saja berdenyut-denyut. Kudiamkan sesaat lalu kubalikkan tubuh Glena dan…

    Hari semakin larut malam, tuntas sudah persenggamaan kami. Glena mengalami 3 kali orgasme sebelum aku menyemprotkan spermaku jauh kedalam rahimnya… mudah-mudahan Devan mendapat adik baru…

    Bersambung…

    1 2 3
  • Asrama Putri

    Asrama Putri

    Asrama Putri – Elvira memiliki rahasia yang gelap dan menggairahkan. Setiap malam, saat teman sekamarnya, Alya, tertidur pulas, Elvira terbebas untuk mengeksplorasi hasrat terpendamnya. Dengan hati berdebar, Elvira merayapi tubuh Alya, merasakan kenikmatan saat menyentuh kulit halus dan payudara montoknya. Malam demi malam, Elvira larut dalam fantasi terlarangnya, menikmati kenikmatan tubuh Alya tanpa diketahui.

    Namun, suatu malam, saat Elvira larut dalam kenikmatan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Alya terbangun di tengah sentuhan Elvira. Awalnya, Elvira panik, takut bahwa rahasianya akan terungkap. Tetapi, alih-alih marah atau ketakutan, Alya justru menatapnya dengan tatapan yang membuat jantung Elvira berdetak kencang.

    Alya tahu tentang rahasia Elvira, dan bukannya menjauh, dia justru menarik Elvira lebih dekat. Malam itu, mereka berbagi pengalaman erotis yang intens, saling menjelajahi tubuh satu sama lain. Elvira merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya, dan Alya, meskipun awalnya terkejut, menemukan dirinya larut dalam kenikmatan yang sama.

    Namun, dengan terbukanya rahasia mereka, pertanyaan-pertanyaan mulai muncul. Bisakah mereka melanjutkan hubungan rahasia ini tanpa ketahuan? Atau akankah hasrat mereka membawa mereka ke jalan yang berbahaya dan tak terduga? Elvira dan Alya terjebak dalam labirin nafsu dan ketertarikan, berjuang untuk menyeimbangkan hasrat mereka dengan kehidupan sehari-hari mereka.

    Cerita Sex Asrama Putri
    Cerita Sex Asrama Putri

    Cerita Sex Asrama Putri – “Elvira, tolong matiin lampu ya setelah kamu selesai belajar nanti?” pinta Alya begitu dia merebahkan diri di atas kasur single itu.

    “Ok, Alya,” jawab Elvira singkat.

    Jam sudah menunjukkan pukul 12.10 malam. Alya terpaksa menyerah lebih awal dan mundur dari sesi belajar bersama Elvira. Besok ada kuis di kelas Bu Aisha untuk mata pelajaran Matematika 2. Meskipun sudah banyak latihan yang dikerjakan, rasanya masih banyak yang belum dipahami.

    Mereka baru berada di semester kedua. Alya adalah teman sekamar Elvira sejak semester lalu. Dia satu-satunya teman dekat yang Elvira punya di kampus itu. Saat pertama kali tiba di Bogor, Elvira tidak mengenal siapa pun.

    Mereka bertemu saat pendaftaran asrama dan ditempatkan di kamar yang sama. Karena Alya juga berasal dari Bekasi, mereka cepat akrab dan lama-kelamaan menjadi sahabat baik.

    Elvira melanjutkan belajarnya ditemani radio FM. Siaran ulang sketsa tadi pagi membuat Elvira tersenyum sendiri. Dan tentu saja Elvira menggunakan earphone. Kalau tidak, pasti Alya akan mengomel karena tidak bisa tidur akibat kebisingan.

    Asyik menjawab soal, tidak sadar jarum pendek sudah sampai ke angka 2. Elvira menoleh ke kasur Alya. Dia sudah tidur nyenyak. Mungkin sedang bermimpi indah bersama Jungkook, penyanyi favoritnya.

    “Sudah waktunya.” Elvira tersenyum.

    Lampu dimatikan. Kini kamar mereka hanya diterangi lampu kamar mandi yang kekuningan. Elvira berjalan perlahan mendekati kasur Alya.

    Meskipun ini bukan pertama kalinya, hatinya tetap berdebar-debar. Beberapa tetes keringat mulai keluar. Dengan hati-hati Elvira duduk di sebelah Alya. Pinggang Alya dicolek. Tidak ada reaksi. Padahal di situlah bagian yang paling sensitif bagi Alya.

    Kemudian Elvira mengangkat sedikit tangan kanan Alya ke atas dan melepaskannya ke bawah. Elvira memperhatikan wajah Alya dengan berdebar-debar.

    Tidak ada reaksi.

    Yes! Memang sudah pasti tidur nyenyak. Inilah Alya. Kalau sudah tidur, kamar ini terbakar pun dia tidak akan sadar. Susah membangunkan Alya kalau dia sudah tidur nyenyak. Karena inilah, Elvira bebas melakukan apa saja terhadap Alya saat dia tidur.

    Ya, Elvira sudah lama mencabuli Alya sejak semester pertama. Dan malam ini entah sudah berapa kali Alya dinodai.

    Dengan hati-hati, Elvira berbaring di sebelah Alya. Gerakannya seminimal mungkin. Tubuhnya diiringkan tepat di sisi tubuh montok Alya.

    Hnsfff. Aroma lotion krim malam Sofi tercium oleh hidung Elvira. Sedikit bau Coldgate menyelingi aroma harum lotion tadi.

    Bau favorit Elvira. Bau yang membangkitkan gairahnya. Bau yang membuat nafsunya semakin bergelora.

    Perlahan-lahan Elvira mencium bibir mungil Alya. “Muahhhh.”

    Tangan kanannya perlahan memeluk tubuh Alya. Dibiarkan sejenak sambil matanya tajam melihat mata Alya. Masih tertutup rapat.

    Kemudian sedikit demi sedikit jari digerakkan ke atas tubuh Alya menuju ke daging pejal di situ. “Alamak. Alya pakai bra pula malam ini,” gumam hatinya. “Mungkin sudah terlalu lelah belajar sampai lupa melepasnya.”

    Untungnya bra yang dipakai Alya jenis yang tidak ada kawatnya. Artinya tetap lembut saat diremas. Dengan penuh nafsu, Elvira meremas payudara 34B tersebut. Cukup besar untuk tubuh seorang gadis kecil seperti Alya.

    Elvira menikmati payudara itu sepuasnya. Setelah kiri, payudara kanan pula yang diserang. Alya tetap tidak memberikan reaksi meskipun putingnya sudah mulai mengeras. Puting Alya terlihat menonjol meskipun dilapisi bra dan T-shirt.

    Namun Elvira menginginkan lebih dari itu. Tangannya turun ke bawah dan menyelinap ke bawah baju Alya. Jari Elvira melewati pusar Alya dan terus ke dada. Tangannya menyelip ke dalam bra yang membalut payudara Alya.

    “Hmmph…” erang Alya pelan.

    Elvira meremas-remas payudara Alya tanpa lapisan. Memberi lebih sensasi dan membuat nafsunya semakin bergelora.

    Kemudian Elvira memijat-mijat manja puting keras Alya bergantian kiri dan kanan. Sebelah tangan lagi mulai menggosok vaginanya sendiri. Lelehan cairan nikmat sudah bisa dirasakan.

    Setelah puas meremas, tangannya mencari sasaran berikutnya. Yoga pants yang dipakai Alya menambah kenikmatan Elvira. Elvira mengusap-usap vagina Alya dari luar. Mencari belahan yang tertutup rapat.

    Elvira bangun perlahan dan menempatkan posisinya di sebelah kaki Alya. Celana ditarik ke bawah. Dari cahaya redup kamar mandi, samar-samar terlihat celana dalam putih berpolka dot ungu menutupi mahkota wanita Alya.

    Elvira mencium belahan vagina Alya. Ada sedikit bercak basah. Mungkin rangsangan saat payudaranya diremas tadi.

    Celana dalam dilucuti dan terlihatlah benjolan tembam yang menggoda. Licin. Vagina Alya baru saja di-wax minggu lalu. Alya suka vaginanya bersih dan licin. Karena itu wax adalah pilihannya.

    Tidak tahan dengan aroma harum, Elvira menjilat belahan vagina itu. Paha Alya yang rapat membuat vaginanya terlihat lebih tembam.

    Belahan itu dibuka. Membebaskan klitoris yang tersembunyi di celah vagina. Sedikit menonjol. Alya sudah terangsang! Elvira menjilat sepuasnya karena dia sudah sangat tahu bahwa Alya tidak akan terbangun dari tidurnya. Sudah berbulan-bulan Elvira melakukan perbuatan terkutuk ini terhadap teman sekamarnya.

    Beberapa menit kemudian, Elvira bangun lagi dari celah paha Alya. Puas Elvira menjilat vagina tembam tersebut. Berkilat-kilat vagina basah Alya saat dilihat dalam keadaan redup itu. Elvira kembali berbaring di sebelah Alya.

    Kali ini giliran dia untuk puas. Kain batik yang diikat rapi itu dilepas lalu dilorot ke bawah, memperlihatkan vaginanya yang sudah banjir. Memang ini pakaian resmi Elvira saat menodai Alya. Atasan putih dan kain batik. Memudahkan pekerjaannya.

    Vagina Elvira mulai diusap. Jarinya menekan-nekan klitorisnya yang sudah mengembang. Sesekali tubuhnya seperti tersentak kesedapan. Desahan manja keluar dari mulutnya namun agak pelan. Masih berhati-hati agar Alya tidak terbangun.

    Jari Elvira meluncur cepat di celah vaginanya. Nikmatnya seakan tidak berujung. Setelah cukup lama menggosok, Elvira meraih tangan kanan Alya dan menempatkan jari runcingnya di vaginanya.

    “Ahhhh,” Elvira mendesah.

    Terasa lebih nikmat saat tangan orang lain yang menggosok vagina. Meskipun Elvira yang mengendalikan tangan Alya, namun kenikmatan itu tetap dirasakan.

    “Hmm. Alyaaa. Enak Alyaaa….” Elvira berbisik pelan sambil berkhayal. Tangan kirinya rakus meremas payudaranya sendiri. Ditarik-tarik puting tegang itu dan dipijat-pijat sepuasnya. Bergantian kiri dan kanan.

    Tangan Alya semakin cepat dikendalikan mengikuti irama Elvira menggosok vaginanya. Berdecit-decit suara erotis yang keluar hasil gesekan cairan kenikmatan yang melimpah.

    Tak lama lagi, klimaks Elvira akan tiba. Dia memejamkan mata dan membayangkan aksi panasnya bersama Alya.

    Semakin cepat gosokan, semakin keras Elvira mengerang. Dia sadar akan hal itu dan segera mengambil bantal peluk Alya lalu menekannya ke wajahnya.

    “AHHHHH, DILAAAAAAA!!!! AAARGHHHHHH!!!” Jeritan kuat dilepaskan di balik bantal itu. Tubuh Elvira menggeliat kesedapan. Tangan Alya dilepaskan. Untung ada kain batik yang dilapisi di bawah paha Elvira karena cairan kenikmatannnya memancar seperti air pancuran. Nikmat kali ini terasa berbeda sekali.

    Tubuh Elvira terengah-engah mengambil napas. Terasa basah di kepalanya akibat keringat yang keluar saat aksi tadi.

    Tiba-tiba…

    “Hmm. Elvirass.”

    Mata Elvira terbelalak saat namanya dipanggil.

    DILA TERBANGUN?

    “Elviraaa.”

    Mata Elvira terbelalak ketika namanya dipanggil.

    DILA TERBANGUN?

    Perlahan-lahan Elvira memalingkan wajahnya ke arah Alya. Jantungnya berdebar kencang, rasanya seperti mau copot saat melihat mata Alya terbuka menatap ke atas. Beberapa detik kemudian, mata Alya kembali tertutup.

    “Ahhh. Hmmmm.”

    Alya mengerang?

    Elvira hanya diam terpaku di sebelah Alya, tidak berani bergerak karena takut Alya akan benar-benar terbangun. Namun, dia merasa aneh dengan reaksi Alya tadi. Tidak pernah sebelumnya terjadi hal seperti ini selama dia melecehkan Alya.

    Celana dan celana dalam Alya masih melorot di paha. Saat Elvira memperhatikan lebih teliti, terlihat vaginanya seperti mengembang dan mengempis, serta klitorisnya masih keras dan menonjol.

    Tiba-tiba Elvira mendapat ide jahat. Dia mengambil ponselnya yang diletakkan di samping dan mulai menekan ikon kamera. Lampu kilat diaktifkan dan diarahkan ke vagina Alya. Tombol rekam ditekan.

    Elvira tidak ingin melewatkan kesempatan langka ini. Selama ini, dia tidak pernah merekam perbuatannya yang bejat itu. Tapi kali ini Elvira tidak ingin menyia-nyiakan momen ini. Klitoris Alya berdenyut-denyut dan dia harus merekam momen indah ini.

    “Hmmm. Elvirass. Hmmmm.”

    Alya mengerang lagi, tapi matanya masih tertutup rapat. Jelas, Alya sedang bermimpi! Tapi kenapa Alya menyebut nama Elvira? Apakah dia sedang bermimpi tentang Elvira?

    Tangan Alya tiba-tiba turun ke bawah dan langsung ke area vaginanya. Jarinya menggosok-gosok perlahan celah asmara itu.

    Tidak percaya dengan apa yang terjadi, lensa kamera Elvira yang sedang merekam diarahkan ke wajah Alya. Meski cahaya terang dari lampu kilat kamera menyinari wajah Alya, dia tetap tidak terbangun. Bahkan, gosokan tangannya semakin cepat.

    Elvira kembali merekam vagina Alya yang sedang digosok itu. Gosokan tangan Alya semakin cepat. Cairan bening keluar dari lubang vaginanya semakin banyak. Tiba-tiba pantat Alya terangkat dan bergetar.

    “Ahhhh, Elvirasss! Ahhhh! Sssssss. Ahhhh!”

    Alya mencapai klimaks. Beberapa detik pantatnya terangkat-angkat. Terasa sangat dahsyat klimaks yang dialaminya. Entah mimpi apa Alya sehingga dia klimaks begitu. Lebih mengherankan, nama Elvira disebut-sebut.

    “Jangan-jangan Alya mimpi aku??”

    Keadaan Alya kembali tenang. Tombol ‘stop’ ditekan dan ponsel Elvira diletakkan kembali di sampingnya. Tampak Alya kembali tertidur pulas seperti tidak ada apa-apa yang terjadi.

    Elvira mencium bibir Alya dengan hati-hati. Kemudian dia turun ke bawah dan menjilat sisa-sisa cairan nikmat Alya. “Slrpppp. Slrppp. Ahhhh.” Rakus sekali Elvira menjilat sampai kering.

    Setelah puas, perlahan-lahan Elvira menarik kembali celana dan celana dalam Alya. Apa yang akan dikatakan Alya nanti saat terbangun dan melihat vaginanya terbuka?

    Elvira pun bangun dan turun dari ranjang Alya, menuju ke ranjangnya sendiri. Rasa lelah masih belum hilang. Rasanya tidak percaya dia berkesempatan menyaksikan Alya masturbasi saat tidur. Rekaman videonya pun ada. Nanti dia bisa menonton kembali peristiwa bersejarah itu.

    “Hmm. Alya, Alya. Apa sebenarnya yang kau mimpikan tadi? Kau lesbian juga, ya?” Elvira melamun. Tersenyum sendirian membayangkan berbagai hal yang bisa terjadi jika benar Alya adalah seorang lesbian.

    Tanpa sadar, Elvira tertidur.

    “Elvira! Elvirass! Bangun!”

    Elvira terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa berat membuatnya sulit untuk bangun.

    “Elvira! Kita sudah terlambat! Kuis lagi setengah jam lagi!”

    Mendengar kata ‘kuis’, tubuh Elvira langsung bangkit dari ranjang dan dia segera berlari ke kamar mandi. Alya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Elvira yang terburu-buru itu.

    Alya sudah siap-siap sejak pagi. Sebelum Subuh dia sudah bangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa pegal. Seakan-akan baru saja selesai berkebun. Tidak mencurigai apa-apa yang terjadi, Alya memaksakan diri untuk bangun dan mandi.

    “Mungkin sudah mau menstruasi, ya? Kalau tidak salah lagi 3-4 hari lagi datang,” bisik Alya sendirian.

    Tidak sampai 5 menit, Elvira sudah keluar dari kamar mandi dengan tergesa-gesa. Alya hanya tersenyum melihat kelakuan Elvira yang panik itu.

    “Itulah. Belajar sampai larut malam. Jam berapa kamu tidur semalam?”

    “Jam 2 aku sudah menyerah.”

    “Confirm nilai kuismu tinggi hari ini. Hehehe.”

    Elvira tersenyum mendengar kata-kata Alya dan langsung mengambil baju kurungnya yang tergantung di pintu lemari. Untung dia sudah menyiapkan setelannya semalam. Ngocoks.com

    Tanpa pikir panjang, Elvira langsung melepaskan handuk dari tubuhnya dan tampaklah payudaranya yang berukuran 32B. Tubuhnya tidak terlalu gemuk, juga tidak terlalu kurus. Ukuran payudara Elvira terlihat proporsional di tubuhnya. Pria yang melihat tubuh Elvira pasti tergiur.

    Alya hanya memperhatikan tubuh telanjang teman sekamarnya itu. Payudaranya lebih besar dari Elvira tetapi bentuknya tidak sebulat payudara Elvira. Payudara Alya sedikit turun dan berisi ke bawah. Mungkin karena sedikit berat dan besar. Terlebih dengan tubuh kecilnya itu, terasa bebannya membawa dua bukit.

    Mata Alya turun ke bagian vagina Elvira. Sedikit berbulu namun rapi. Labia minoranya sedikit keluar, dan agak tembam. Berbeda dengan vaginanya yang lebih kecil. Celahnya selalu tertutup tanpa memperlihatkan bagian mana pun. Tidak ada bulu karena Alya melakukan Brazilian wax setiap dua bulan sekali.

    Alya menelan ludah dan merasa ada sesuatu di hatinya. Sadar apa yang terjadi, Alya langsung berpaling dan bangun dari kursi. Dia mencoba menjauhkan pikiran yang bermain di kepalanya.

    “Astaghfirullah. Apa yang aku lakukan ini? Aku ini perempuan. Tidak mungkin aku bisa horny melihat tubuh perempuan lain.” Alya menggeleng-gelengkan kepala dan langsung berjalan menuju pintu.

    “Elvira, aku tunggu di luar ya? Cepat sedikit!”

    “Haaa iya, iya. 5 menit!”

    “Ye, ye aja kamu 5 menit. Lebih dari 5 menit aku tinggalin kamu!”

    “IYAAA. 5 MENIT!”

    Elvira terburu-buru memakai pakaian dalamnya. Bra berwarna merah dengan motif renda, full cup. Celana dalam seamless berwarna senada dengan bra-nya. Kemudian dia mengenakan jubah Princess Cut merah muda yang sudah disetrika. Terakhir, dia mengenakan kerudung shawl berwarna soft orange.

    Elvira hanya mengenakan basic foundation dan lip balm di wajahnya. Dia memang simpel, tidak suka memakai make-up berlebihan. Diberi anugerah wajah cantik alami, kulit mulus, memudahkan aktivitas sehari-harinya.

    “Okay, ayo!” Ajak Elvira kepada Alya yang sedang melamun di koridor. Aroma wangi Elvira mengejutkan Alya. Harum, tetapi tidak terlalu menyengat. MElvira baunya.

    “Wanginya. Mau ke kuliah atau kencan?”

    “Eiiii. Nanti kucubit. Ayo dah, katanya sudah terlambat.”

    Bersambung…

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
  • Pamer Privacy

    Pamer Privacy

    Cerita Sex Pamer Privacy – “Eitsss… waduh oh… dasar nih kakak kurang ajar…! Mami…! Mami…! Nih kakak tidak sopan, pegang-pegang pepek Mai!”, teriak Marcy, adik perempuanku yang masih berusia 12 tahun dan masih duduk di kelas 6 SD itu.

    (Klotak…!)

    Pintu kamar mama pun dibuka dengan tergesa-gesa. Mama muncul dengan bertolak pinggang. “Apaan lagi sih…! Bertengkar melulu…!,” ujar mama dengan kesal.

    Segera Marcy menjelaskan apa yang telah terjadi. Mama menoleh kearah aku dan bertanya kepadaku, “Ayo… sekarang apa penjelasanmu? Rodri Cuma rekaan?!” Bila mama memanggil dengan nama lengkapku seperti ini berarti dia sedang kesal hatinya. Aku segera menjelaskan duduk perkaranya.

    “Begini… mam…”, aku memulai penjelasanku. Mama mendengarkan dengan kepalanya dimiringkan kearahku seperti minta penjelasan lebih jauh dariku.

    Cerita Sex Pamer Privacy
    Cerita Sex Pamer Privacy

    Ngocoks “Aku baru pulang dari main basket, masuk kedalam rumah dan melihat Marcy berdiri sambil membungkukkan badannya ke lantai dan… terlihat celana dalamnya dengan jelas. Aku memang tidak bicara memberitahukannya khawatir dia terkejut jadi aku pegang saja celana dalamnya agar supaya dia sadar kalau dia telah memamerkan privacynya”, kataku.

    Mama diam seperti sedang mengolah penjelasanku itu, kemudian kepalanya ditolehkan kearah Marcy dan memandangnya seperti minta penjelasan dari Marcy.

    “Bohong…!”, kata Marcy dengan nada kesal.

    “Apanya yang bohong, adikku sayang yang manis…”, aku menyela perkataan Marcy.

    Mama mendehem dan melotot padaku. “Teruskan…,” katanya kepada Marcy.

    “Begini mi… bagaimana tidak sopan, tangan kakak mengusap-usap nih… seperti ini…”, kata Marcy sembari mengangkat tinggi-tinggi T-shirtnya dan memperagakan perbuatanku tadi. Tangannya mengusap-usap memeknya yang masih terbalut celana dalamnya.

    Bedanya ia mengusap-usap dari depan sedang aku tadi mengusap-usapnya dari belakang, he-he-he…

    Tangan mama menutupi mulutnya seperti menahan tawa melihat ulah adikku Marcy itu.

    Marcy terhenti dan memandangi mama dengan heran tapi masih diliputi perasaan kesal. “Mami…,” keluhnya.

    “Sudahlah…”. Tangan mama sudah tidak menutupi mulutnya tapi sepertinya masih menahan senyumnya dengan sulit. “Ayo Rodri minta maaf pada adikmu yang tadi kamu katakan manis ini”.

    Dengan senang hati karena kelihatannya mama sudah reda amarahnya, kudekati Marcy, “Marcy sayang… maafkan kakak ya…,” sembari mengusap dan mencium ubun-ubunnya.

    Marcy luluh hatinya, membalikkan badannya dan mendekap aku.

    “Lain kali jangan lupa pakai rok atau celana pendek dong say”, kataku sembari mengusap-usap punggungnya.

    “Tapi aku tidak sedang diluar rumah, kakak…”, rengut adikku mendengar kata-kataku.

    “Sudah… sudah… jangan memulai lagi”, mama menimpali kata-kata kami. “Kalian berdua makan dahulu dan kamu Rodri cepat ganti dulu pakaianmu yang lembab itu”.

    Memang benar, pakaian seragam sekolahku yang mulai mengering tapi masih lembab. Kan habis bermain bola basket seusai sekolah tadi.

    Mama berbalik badan dan berjalan menuju pintu kamarnya.

    Tiba-tiba Marcy menarik tanganku kebawah sehingga mukaku sejajar tingginya dengan mukanya. Dia menempelkan mulutnya ke telingaku dan berbisik, “Lihat tuh… buruan. Punggung mami terbuka bebas, ayo pegang punggungnya seperti apa yang kakak lakukan padaku tadi. Kalau bertindak yang adil dong…! ,” katanya dengan licik.

    Aku tergugah, bukan karena perkataan Marcy tetapi lebih disebab-kan oleh kemulusan punggung mama dan eh… tunggu dulu! Beliau tidak memakai BH! Buktinya tidak terlihat tali BH dipunggungnya.

    “Pasti…!”, kataku dengan nada gagah-berani menjawab kata-kata Marcy adikku itu. Aku buru-buru mendekati mama dari belakang.

    Marcy tersenyum puas. (‘Biar tahu rasa, dimarahi dan pasti Rodri… telingamu bakal dijewer mami’, Marcy dengan senang membayangkan akan menyaksikan hal yang bakal terjadi dan dia tersenyum simpul gembira).

    Seandainya Marcy tahu strategi yang akan aku pakai menghadapi mama, bila kusentuh punggung mama dan ia marah, aku akan katakan saja padanya bahwa aku ingin membantu mama dengan menarik retsluitingnya untuk menutupi punggungnya yang mulus itu, he-he-he… dasar bulus!

    Mama sudah memegang handle pintu kamarnya tapi ketika hendak masuk kamar tidurnya, langkah kakinya terhenti karena mendengar derap langkah kakiku yang tergesa-gesa.

    “Kamu mau ap…”, kata-kata mama terhenti ketika merasakan usapan tanganku dipunggungnya yang putih mulus bak pualam itu.

    Segera mama bergegas masuk kedalam kamar tidurnya dan langsung melompat menelungkup diatas tempat tidur sembari menggerutu, “Geli tahu… kamu jangan kurang ajar ya Rod…!” Tubuh mama berguncang-guncang diatas kasur yang empuk itu, disebabkan karena lompatan mama tadi.

    Aku mendekati mama dan berkata, “Maaf mam… lupa menutup retsluitingnya ya mam…”.

    Dan mama menjawab, “Ya… sudah, ayo tarik retsluitingnya”.

    Tapi aku tidak melakukannya karena melihat disamping tubuh mama masih tergeletak sebuah vibrator yang agaknya seperti tergesa-gesa dimatikan dan aku melihat disekitar tubuh mama berserakan BH, CD dan sebuah cermin kecil untuk ber-make-up.

    ‘Wah rupanya mama sedang bermasturbasi saat aku dan Marcy berada diluar kamar tadi. Pantas saja mama kelihatan kesal tadi karena acara masturbasinya terganggu oleh kami, aku dan adikku Marcy’.

    Dikeheningan sesaat itu tiba-tiba pecah oleh kata-kata mama. “Ayo… kok bengong…!”

    Dengan malu aku menimpalinya, “Maaf mam… habis mama cantik dan tubuh mama mulus sekali sih…”.

    Mama mendongakkan kepala dan menoleh kearahku, tapi kemudian sadar akan keadaan kamar tidurnya dengan adanya benda-benda pribadinya berserakan itu.

    “Eehmm… jangan cerita pada adikmu ya. Kamu kan sudah dewasa… dan… sudah tahu segalanya itu…”, ujar mama seakan memintaku memaklumi keadaan kamar tidurnya itu.

    Darah mudaku yang penuh gairah langsung bergejolak disebabkan oleh suasana kamar dan kata-kata mama.

    “Tapi mam… aku kan masih kelas 2 SMA dan belum tahu segalanya seperti yang mama maksudkan…”, timpalku. “Apa mama mau mengajariku semua itu…?,” tanyaku nekat.

    “Ya sana… keluar, nanti adikmu curiga”, tukas mama lagi.

    Aku bersikeras tetap berdiri ditempat, kataku, “Katanya mau mengajari Rodri tentang itu tuh…”.

    Jawab mama, “Nanti malam setelah adikmu tidur, datang lagi kesini. Kan ayahmu masih 2 minggu lagi diluar kota mengurusi bisnisnya. Ayo buruan nanti keburu datang adikmu karena curiga”.

    Sembari bicara, mama menyingkirkan benda-benda pribadinya yang tadi berserakan diatas kasur dan sekarang kasurnya sudah bersih dan rapi kembali.

    Aku lalu bertanya pada mama, “Mama tidak berbohong kan…?”

    Seketika itu mama menjadi kesal dengan pertanyaanku, “Tidak percayaan amat sih sama mamamu sendiri?!” Tiba-tiba mama menelentangkan tubuhnya keatas kasur dan segera mengangkat bagian bawah rok terusannya ke dadanya dan berkata, “Nih… lihat! Ayo kamu mau omong apa sekarang…?!”

    Mataku lolong melotot… Mengapa tidak? Kulihat tubuh mama bagian bawah terbuka polos alias bugil… Betisnya yang indah, pahanya yang menggairahkan dan… vagina mama, maksudku bibir vagina mama terlihat dengan jelas karena vagina mama yang polos tanpa rambut pubis sehelaipun! Rupanya mama merawat bagian tubuhnya yang paling tersembunyi itu dengan cara mencukur habis semua bulu-bulu pubis sekitar vaginanya.

    Nafsu birahiku langsung melonjak, ‘Seperti memek anak kecil saja yang tanpa bulu! ’, pikirku. ‘Pasti serupa dengan memeknya Marcy, adikku itu. Masih gundul… ’, aku membayangkannya. Jadi aku ingin sekali mengetahui vaginanya Marcy yang tadi sempat aku usap-usap walau masih terbalut dengan celana dalamnya.

    Perlahan-lahan aku mendekati mama dan langsung menindih tubuh mama dengan seragam sekolahku yang masih lengkap dan lembab.

    “Rodri kamu mau apa, ooh…!”, perkataannya terputus karena bibirnya keburu tertutup oleh bibirku.

    Aku mencium mama dan berusaha meniru gaya French-kiss layaknya seperti yang pernah kulihat dalam film-film BF yang sering kutonton bersama-sama kawanku dirumah salah seorang dari mereka.

    “Mmmh… hhm…”, mama berontak pelan dan menolak badanku.

    Tapi karena aku sering olahraga basket, tenagaku jauh lebih besar ketimbang mama yang juga senangnya ber-olahraga senam demi kesehatan, menjaga keindahan tubuhnya agar tetap awet muda dan enak dipandang mata.

    Usia mama yang sekarang 38 tahun tapi dengan tubuh dan perawakan badan yang 28 tahun dengan wajah cantik dan manis keibuan dengan payudara 36B bagaikan milik penari striptease yang indah dan menggairahkan.

    Lidahku menyusup masuk kedalam mulut mama dan membelit lidahnya, didalam mulut mama, lidah-lidah itu saling berangkulan membelit berganti-ganti arah eh… rupanya telah sirna penolakan dari mamaku yang sexy ini.

    Ketika aku ingin minta penegasan dan mulai ingin menanyakan lagi, tentunya aku harus melepaskan bibirku dari bibir mama terlebih dahulu tapi dengan cepat tangan mama membekap mulutku sehingga aku tidak bisa berbicara.

    “Sudah jangan bicara lagi, pokoknya nanti malam setelah adikmu tidur. Cepat bangun…!”

    Aku bangun dan berdiri disamping tempat tidur, mama buru-buru duduk ditepi tempat tidur sambil merapikan pakaiannya kembali… tepat Marcy masuk kedalam kamar tidur mama yang pintunya masih terbuka lebar dengan tersenyum-senyum yang mencurigakanku.

    Begitu melihat Marcy masuk, segera mama berpura-pura memarahiku dengan menjewer telingaku (dengan pelan) sembari membentakku, “Rodri! Kamu mulai nakal ya…! Ayo keluar sana…!”

    Marcy yang menyaksikan ini semua, kaget sekejap lalu tertawa terkikik-kikik dengan cepat membalikkan badannya lari keluar sambil berteriak.

    Sempat aku dengar teriakannya. “BENAR KAN PIKIRKU… rasakan itu semua kakakku yang ganteng hi-hi-hi…!”

    Mama tersenyum lega dan aku buru-buru keluar dari kamar tidur mama. Sebelum melewati pintu, sempat mama mengingatkan, “Jangan lupa nanti… DASAR NAKAL…!”

    Tentu saja kata-kata mama yang terakhir ini masih terdengar oleh Marcy yang menimpali dengan… “Asyik… asyik… oh… bahagianya aku, hi-hi-hi…”.

    Kataku dalam hati, ‘Dasar anak kecil sok pintar tapi lugunya minta ampun! Dibohongi saja mau!’.

    Selagi aku menuju kamarku aku berpikir tentang Marcy, adikku yang cantik, manis dan imut-imut itu. Tubuh Marcy mulai bertumbuh besar, baby-fat sudah banyak yang berkurang.

    Ya… adikku itu berubah dan sudah bertumbuh menjadi gadis cilik yang menggemaskan, dadanya mulai menonjol dan yang mencolok ketika ia mengenakan T-shirt nya yang kebanyakan tipis-tipis jelas terlihat tonjolan putingnya indah.

    Sesampainya aku dalam kamarku, aku mengambil pakaian rumahku yang bersih dan masuk kekamar mandi. Rumah yang kami tempati sungguh besar bagi kami berempat. Ngocoks.com

    David Cumarekaan, ayah kami yang berusia 43 tahun, Susan C, ibu kami tercinta yang berusia 38 tahun, aku, Rodri C berusia 17 tahun dan Marcy C, si bungsu yang berusia 12 tahun. Jumlah kamar dirumah ini, semuanya ada 12 kamar jika kamar yang di lantai atas ikut dihitung berikut kamar-kamar mandi yang ada pada masing-masing kamar tidur semuanya.

    Ruang aula untuk keperluan keluarga besar berkumpul ada di lantai atas, sementara 2 kamar tidur yang berada disana tidak terpakai tapi telah rapi ditata dengan bersih dan siap sewaktu-waktu bila ingin ditempati dengan segera. Ini berkat keterampilan dari 2 orang pembantu rumah tangga kami, Ida dan Tati walau masih belia, segar tapi semuanya beres dikerjakan.

    Aku sudah berpakaian rumah yang bersih, badanku wangi maklum saja sesuai kebiasaanku seusai kegiatan olahraga sesampai dirumah, biasanya aku langsung mandi.

    Jam dinding masih menunjukkan waktu 2:15 siang, pikirku jika ada yang diharapkan kenapa waktu berjalan lambat? Aku merebahkan diriku keatas tempat tidur, kembali aku mengingat keluguan Marcy, adikku itu. Jika aku ingat-ingat lagi, aku baru sadar sekarang kalau adikku telah tumbuh menjadi gadis manis yang imut-imut tapi hormon-hormon dalam tubuhnya mulai membentuk tubuhnya menuju ke bentuk tubuh yang sexy.

    “Kak…! Kak Rodri! Ayo keluar… makan sama-sama Mai”.

    Seketika lamunanku pun buyar-yar… oleh teriakan Marcy, adikku yang mengagetkanku membuatku sadar dari lamunan jorokku, langsung saja aku merasa sangat lapar… kan aku belum makan siang?

    Sekeluar dari kamar, aku disambut oleh Marcy. “Ngambek ya… kak? Maafkan Mai ya…”.

    Aku tersenyum saja mendengar kata-kata Marcy. ‘Marcy… Marcy lugu amat sih kamu’, pikirku mungkin dia harus dicium dan di French-kiss agar bisa berpikir dan berusaha berpikir lebih dewasa, tidak seperti anak kecil lainnya yang sedikit-sedikit panggil-panggil maminya.

    Marcy membahasahan dirinya dengan panggilan Mai karena sejak kecil sewaktu dia mulai bisa berbicara, kurang bisa melafalkan huruf R. Sehingga namanya Marcy berubah menjadi Mai dan ini sudah menjadi kebiasaannya sampai sekarang. Tapi kami semua tidak menanggapinya, selalu kami memanggilnya dengan nama sebenarnya, yaitu Marcy.

    Juga panggilannya terhadap mama, dia memanggilnya dengan kata mami. Demikian juga panggilannya terhadap papa dengan kata papi.

    Orangtua kami happy saja tanpa meralat panggilan terhadap diri mereka. Aku Rodri dan adikku Marcy adalah anak-anak kandung mereka yang sangat mereka kasihi.

    Siang ini Marcy sudah mengganti bajunya, untuk balutan tubuhnya bagian atas, dia mengenakan sejenis T-shirt, tapi bagian bawahnya lebih pendek dari T-shirt umumnya, kaos yang dikenakan sekarang itu tidak bisa menutupi pusar serta perut datarnya ini membuat hatiku mulai bergetar. Atau inikah yang disebut busana model tanktop, tak tahulah…

    Selanjutnya pandangan mataku menelusuri tubuh Marcy bagian bawah, kali ini Marcy mengenakan sejenis celana pendek mini atau apa namanya minipant mungkin? Oh iya… mungkin ini namanya hotpant yang membuat gairahku bergejolak ‘to be hot’ tetapi mengenai istilah dan nama-nama model pakaian wanita, aku tidak mengerti sama sekali, ‘memangnya gue pikirin…

    Heit… tungggu dulu, celana pendeknya yang jelas terlihat terbuat dari bahan kain yang tipis, kok… tidak ada garis-garis batas yang menandakan ia mengenakan celana dalam ya? Jangan-jangan… dia tidak memakai celana dalam?! Wah pikiran ‘ngeres’-ku sekarang terbelah dua. Yang satu masih memikirkan tubuh mamaku yang sexy habis dan satunya lagi sedang berpikiran jorok menebak-nebak tubuh adikku yang berada dihadapanku ini.

    Kupandangi wajah Marcy, yang ternyata sedari tadi senyum-senyum saja sembari mengikuti gerak-gerik pandangan mataku. Tahu begini aku jadi salah tingkah dan malu jadinya, bagaikan maling tertangkap lagi mandi… basah tahu!

    “Selama masih hanya dipandang saja dan tidak pakai pegang-pegang… aman-aman saja… tuh!”, ujar Marcy sembari duduk di kursi makan.

    Aku pun sudah duduk di kursi makan seperti halnya Marcy dengan perasaan kesal, aku tahu dikerjai oleh adikku, Marcy ini. Aku bergumam kecil dengan kesal, “Kenapa tidak telanjang bulat saja sekalian… tanggung kan”.

    Rupa-rupanya gumaman kecilku masih terdengar oleh Marcy, ia berkata lagi, “Mau bulat kek… mau lonjong kek… selama masih hanya dipandang saja dan tidak pakai pegang-pegang… aman-aman saja tuh…!”

    Oh lagi…! Dia mengulangi kata-kata manteranya itu lagi. Aku pandangi Marcy dan melotot padanya.

    Cepat Marcy berkata lagi. “Maaf… kak, Mai kan cuma bercanda. Please, sekali lagi Mai minta maaf, jadi seorang kakak jangan terlalu sensitif dong. Don’t Worry Be Happy…!,” katanya sembari menjiplak salah satu slogan iklan dari TV.

    Aku diam saja. ‘Makin nakal saja adikku ini tapi… juga makin manis dan menggairahkan saja, nanti kalau sudah di French kiss olehku baru tahu rasa dia, pasti… merem-melek’. Aku jadi tersenyum-senyum dengan sendirinya.

    Melihatku begini, Marcy pun tersenyum lebar, “Terima kasih kak… kak Rodri memang baik deh mau memaafkan Mai”. Ngocoks.com

    Mendengar itu aku jadi gelagapan dan menjawab singkat sekenanya, “Ya… Yang aku lanjutkan dalam hati. ‘Kamu salah duga sayang, maksudku kau merem-melek di French kiss olehku dan… akan minta lagi… minta lagi… minta lagi…! Huh… kenapa ya penisku selalu bereaksi cepat seperti reflex saja yang sekarang menjadi tegang dan mengacung kedepan dengan gagahnya.

    Makan siang kami yang sudah tertata rapi pasti ini hasil kerja pembantu-pembantu rumah kami yang gesit dan cekatan itu. Kami pun makan dengan lahap dan tanpa suara, maklumlah kami sudah dibiasakan disiplin dari kecil termasuk makan di meja makan tidak boleh pakai berisik.

    Bersambung…

    1 2 3
  • Paket Wisata

    Paket Wisata

    Cerita Sex Paket Wisata – Aku punya teman yang membuka usaha cukup unik. Dia membuka usaha Adult Vacation untuk beberapa kota besar di Indonesia. Suatu kali aku mencoba daerah Solo, Jawa Tengah.

    Paketnya lumayan bagus dan lengkap. Pada kesempatan ini aku akan menceritakan salah satu paket yang dia sediakan. Aku mengambil paket 3 hari 2 malam full service.

    Maksudnya full service adalah biaya yang aku bayar adalah pesawat dari Jakarta – Solo PP, Transfer airport hotel PP, Hotel bintang 4 untuk 2 malam termasuk sarapan pagi, transport lokal selama aku berada di Solo dan yang paling penting adalah teman wanita semacam escort girl salama di Solo.

    Uniknya dia menyediakan teman cewek tidak hanya satu orang, tetapi 4 orang dengan kategori yang bervariasi. Aku berangkat dari Jakarta dengan pesawat sore dan tiba di bandara Adi Sumarmo sudah malam.

    Cerita Sex Paket Wisata
    Cerita Sex Paket Wisata

    Ngocoks Aku langsung mengenali penjemput. Barang bagasi dia yang urus. Aku dibimbing ke mobil yang parkir di parkir area. Supir yang memperkenalkan diri bernama Marto membuka pintu belakang mobil Avanza warna hitam.

    Ketika di buka aku disambut oleh seorang wanita yang sepintas cukup manis. Aku taksir usianya sekitar 25 tahun. Dia memperkenalkan diri bernama Indri.

    Indri yang akan menemaniku malam ini. Aku memang sudah memilih fotonya melalui email yang dikirim prusahaan travel temanku. Ada 5 orang yang dia tawarkan. Sebetulnya semuanya cantik-cantik dan berwajah Jawa. Aku memilih Indri karena kelihatannya teteknya paling besar.

    Pak Marto tidak membawaku langsung ke hotel, tetapi langsung makan malam di sebuah tempat yang dipilih perusahaan travel tersebut. Menunya, sate kambing, gulai tengkleng, gulai kambing Masakannya lumayan enak, dan yang penting daging kambingnya empuk-empuk.

    Kami bertiga makan satu meja sambil ngobrol. Indri sangat ramah, atau kalau di Jawa disebut grapyak. Sehingga suasana sangat cair dan akrab.

    Sebetulnya ada beberapa restoran yang ditawarkan Marto, tetapi aku memilih menu sate kambing. Sebelum berangkat aku juga sudah tahu karena pihak travel sudah memberi tahu restoran pilihanku itu.

    Perut sudah kenyang, Marto langsung membawa kami ke hotel, yang aku rasa cukup eksotis juga, karena interiornya khas Jawa benget dan para tamu tidak perlu mampir di reception, tetapi langsung diantar ke depan pintuk kamar.

    Mobil bisa parkir di depan pintu. Petugas sudah siap di depan pintu dan mempersilakan kami masuk. Aku ditemani Indri langsung masuk kamar yang di dalamnya sudah tersedia wellcome drink yaitu 2 gelas wedang uwuh, atau air diseduh dengan rempah-rempah. Rasanya nikmat dan hangat.

    Marto kemudian minta diri dan dia mengatakan akan menjemput besok sekitar pukul 10 pagi. Petugas hotel juga berlalu dengan sebelumnya minta tanda pengenalku. Aku mengamati interior hotel yang lumayan artistik. Tapi mungkin jika aku menginap sendirian di kamar ini agak merinding juga.

    Tapi karena ditemani Indri jadinya terasa eksotis. Indri sangat ramah, dia membantu membuka sepatu dan kaus kaki ku dan meletakkan di tempatnya. Kami ngobrol sebentar untuk saling menyesuaikan diri. Tak payah menjadi sesuai dengan Indri karena dia begitu ramah.

    Indri menawarkan agar aku mandi dengan air hangat dahulu, sehingga badan lebih segar. Dengan nada menggoda aku katakan bahwa aku mau mandi, tetapi di mandikan oleh Indri.

    Indri hanya tersenyum saja. Dengan telaten dibukanya bajuku satu persatu sampai tinggal celana dalam saja. Dia pun begitu, membuka semua bajunya sampai bugil.

    Badannya tidak terlalu putih, tetapi kelihatan masih kencang, teteknya masih kokoh, mengkal dan memang besar. Pentilnya tenggelam. Indri mengaku belum pernah hamil, meski dia sudah janda. Pendidikannya lumayan juga dia lulusan salah satu universitas swasta di Solo.

    Aku digandengnya ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi celana dalamku dilucuti. Penisku langsung mencuat, karena memang dari tadi sudah tegang apalagi melihat Indri telanjang. Jembutnya tidak terlalu lebat, tetapi yang aku kagumi adalah pantatnya yang nonggek dan kelihatan kenyal.

    Indri mengatur kehangatan air shower lalu aku dibimbing untuk di guyur. Dia mengguyur seluruh tubuhku mulai dari kepala sampai ke bawah. Setelah badanku basah seluruhnya, gantian dia pula yang menyiramkan ke badannya.

    Sabun cair yang disiapkan langsung dilaburkan ke seluruh badanku, dan dia agak lama mengocok penisku. Rasanya birahiku makin memuncak. Setelah selesai melumuri diriku dia menyabuni dirinya juga.

    Tubuh kami berdua penuh dengan sabun. Indri memelukku dan menggeser-geserkan payudaranya yang besar ke dadaku penisku yang menodong bagian kemaluannya ditekan Indri sehingga terjepit diantara kedua pahanya. Dia memainkan penisku dengan jepitan pahanya. Sejauh ini layanannya luar biasa.

    Dia lalu mengguyur air untuk membilas membersihkan sabun dari seleuruh tubuhku dan tubuhnya juga. Aku diam saja, Indri dengan cekatan mengambil handuk lalu dia seka ke seluruh tubuhku sampai kering dan dia juga mengeringkan badannya dengan handuk yang berbeda.

    Terasa wangi sabun, aku digandeng untuk berbaring di tempat tidur. Dia minta aku telungkup.

    Indri mulai beroperasi memijatku dari ujung kaki sampai ke bahu. Pijatannya harus kuakui sangat profesional. Aku bukan hanya menikmati pijatannya tetapi juga menikmati tindihan tubuhnya terutama selangkangannya yang kadang kali jembutnya menggerus badan dan kakiku,

    Ketika tubuhku diminta telentang, Indri langsung melakukan terapi ke sekitar alat kelaminku. Aku merasa dia mengerti apa yang dia lakukan, sehingga penisku ketika ditarik sempat berbunyi krek. Penisku jadi mengeras sejadi-jadinya.

    Dengan lemah lembut dia mulai melakukan oral. Pertama dia menciumi kantong zakarku. Rasa geli dan nikmat bercampur menjadi satu. Setelah itu jilatannya turun ke daerah perbatasan kantong zakar dengan dubur.

    Sekitar lubang dubur pun dia jilati. Aku merasa nikmat luar biasa. Penis menjadi garapan berikutnya . Diawali dengan jilatan di lubang kencingku yang sudah mulai mengeluarkan cairan kental, yang disebut air mazi.

    Dia lalu mengulum dan menenggelamkan seluruh panjang penisku ke dalam mulutnya. Kukira penisku menerjang sampai ke tenggorokannya (deep throat). Kulumannya bervariasi antara jilatan dan sedotan kuat. Aku merasa seperti spermaku ditarik keluar.

    Aku jarang bisa ejakulasi dengan hanya oral, tetapi kali ini aku tidak mampu menahan desakan nikmat itu sehingga ketika terasa akan meledak aku mengingatkan ke Indri. Dia malah bertahan mengulum penisku.

    Aku sudah tidak mampu membendung lagi sehingga kulepas tembakan nikmat itu ke dalam mulutnya. Indri menelan semua maniku sampai tetes terakhir. Ada beberapa yang dia muntahkan ke telapak tangannya tetapi digunakan untuk membalurkan ke seluruh wajahnya.

    Setelah nembak, kepala kontolku terasa ngilu dan geli sekali sehingga aku tidak mampu terus dioral. Indri kuminta melepaskan lomotannya. Untung dia mengerti, sehingga aku terlepas dari siksaan geli.

    Badanku lemas, dan mulai terasa agak mengantuk. Aku terbaring diam, Indrilah yang membersihkan sisa lendir dan ludah di sekitar kemaluanku dengan handuk lembab. Kami beristirahat sebentar.

    Indri ikut masuk kedalam selimutku. Dia tidur sambil memelukku. Tangannya meremas-remas batang penisku yang sedang loyo karena habis memuntahkan peluru.

    Cara dia meremas kemaluanku nikmat sekali sehingga penisku perlahan-lahan mulai mengeras kembali. Indri terus memainkan kontolku sampai akhirnya layak terobos. Memang belum 100 persen keras, tetapi sudah lumayan tegak juga. Indri bangkit dan dia menyarungkan kondom, mungkin dia sudah menyiapkan.

    Setelah itu Indri menaiki tubuhku dan dengan arahan tangannya penisku dimasukkan ke gerbang kewanitaannya. Perlahan-lahan penisku melesak ke dalam vaginanya. Indri mulai memainkan peranannya bergoyang diatas tubuhku.

    Teteknya berguncang sehingga membuatku ingin meremasnya. Indri makin cepat mengayunkan tubuhnya sehingga memeknya menabrak-nabrak kemaluanku.

    Dia mengerang sambil terus berpacu dan akhirnya tiba juga saat puncaknya. Indri tanpa rasa sungkan menjerit dan rebah diatas tubuhku. Dia sebetulnya ingin memuaskanku tetapi dia sudah keburu sampai ke puncak terlebih dahulu.

    Sementara itu aku belum merasa gelombang orgasmeku masih jauh. Kubalikkan posisi sambil tetap menjaga penis di dalam lubangnya. Aku kembali menggenjot Indri . Sebetulnya aku kurang suka main pakai kondom, karena penisku tidak merasa gesekan kulit vagina.

    Namun demi keamanan aku terpaksa juga memakainya. Sudah setengah jam aku menggenjot dengan ganti posisi beberapa kali, tetapi tetap saja rasa nikmat belum datang.

    Mungkin bisa lebih sejam aku menggenjot. Dan tentu saja sangat melelahkan. Aku sebenarnya tidak suka bermain terlalu lama, tetapi lebih mengutamakan permainan yang berkualitas.

    Aku tanya Indri, bagaimana, kalau kondomnya aku lepas, apa keberatan. Indri tidak keberatan. Dia malah mengatakan bahwa dirinya rutin periksa ke dokter, dan hasil labnya terakhir keluar sehari sebelum aku datang. Aku yakin dia bersih maka aku lepas kondomnya dan aku main tanpa pelindung.

    Rasanya lebih nikmat gesekan kulit penisku dengan dinding vaginanya lebih terasa. Sebelum aku membuka kondom, Indri sudah sempat mencapai orgasmenya.

    Sekarang giliran aku berkonsentrasi untuk mencapai orgasme ku. Erangan Indri menambah rangsanganku apalagi dia menanggapi gerakanku. Aku merasa sudah dekat mencapai orgasme, tanpa memberi tahu aku akan melepas spermaku aku benamkan penisku dalam dalam dan menyemburlah sari pati ku kedalam dasar memek Indri.

    Dia rupanya juga membarengiku mencapai orgasme sehingga aku bisa merasakan kedutan liang vaginanya. Selepas aku mengeluarkan dua kali sperma, rasanya makin ngantuk dan ingin istirahat.

    Indri membantuku membersihkan sisa-sisa pertempuran dengan handuk hangat. Setelah itu dia agak lama berada di kamar mandi. Aku tidak tahu dia balik, karena sudah terlelap.

    Pagi-pagi ketika cahaya matahari masih belum menerobos tirai, aku terbangun. Biasanya jika aku bangun pagi penisku mengeras, paling tidak karena desakan ingin pipis.

    Tetapi pagi ini penisku tetap loyo, padahal juga kebelet pipis. Agak cemas juga rasanya. Aku bangkit perlahan-lahan menuju kamar mandi dan melepas hajat kecilku yang cukup banyak. Setelah itu kembali ke balik selimut. Indri pun terbangun dan dia rupanya juga ingin pipis juga.

    Kami berdua kembali berbaring masih dalam keadaan bugil di dbalik selimut. Aku mencoba menggerayangi tubuh Indri. Teteknya aku remas-remas dan putingnya aku pelintir perlahan-lahan. Ngocoks.com

    Dia mendesis lalu tangannya meraih penisku dan dia pun mulai meremas. Di dalam genggamannya penisku bangkit perlahan-lahan. Rasa cemasku jadi hilang, karena ternyata senjata kebanggaanku masih normal.

    Penisku belum sempurna mengeras, tetapi aku sudah mengambil inisiatif untuk menungggangi Indri. Ia pun pasrah dan melebarkan kedua pahanya siap menerima tujahanku. Kuarahkan penisku memasuki gerbang kenikmatan dan perlahan-lahan penisku tenggelam.

    Aku berdiam sejenak sambil melakukan gerakan kegel. Indri mungkin merasakan denyutan penisku. Dia pun mengikuti melakukan gerakan di liang vaginanya. Jepitan dari gerakan kegel Indri lumayan keras juga, sehingga menimbulkan rasa nikmat.

    Cukup lama kami bersenggama sambil diam, tetapi nikmatnya sama dengan ayunan maju mundur penisku. Indri pun makin terangsang. Ini terlihat dari matanya yang sayu.

    Senggama dengan gerakan kegel ini rupanya bisa membawa orgasme pada Indri sehingga aku merasa denyutan cepat di vaginanya. Nikmat sekali rasanya. Setelah itu aku kembali menggenjot sampai aku pun mencapai kepuasan.

    Setelah pertempuran pagi kami mandi bersama. Indri kembali mengenakan bajunya karena dia akan kembali. Di dalam itenerary dia memang selesai tugas pada pagi hari. Aku melepasnya dan memberi uang tips. Uang jasanya sudah aku bayar melalui paket ke travel temanku. Indri memelukku dan mencium pipiku kiri dan kanan.

    Setelah Indri berlalu aku keluar kamar menuju Coffe Shop untuk sarapan pagi. Tadinya aku mengajak Indri, tetapi dia menolak halus. Aku pun sebenarnya khawatir juga tampil di depan umum dengan perempuan. Takut-takut kepergok oleh orang-yang aku kenal.

    Jam 10 Pak Marto mengetuk kamarku, Aku dijemput untuk sight seeing seputar kota Solo. Tour diakhiri dengan makan siang. Aku memilih makan sup kimlo Solo. Lumayan juga rasanya dan segar.

    Acara setelah makan siang adalah main dengan ABG. Spek ABG yang akan kupakai sebetulnya sudah aku ketahui, karena fotonya sudah di kirim ke emailku sebelum ini. Tapi aku penasaran juga. Pak Marto memberiku opsi ingin ikut menjemput, atau aku menunggu di hotel.

    Aku memilih opsi pertama, yaitu ikut menjemput. Aku ingin tahu bagaimana ABG itu dijemput. Pak Marto mengarahkan Avanzanya ke salah satu rumah sakit besar di kota Solo.

    Bersambung…

    1 2
  • Investasi Perkebunan

    Investasi Perkebunan

    Cerita Sex Investasi Perkebunan – Sekali dayung, dua pulau terlampaui. Begitu bunyi peribahasa yang kuingat dari pelajaran ketika di SD pada masa lalu. Peribahasa itu sekarang menjadi kenyataan di dalam hidupku. Sejak aku berinvestasi di perkebunan singkong dengan areal yang lumayan luas, tidak hanya uang banyak yang kudapat, tetapi juga ke ria an sex aku peroleh.

    Setiap akhir pekan aku berada di perkebunanku sambil mengawasi penanaman maupun panen. Sebetulnya mondar-mandir Jakarta ke perkebunan ini cukup melelahkan, karena letaknya cukup jauh.

    Namun karena aku menyenangi pertanian untuk mengisi kegiatan di hari tua sehingga tidak terasa berat, malah menyenangkan. Berkebun jadi makin menyenangkan karena muncul berbagai macam wanita, yang menjadi hiburanku pada malam-malam sunyi.

    Di usia menjelang 50 tahun, aku normal, tidak tergolong maniak sex. Olah raga juga tidak pernah aku lakukan, kecuali jalan pagi yang hampir setiap hari aku habiskan sekitar 1 jam.

    Cerita Sex Investasi Perkebunan
    Cerita Sex Investasi Perkebunan

    Ngocoks Badan ku lumayan sehat, belum ada penyakit yang mengkhawatirkan, semua indikasi kesehatan menunjukkan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, misalnya tidak diabetes, tidak darah tinggi, kolesterol normal, asam urat juga normal. Tinggi ku sekitar 170 berat 65.

    Setiap aku general chek up tahunan, dokter selalu memuji bahwa kebugaranku prima, mereka malah menyebutkan kondisiku seperti 10 tahun lebih muda. Para dokter pasti kemudian menanyakan “Apa rahasianya ? Sebenarnya tidak ada rahasia.

    Aku hanya membatasi makan, dengan makanan yang sehat dan makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang. Kalau kutaksir aku sudah mendapat asupan 2000 kalori, maka aku berhenti makan, hanya minum air putih saja sebanyak-banyaknya.

    Kebiasaan itu sudah cukup lama. Tidak ada rahasia seperti yang ingin diketahui dokter, karena semua orang pasti tahu. Aku hanya berusaha mengendalikan diri dan harus menang dalam perang dengan diri sendiri.

    Aku kira tidak ada yang belum tahu soal ini, tetapi yang menjalaninya mungkin hanya sedikit. Berkat sikap hidupku itu, tidak ada keinginanku yang tidak tercapai. Ini bukan menyombongkan diri, kan ada pepatah, “dimana ada kemauan di situ ada jalan”. Pepatah seperti ini kan tidak membatasi kemauan apa atau keinginan apa.

    Terlalu panjang menyombongkan diri nggak enak juga ya, tapi ya begitulah keadaanku, Jadi aku ingin menegaskan bahwa aku bukan superman, aku orang yang normal seperti kabanyakan orang.

    Hasil tabungan, maupun hasil hobby main internet sambil trading, aku bisa mengumpulkan tabungan yang lumayan, sehingga bisa membangun villa serta mempunyai garapan dgn kerjasama dengan petani untuk lahan seluas sekitar 200 ha.

    Baru 3 bulan rumah villaku rampung dibangun. Bentuknya memang eksotis dan sangat menyatu dengan alam perkebunan. Ini adalah vila ku, berada di dataran tinggi sehingga hawanya sejuk sepanjang hari, tetapi jika malam, bisa membuat menggigil.

    Letak villaku bukan di Puncak atau di daerah-daerah mahal, tetapi jauh di pedalaman, di daerah pertanian yang kalau ditempuh dari Jakarta bisa sampai 6-8 jam.

    Aku berada di villaku setiap minggu hanya hari Sabtu dan Minggu. Meski begitu, semua peralatan rumah sudah lengkap, sampai kamar mandi dengan air panas.Aku menginap di atas awalnya selalu ditemani istriku.

    Maka dialah yang mengurus segala-galanya. Kadang-kadang anak ku ikut juga untuk refreshing katanya. Namun kemudian istriku malas ikut ke kebun, karena sepi katanya.

    Maklum dia memang lahir dan besar di Jakarta, jadi tidak betah tinggal di alam yang sepi. Anakku pun sudah bosan ke kebun, dia lebih memilih nongkrong di mall dari pada jongkok di depan perapian di kebun sambil menunggu singkong bakarnya mateng.

    Masalah mulai timbul, karena jika menginap, jadinya aku tidur sendirian dan tidak ada yang mengurus rumah ini. Salah seorang kepercayaanku di kebun ini menawarkan pembantu untuk memberesi rumahku.

    Aku pikir sih oke-oke saja. Apalagi katanya yang ditawarkan itu adalah saudara istrinya. Pak Sudin demikian aku mengenalnya, memang lahir dan besar di daerah ini.

    Suatu siang ketika sedang istirahat siang, Pak Sudin memperkenalkan seorang gadis, yang ternyata janda. Abis kelihatannya masih muda, lumayan cakep, meski penampilan desanya masih kental.

    Dia menyalamiku dan menyebut namanya Imah. Otak jahatku mengipas agar aku menerima saja gadis, eh janda itu untuk bekerja dirumah ku.

    Siapa tahu bisa memberi layanan plus, kan lumayan, jadi tambah betah. Kuakui bahwa di usia senja ini vitalitasku untuk urusan selangkangan masih normal, hanya istriku yang lebih muda setahun dari ku setelah manupause, dia seperti kehilangan selera.

    Jadi sering menolak “ajakan” ku. Jadi terbayang gimana ya pria yang punya istri lebih tua, istrinya pasti lebih cepat kedaluwarsa dari dia. Jadi otak jahatku ada ngarep dot com pada Imah.

    Sebaliknya otak baikku mencegah jangan sampai terjadi affair gila itu, karena risikonya lebih besar dari rasa nikmatnya. Betul juga sih. Apalagi sampai ketauan istri, tau pula Pak Sudin yang hormatnya kepadaku kadang berlebihan. Ah yang penting rumahku rapi dan terurus, itu sajalah targetnya, kata hatiku yang lurus.

    Sampai 3 bulan Imah tinggal bersama ku, situasi aman-aman saja. Tetapi aku tidak berani berterus-terang menceritakan ke istriku bahwa aku sudah punya pembantu, si Imah aku fungsikan sebagai pesuruh kantor, jika ada istriku datang menginap. Jadi waktunya banyak dihabiskan di bawah.

    Tapi istriku sekarang sudah sama sekali ogah ke kebun, tapi duitnya demen. Dia pun ketika melihat Imah tidak curiga, lha wong dia bekerja melayani kebutuhan kerja pegawai di bawah, seolah-olah memberesi rumahku hanya kerja sambilan. Padahal sih sebaliknya.

    Imah cukup rajin bekerja, sikapnya baik bisa menyesuaikan diri dengan semua orang, sangat menghormatiku, meski kadang-kadang aku menangkap pandangan matanya yang agak nakal kepadaku.

    Tapi aku pikir perempuan Jawa Barat memang suka begitu kalau memandang laki-laki, karena aku sering menangkap sorot mata seperti itu di banyak tempat di Jawa Barat. Mungkin juga itu bagian dari keramahan.

    Semakin hari Imah semakin akrab denganku, meskipun dia memanggilku Bapak, tetapi tidak terlihat jarak antara majikan dan pekerja. Aku memang sengaja menciptakan suasana yang begitu, kan katanya sudah era demokratis.

    Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, tiarap beda posisi, begitu kan.Kami kalau makan satu meja, menonton TV duduk di sofa yang sama. Tinggal tidur yang belum satu kasur. Dua UR yang sudah, yaitu Satu Dapur, Satu Sumur, tapi belum Satu Kasur.

    Sejujurnya aku sudah tidak tahan ingin menerkam si Imah, tapi gimana caranya, aku belum dapat. Aku tidak mau ada pemaksaan. Inginnya sih biarlah dia yang memulai baru aku menanggapi.

    Jadi aku selama ini bersikap biasa-biasa saja tidak berusaha memancing di air keruh. Bisa saja dia kuajak nonton video porno, sebab kalau sudah malam di atas tinggal kami berdua.

    Tapi rasanya taktik seperti itu, belum tentu cocok untuk wanita desa. Bisa-bisa dia malah malu dan kabur masuk kamarnya. Yah mungkin nanti akan tiba juga saatnya. Aku percaya pada pepatah Jawa “Tresno jalaran kulino”. Gak usah diterjemahkan lah, kalau gak tau ya skip aja.

    Akhirnya tiba saatnya. Suatu malam Imah nyeletuk ketika kami sedang santai menonton TV. Jam di dinding baru menunjuk pukul 7 malam. Diluar gerimis dan sesekali ada petir dan kilat yang cahayanya membersit masuk .

    “Pak mau saya pijat ?”
    Aku agak terkejut mendengar tawaran itu, karena badanku memang lelah dan duduk di kursi dengan posisi bersandar agak rebah.

    Selama ini aku segan bertindak yang mengarah ke arah “keliru” terhadap Imah, karena dia bekerja di sini sebagai pengurus rumah tangga Tentunya aku malu jika berusaha bertindak tidak senonoh ke Imah lalu dia melapor ke Pak Sudin.

    Padahal Imah, merupakan sosok yang lumayan menarik. Usianya sekitar 24 tahun, janda tanpa anak, kulitnya putih seperti umumnya orang Jawa Barat badannya lumayan montok, tinggi lumayan tinggi untuk rata-rata perempuan di sini yakni sekitar 155 cm. Wajahnya ya lumayanlah, rambutnya agak panjang dan selalu digelung.

    “Emang Imah bisa mijet,” tanyaku sambil bersikap biasa saja.
    ” Ya bisa lah atuh Pak,”

    “Ya udah kamu beresi dulu kamar saya, saya mau mandi dulu rasanya badan agak lengket bekas berkeringat,” kataku, lalu bangkit ke kamar mandi.

    Air hangat memancur dari shower. Tanpa air hangat, aku tidak kuat mandi di daerah ini karena hawa dingin di daerah dengan ketinggian sekitar 700 dpl.

    Selesai mandi, rasanya segar sekali. Aku hanya mengenakan celana dalam dan kaus oblong putih lalu mengenakan sarung. Itu memang pakaian tidurku jika aku berada di sini.

    Selama mandi aku membayangkan kira-kira apa yang akan terjadi selama pemijatan, apakah aku akan mendapat layanan plus, bagaimana memulainya karena sesungguhnya aku sedang berhasrat, setelah sekian lama tidak dilayani istri.

    Dengan pikiran itu, kemaluanku jadi agak menegang. “Ah bagaimana nantilah, sebab risikonya juga besar,” batinku. Aku keluar dari kamar mandi yang ada di kamarku. Ruangan kamar cahayanya sudah ditemaramkan.

    Aku memang memasang lampu yang remang selama aku tidur. Kasur ukuran 180 cm aku hampar di lantai papan, gaya rumah Jepang.Di situ sudah bersiap Imah sedang duduk bersimpuh.

    Dia mengenakan sarung juga dan bagian atasnya kelihatannya kaus lengan panjang. Aku tidak terlalu jelas melihat karena dari cahaya terang di luar masuk ke dalam yang remang-remang mataku belum menyesuaikan dengan penerangan yang minim.

    “Gimana nih telentang atau telungkup,” tanyaku ke Imah.
    “Sok terserah bapak, gimana enaknya,” jawabnya.

    Aku kemudian memilih posisi telungkup, karena ingin punggungku dipijat dulu. Aku di Jakarta sering juga ke panti pijat, sehingga aku hafal ritual pijat dimulai dari mana berakhir dimana,.

    Imah rupanya bukan alumni panti pijat di Jakarta, karena dia bukan memulai memijat dari kaki, tetapi memulai dari punggung. Pijatannya memang lumayan nikmat juga. Cengkeraman dan tekanan tangannya nikmat sesuai dengan tingkat yang kuinginkan.

    Dia rupanya sudah menyiapkan minyak urut yang dibuat dari minyak kelapa dicampur bawang merah. Baunya memang kurang enak, tapi orang desa jamak menggunakan minyak urut seperti ini.

    Imah minta izin membuka kaus oblongku untuk mengoles minyak di punggungku. Aku setuju saja sambil menunggu aksi berikutnya.

    Kuat betul si Imah sudah sekitar sejam dia masih berkutat di sekitar punggung dan tangan ku. Rasanya memang enak dan sepertinya badanku jadi ringan. Setelah punggung Imah beralih ke kaki.

    Mulanya sarungku dinaikkan sampai sebatas lutut. Dia menggarap kaki kiri dan kananku sebatas lutut. Untuk memijat bagian paha dia meminta aku melepas sarung. Aku setuju saja dan dia menarik sarungku ke bawah. Aku jadi tinggal mengenakan celana boxer saja yang pendek.

    Penisku sudah menegang dari tadi. Jika dalam posisi tengkurap begini sih tidak ada masalah, tapi kalau nanti telentang dia bakal menonjol mendorong celana dalamku. Ngocoks.com

    Aku pasrah saja akan apa yang terjadi nanti, rasanya sih manusiawi seorang laki-laki akan terangsang jika berdua dengan perempuan apalagi dalam situasi memijat begini dan dalam ruangan remang-remang.

    Aku sama sekali tidak menyiapkan skenario apa pun, kecuali mengikuti arus saja. Imah memintaku berbalik posisi. Entah terlihat jelas atau tidak dalam cahaya remang begini. Ah aku abai saja.

    Aku rasa yang memang wajar, sebagai laki-laki kalau penisnya tegang karena berduaan dengan wanita. Apa lagi terus menerus di jamah tubuhnya,

    Pahaku mulai dipijatnya. Mengurutannya entah disengaja atau memang prosedurnya begitu, tetapi jarinya sering menyentuh kantong zakarku. Awalnya aku diam tidak bereaksi, padahal sentuhan itu memberi kenikmatan dan rangsangan.

    Bersambung…

    1 2 3 4 5 6 7
  • Suami Pinjaman

    Suami Pinjaman

    Suami Pinjaman – Peluang sering kali hampir tidak terlihat, ia bisa muncul tiba-tiba dan menghilang jika tidak teramati. Bentuk peluang juga seingkali tidak jelas, artinya pangkal dan ekornya jauh berbeda.

    Mengapa tulisan ini saya buka dengan kalimat seperti itu, karena cerita saya berikut ini sangat berkaitan dengan kalimat pertama di tulisan ini.

    Saya tidak ingat hari dan tanggalnya, tetapi saya ingat bahwa hari itu saya melintasi jalan Iskandar Muda, atau lebih dikenal dengan sebutan Arteri Pondok Indah, Jakata. Pagi itu lalulintasnya lebih macet dari hari-hari biasa. Saya merasa begitu, karena setiap hari ini adalah rute menuju kantor saya.

    Kira 30 meter di sebelah kiri depan saya terlihat orang berkerumun, Saya duga ada pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan. Namun tidak terlihat di sekitar situ ada sepeda motor yang tergeletak atau bekas tertabrak.

    Suami Pinjaman
    Suami Pinjaman

    Ngocoks Karena arus maju perlahan, kemudian saya melihat seorang laki-laki duduk tersandar, wajahnya pucat dan sedang dikipasi. Melihat itu saya langsung meminggirkan mobil dan memarkir di tempat lega. Segera saya datangi orang yang tersandar pucat tadi. Saya menduga dia terkena serangan jantung.

    “Mas taruh pil ini di bawah lidah, jangan ditelan, dan bernafas agak panjang. “ kata saya.

    Dia menuruti perintah saya, dan 5 menit kemudian kelihatannya dia agak pulih, lalu duduk sambil bersila. Keringatnya deras bercucuran. Nafasnya masih terengah-engah.

    “Mas kondisi begini, tidak boleh mengendarai motor dulu, “ kata saya sambil membantu dia menitipkan sepeda motor di salah satu toko. Oleh pemiliknya dia mau dititipi motor sementara. Saya tak lupa menanyakan nama dan no teleponnya lalu saya masukkan ke HP saya.

    “Mas mari saya bantu untuk ke rumah sakit terdekat, si mas ini dalam bahaya besar, bisa-bisa game kalau tidak mendapat pertolongan segera.” kata saya.

    “Mau dibawa ke rumah sakit mana pak,” kata seorang wanita yang dari tadi tidak terperhatikan saya.

    “Mbak ini siapa,” tanya saya.

    “Saya istrinya Pak,” katanya.

    Sial saya belum terlalu tua malah mungkin sebaya dengan suaminya udah dipanggil pak, mungkin karena pakaian kantoran saya yang rapi dilengkapi dengan jas, jadi dia panggil saya pak mungkin sebagai penghormatan.

    “Kebetulan ini mbak bisa dampingi suami ke rumah sakit,” kata saya.

    Si mas korban serangan jantung tadi duduk di depan dan istrinya duduk di belakang. Wajahnya masih pucat, kendaraaan aku arahkan ke rumahsakit terdekat. Aku langsung membawanya ke instalasi gawat darurat.

    Istrinya kuminta menunggu. Kepada dokter di situ aku jelaskan bahwa pasien ini kemungkian terkena serangan jantung. Perawat langsung memasang masker oksigen.

    Setelah aku memarkir mobil, Istrinya langsung menyambutku dan dia mengajakku menemui dokter. Menurut dokter pasien terkena serangan jantung, diduga ada penyempitan atau penyumbatan di jantungnya.

    Dia menyarankan agar pasien jangan pulang, tetapi perlu diperiksa lebih teliti dengan berbagai peralatan. Kami dirujuk ke dokter spesialis jantung. Tidak lama menunggu aku ikut masuk ke ruang praktek.

    Kesimpulan sementara dokter jantung, si pasien perlu penanganan serius, dan sebaiknya langsung rawat inap, karena kondisinya cukup kritis.

    Aku langsung menyetujui dia dirawat inap dan menjalani beberapa pemeriksaan untuk memastikan sumber gangguan di jantungnya. Dokter jantung untuk sementara melihat kemungkinan pasien perlu dipasang ring di pembuluh jantungnya. Iseng saja aku tanya, berapa biaya pemasangan satu ring. Kata doter menyebut satu angka yang jumlahnya ratusan juta rupiah.

    Mendengar itu istrinya tercengang, gantian dia pula yang wajahnya pucat. Aku tenang saja.

    Suster mendorong kursi roda yang diduduki si mas tadi menuju kamar kelas 1, karena memang hanya itu yang ada.

    Setelah dia dibaringkan dan dipasang selang oksigen, dan suster keluar kamar, baru aku berkenalan. Orang yang kutolong itu sambil berterima kasih memperkenalkan namanya Rama, dan dia memperkenalkan istrinya Vera. Ah baru kusadari, ternyata istrnya cantik juga.

    “Pak kami gak sanggup bayar biaya rumah sakit ini, kenapa bapak langsung setuju saja suami saya di rawat di sini, duit dari mana,” kata istrinya langsung menyerangku.

    Aku senyum saja, “ Emang si mas gak punya asuransi,”

    “Ah boro-boro asuransi pak, hidup aja pas-pasan,” kata Vera.

    “Ya sudah, tenang sajalah, nanti saya carikan bantuan, untuk sementara saya sudah gesek kartu kredit untuk jaminan deposit,” kataku.

    “Terus pak kalau memang harus dipasang ring kata dokter tadi, mana mungkin kami punya duit segitu banyak, biayanya kok mahal banget ya pak,” kata istrinya sambil matanya berkaca-kaca.

    “Ah itu belum tentu, dokter tadi kan hanya mengira-ngira berdasarkan pengalaman dia praktek, tapi setelah pemeriksaan nanti, belum tentu harus pasang ring.

    Tapi kalau pun perlu pasang ring, saya punya kenalan dokter ahli jantung dan pembuluh darah yang banyak menolong orang yang akan operasi jantung, akhirnya tidak perlu dioperasi.” kata ku menenangkan.

    “Sudahlah mas Rama istirahat dulu, kalau mbak Vera bisa menemani, ya temani dulu, tapi kalau mau ditinggal menyelesaikan urusan, silakan saja. Nanti sore saya kembali, ini kartu nama saja,” kataku.

    Aku agak kesiangan tiba di kantor. Aku memang tidak memiliki jam kerja, karena perusahaan itu memang milikku sendiri.

    Setiba di kantor aku langsung memanggil rapat kepala-kepala bagian, untuk mengupdate proyek-proyek. Sekitar setengah jam meeting selesai dan aku pun tenggelam pada berbagai penyelesaian pekerjaan.

    HP ku bergetar, no nya tidak aku kenal. “Pak, bapak jadi ke rumah sakit, jam berapa bapak datang, kata suara merdu di seberang sana,” ah ini pasti suara Vera istri Rama yang tadi pagi aku tolong.

    “Sekitar jam lima nanti saya mampir mbak, gimana keadaan suami mbak” tanyaku.

    Dia menjawab, “ dia tidur pak, kelihatannya sih gak apa-apa.”

    “Mungkin si mas Rama perlu tinggal di rumah sakit sampai 3 hari untuk menyelesaikan berbegai pemeriksaan, yah sabar aja mbak, dan gak usah mikirin biaya, ada aja kok yang bantu,” kata saya.

    Wajah Rama masih agak pucat ketika aku kunjungi, kami ngobrol sebentar dan aku meredakan kekuatirannya, baik kuatir mengenai penyakit, maupun kuatir mengenai biaya.

    Hari ketiga aku bertemu dengan dokter yang merawat Rama sebelum menjenguk ke kamar perawatan Rama. Menurut dokter, kondisi jantung rama kurang baik, sehingga memang benar perlu dipasang satu ring, selain itu dia menderita hipertensi atau darah tinggi dan gula darahnya cukup tinggi.

    Aku minta pasien bisa dirawat jalan, sehingga hari ini bisa meninggalkan rumah sakit. Di kamar kudapati Rama didampingi istrinya. Wajah istrinya agak murung dan Rama sendiri matanya menerawang kosong. “Sudahlah, jangan dibawa sedih, semua ada jalannya kalau kita berusaha.

    Saya sudah bicara dengan dokter, dan hari ini boleh pulang. Kedua wajah mereka langsung gembira. Gimana tadi kata dokter tentang penyakit saya, Pak,” tanya Rama penuh antusias.

    “Ya keadaannya kesehatan bapak kurang baik, gula darah cukup tinggi, tekanan darah juga tinggi dan menurut dokter, jantungnya perlu dipasang ring,” kataku tenang.

    “Tidak perlu risau saya sudah cari bantuan dan mudah-mudahan bisa dapat, saya pikir, jangan terlalu kuatir soal biaya, yang perlu ada semangat untuk kembali sehat” kataku.

    Cerita dipersingkat aku akhirnya diundang ke rumah mereka, yang letaknya lumayan jauh dipinggiran jakarta. Wilayahnya sudah bukan jakarta lagi, tetapi sudah Provinsi Banten. Rumah mereka sederhana dan rapi saya duga ukurannya sekitar 36m2.

    Mereka hidup hanya berdua, karena diusia 35 Rama dan 26 tahun Vera mereka sudah 5 tahun berumah tangga belum dikaruniai momongan.

    Kami akhirnya akrab, dan saya sudah menemukan dokter yang bisa menerapi Rama tanpa perlu pasang ring, semua biaya aku tanggung. Aku sebenarnya tidak punya pamrih apa-apa, kecuali murni hanya menolong saja. Bagiku biaya bantuan yang dikeluarkan untuk mereka tidak terlalu mengganggu cash flow pribadiku, enteng-enteng saja.

    Gula darahnya mulai agak terkontrol, meski masih cenderung tinggi, tekanan darahnya juga sudah normal, tetapi semua kebiasaan lama, seperti olah raga bulu tangkis di lingkungannya, lari pagi, aku suruh stop sama sekali. Olahraga hanya jalan pagi saja setengah jam.

    Kami sudah seperti saudara, sampai akhirnya dia kurekrut menjadi pegawaiku. Nah lama-lama istri si Rama kelihatan makin cantik. Pintar juga Rama dulu cari istri bisa dapat yang cantik begitu, mana nurut banget sama suaminya.

    Namun aku bertanya dalam hati, apa Rama bisa memenuhi kebutuhan sex istrinya, karena diumur yang relatif muda dia sudah terkena diabetes. Setahuku orang terkena diabetes kemampuan sexnya lemah, kalaupun bisa berhubungan ketegangan penisnya tidak sempurna. Persoalan berikutnya adalah apakah karena itu, mereka belum juga mendapat anak.

    Meski Vera istri Rama cantik, tetapi aku tidak berani menggoda atau bersikap macam-macam. Apalagi dia sudah menjadi pegawaiku.

    Suatu hari aku diundang mereka berdua, katanya merayakan ulang tahun perkawinan yang ke enam. Mereka mengundangku di sebuah restoran di hotel yang cukup terkenal.

    Aku pikir mereka mengundang banyak kolega, tetapi ternyata setelah beberapa lama kami duduk bertiga, tidak ada yang datang lagi. “ kami memang tidak mengundang siapa-siapa kecuali bapak,” kata Rama.

    “Pak ada yang ingin kami sampaikan, selain ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya yang menyelamatkan nyawa saya,” kata Rama.

    “Begini pak, kami berdua sudah lama menginginkan anak, tetapi setelah 6 tahun ini usaha kami tidak membuahkan hasil, karena menurut pemeriksaan dokter, sperma saya ternyata lemah Pak,” kata Rama.

    Saya lalu menyarankan adopsi, karena biasanya keluarga yang gagal mempunyai anak kandung, masih bisa mendapat anak adopsi.

    “Itu sudah kami pikirkan, tetapi kami merasa anak itu, tidak atau bukan darah daging dari saya atau istri saya,” kata Rama.

    “O kalian mau ikut program bayi tabung toh”

    “Tidak bisa pak, kami sudah konsultasi ke dokter, sperma saya terlalu lemah,” kata Rama.

    “Terus rencana kalian bagaimana,” tanyaku penuh tanda tanya.

    “Itulah pak kami ingin konsultasi dengan bapak, kami sebenarnya tidak enak dan kesan saya agak kurang ajar, tetapi setelah kami berdua berembug, akhirnya kami terpaksa akan sampaikan kepada bapak, apa pun risikonya kami sudah siap pak, Bapak kami anggap sudah seperti saudara. Mudah-mudahan kami bisa ditolong,” kata Rama.

    Aku terus terang tidak bisa menduga kemana arah permohonan mereka, sehingga aku jadi makin penasaran.

    “Bagaimana saya bisa membantu, “ tanyaku.

    “ Kami mengharapkan benih dari bapak untuk dibuahi oleh indung telur istri saya,” kata Rama terus terang.

    “Maksudnya, program bayi tabung dengan mempertemukan sperma saya dengan telur Vera,” tanya saya makin penasaran.

    “Bukan Pak,” kata Vera kali ini angkat bicara.

    Aku terdiam sejenak dan langsung membayangkan aku melakukan hubungan badan dengan vera untuk dia mendapatkan anak.

    “Jadi maksud kalian bagaimana,” tanyaku penasaran.

    “Maaf pak, saya sudah bersepakat dengan Vera, dan kalau Bapak tidak keberatan, saya sebagai suami Vera ikhlas mengijin istri saya dibuahi oleh bapak secara langsung.” kata Rama

    Vera tidak berani menatap mataku, dia tertunduk.

    “Apa benar begitu, vera, “tanyaku menegaskan,

    Vera hanya menangguk.

    Aku terhenyak dan menyandarkan badanku ke sandaran kursi.

    “Mengapa, kalian memlih saya,” tanyaku.

    “ Pertama, bapak orangnya sangat baik dan suka menolong tanpa pamrih, kedua bapak hidup membujang sampai usia 40 tahun, sehingga bagi kami tidak merasa merebut atau merusak rumah tangga lain, dan ketiga, jika berhasil kami mempunyai anak yang masih darah daging dari Vera” kata Rama tanpa ragu menyampaikan kata per kata.

    Kelihatan rencana mereka itu sudah matang sekali mereka rembukkan.

    “Pak tanpa mengurangi rasa hormat apakah bapak bersedia menolong, kami lagi,” kata Rama.

    Selain mata Rama memandangku, Vera juga menatapku.

    Sulit dan malu aku begitu saja langsung menerima, tetapi aku berbohong pada diriku sendiri, jika tidak tertarik pada Vera. Dia adalah wanita yang ideal, meski payudaranya tidak tergolong toge, tetapi cukup monjol, dia juga memiliki pinggang yang ramping, bokong yang rada menonjol dan yang aku paling suka selain mukanya ayu, putih, rambutnya lurus sebahu.

    “Selanjutnya bagaimana rencana kalian,” kataku tanpa menyatakan menerima dan akan membantu mereka.

    “Kami sudah pesan kamar dihotel ini, kalau bapak tidak keberatan dan mau menolong kami, kita bertiga naik ke kamar, besok kan hari libur.

    “Kalian ini memang keluarga yang aneh, dan kau Rama, kau adalah laki-laki yang paling aneh karena memperbolehkan istrimu ditiduri laki-laki lain,” kataku.

    “Bapak juga laki-laki aneh, sudah cukup mapan, tetapi kenapa tidak berumah tangga juga, apalagi yang kurang pak, semua Bapak sudah punya, kecuali pendamping hidup,” kata Vera.

    Batinku berkecamuk, antara mau menerima tawaran dengan rasa gengsi yang cenderung menolak. Jika aku menerima begitu saja, kayaknya kok keliatan banget nafsu rendahku, tetapi kalau aku tolak bisa jadi dia akan mencari laki-laki lain. Ah sayang juga kesempatan ini disia-siakan.

    “Apakah kalian sudah benar-benar mantap dengan keputusan itu, dan kalau boleh tau ada berapa calon yang sudah dinominasikan untuk menjalankan tugas seperti yang kalian tawarkan ?” tanyaku mengulur waktu untuk berpikir. Ngocoks.com

    “Terus terang Pak calonnya yang kami bicarakan berdua hanya bapak, kami tidak berpikir mencari calon lain,” kata si Rama.

    “Sepertinya tawaran kalian itu menarik juga, tetapi kalau kelak tidak terjadi pembuahan bagaimana,” tanyaku.

    “ yah itu risiko sudah kami pikirkan dan kami juga berharap bapak legowo jika nanti Vera melahirkan, maka anak itu adalah anak kami, Bapak boleh saja bertemu dan dekat dengan anak itu nanti, tetapi statusnya tetap anak kandung kami, apa bapak keberatan,” kata Rama.

    Hal ini malah belum terpikirkan, karena otakku hanya membayangkan rasa nikmat menggumuli Vera. Aku pikir permintaan mereka wajar, dan bagiku tidak ada masalah. Lucu juga aku belum menikah tetapi punya anak kandung yang dalam pengasuhanku.

    “Baiklah persyaratan itu bisa saya terima,” kataku.

    “Oke Pak kita naik keatas, saya sudah buka kamar,” kata Rama.

    Kami bertiga naik keatas, suasana di dalam lift terasa canggung, kami diam saja sampai pintu lift terbuka. Aku masih belum tahu skenario apa yang mereka persiapkan. Sejaun ini aku pasrah saja, dan penasaran melihat penampilan Vera yang pasti mengundang minat lelaki mana pun.

    Rama memesan kamar suite, sehingga terasa lega, karena ada ruang tamu dan ruang tidur yang terpisah. Kami bertiga duduk di sofa ruang tamu.

    “Pak mohon maaf, saya tinggal bapak dengan Vera,” kata Rama lalu bangkit menuju pintu dan keluar begitu saja. Pasti berkecamuk juga dalam hatinya mendapati kenyataan istrinya ditiduri oleh laki-laki lain.

    Itu makanya dia berusaha cepat berlalu. Aku sempat berdiri sebentar, tetapi tidak sempat mengejar Rama, karena dia sudah keburu menutup pintu.

    Bersambung…

    1 2
  • Aktivitas Swinger

    Aktivitas Swinger

    Mengenal Cerita Aktivitas Swinger – Suatu hari pak Beni mengajak ke 2 balitanya berlibur kerumah neneknya diluar kota untuk beberapa hari. aku tidak diajak. Tahu bahwa abangnya tidak mengajak aku ikut berlibur, mas Budi senyum2 saja kepadaku, “Nes, ada kesempatan nih. Mas Beni pergi dengan anak2 dan kamu gak ikut. Kita juga liburan yuk”, ajaknya.

    “Mau kemana mas”, tanyaku. “Temenku, Adi, ngajak ke villanya. Dia mau ajak ceweknya, Santi. Kamu ikut ya. Kita have fun lah disana. Mau kan”, katanya sambil tersenyum. Aku hanya tersenyum dan mengganggukkan kepala.

    Sorenya, mas Adi datang menjemput. Aku diperkenalkan ke mas mas Adi dan dia memperkenalkan Santi ke mas Budi dan aku. Mas mas Adi ganteng juga. Santi, montok banget. Masih abg banget, kayanya lebih muda dari aku.

    Manis juga anaknya, mengenakan jeans ketat dan tank top yang juga ketat sehingga menonjolkan lekuk liku badannya yang merangsang. Tangannya berbulu panjang dan terlihat ada kumis tipis diatas bibir cewek itu.

    Mengenal Aktivitas Swinger
    Aktivitas Swinger

    Ngocoks Pasti jembutnya lebat sekali dan cewek yang kaya begini yang disukai cowok2. Aku mengenakan blus dan rok mini. mas Adi tampak mengagumi keseksianku walaupun ada cewek yang gak kalah montok disebelahnya. Memang aku mengenakan blus yang belahan dadanya rendah sehingga belahan toketku menyembul keluar.

    “Berangkat yuk”, kata mas mas Adi. “Nes, mas Adi dari tadi ngeliatin kamu terus tuh” kata mas Budi berbisik.

    “Ah.. Masa sih” jawabku tertawa. “Iya tuh.. Lihat aja di kaca spion”. Memang terkadang mas Adi melirik kaca untuk melihatku yang duduk di kursi belakang bersama mas Budi.Villanya tidak terlalu jauh. Karena sudah malem, kita mengisi perut dulu.

    Mas Adi membawa juga makanan dan minuman untuk camilan di vila. Sesampai di vila, hari sudah gelap. Langsung berbagi kamar, masing2 dengan pasangannya. Setelah memasukkan barang bawaan ke kamar masing2, kita ngobrol ber 4 di ruang tamu. Mas Budi kayanya udah horny berat.

    Dia memelukku, mengelus2 rambutku dan pahaku yang tidak tertutup rok miniku yang tersingkap. Dia berbisik ngajak aku masuk kamar. Aku ngikuti aja. “Duluan ya”, kata mas Budi kepada temannya.

    Di kamar, dengan ganas mas Budi segera memelukku dan mencium bibirku dan menjilati leherku. Belahan toketku diusap2nya, blusku dibukanya, sehingga aku hanya mengenakan bra yang tipis. Pentilku tampak menonjol, sudah mengeras.

    Perlahan dia menciumi toketku. Aku mulai mendesah perlahan ketika pentilku dihisapnya dari balik braku. Setelah puas menikmati toketku, dia menciumku kembali.

    “Kamu gantian dong, hisap kontolku” katanya lagi. Kubuka retsleting celananya sekaligus dengan CDnya, sehingga kontolnya yang sudah tegang membengkak mencuat keluar. Kontolnya mulai kukocok-kocok perlahan.

    Dia mendorong kepalaku ke arah kontolnya. “Isep Nes”, desahnya ketika mulutku mulai mengulum kepala kontolnya. Kontolnya kukocok2 perlahan. “Nikmat Nes” erangnya. Dia menyibakkan rambut yang menutupi wajahku.

    “Terus Nes, enak banget, ” katanya lagi. Akupun mengeluarkan kontolnya dari mulut dan mulai menjilatinya. Kemudian kontolnya kujejalkan dalam mulutku.

    Dia mengelus-elus rambutku, ketika mulutku memompa kontolnya. Dia sudah sangat bernapsu sekali. Rok dan cd ku dilepasnya sehiongga aku telah bertelanjang bulat. Dia duduk dikursi dan aku disuruhnya duduk di atas pangkuannya sambil menghadap memunggunginya. Dia melepaskani baju yang tersisa. Dia menciumi pundakku, dan mengarahkan kontolnya yang sudah berdiri tegak ke nonokku.

    “Ohhmas, besarnya. Enak, ahh, entotin Ines mas”, desahku. Dia mengenjotkan kontolnya keluar masuk nonokku, gerakannya terbatas karena aku ada pangkuannya. Toketku yang berayun-ayun seirama enjotannya diremasnya.

    “Ohh, Mas, Enak Mas, Enjot terus mas” kataku sambil melingkarkan tanganku ke belakang merengkuh kepalanya. Dia menciumku bibirku sebentar dan kemudian menghisap toketku sambil terus mengenjot nonokku.

    “Ohh mas, enak banget, besar banget” eranganku semakin menjmas Adi, dan tak lama aku pun menjerit. Tubuhku menggelinjang-gelinjang dalam dekapannya. Tak lama, diapun mengerang nikmat ketika ngecret dalam nonokku. Kamipun melepas lelah sejenak sambil berciuman kembali. “Enak ya Mas” kataku.

    Aku masuk kekamar mandi yang menjadi satu dengan kamar tidur. Selang beberapa saat aku keluar lagi hanya mengenakan lilitan handuk dibadanku tanpa pakaian lainnya lagi. “Udah siap lagi ya Nes”, mas Budi menggangguku.

    “Iyalah mas, kan kita kesini untuk ngentot. Kata mas mau ngentotin Ines sampe 4 kali”, jawabku. Belahan dadaku sedikit tersembul dibalik handuk yang menutup dada serta pahaku. Melihat itu sepertinya dia napsu lagi.

    Luar biasa juga staminanya, gak puas2nya dia ngentoti aku. Kontolnya sudah berdiri tegang. Dia berbaring di ranjang. “Mas, ngelihatnya kok begitu amat sih ?” kataku.

    “Nes, sudah malam nih, kita tidur saja” katanya.”Mau tidur atau nidurin Ines mas”, godaku. “Tidur setelah nidurin kamu lagi dong”, jawabnya. Aku berbaring disebelahnya, segera lilitan handukku dilepaskannya sehingga telanjang bulatlah aku. Toketku dielus2nya.

    “Nes, kamu seksi sekali, mana binal lagi kalo lagi dientot. Kalo mas Beni dan anak2 pergi melulu, aku bisa ngentotin kamu tiap malem”, katanya merayu. Aku hanya tersenyum, tidak menjawab rayuannya. Elusan tangannya di toketku berubah menjadi remasan remasan halus.

    “Mas “, aku memeluknya. Dia memelukku juga serta mencium bibirku. Dia begitu menggebu gebu melumat bibirku, kujulurkan lidahku kedalam mulutnya. Nafasku menjadi cepat serta tidak beraturan. Setelah beberapa saat kami berciuman, aku menggeser badanku sehingga sekarang sudah berada di atas badannya. Dia semakin ganas saja dalam berciuman. Dia memeluk badanku rapat2 sambil menciumiku.

    Kemudian aku menciumi lehernya dan terus turun kearah dadanya. Dia berdesis “Nes, sshh”. Aku terus menciumi badannya, turun ke bawah dan ketika sampai disekitar pusarnya, kucium sambil menjilatinya sehingga terasa sekali kontolnya kian menegang.

    “Nes, aduuh” dan aku secara perlahan terus turun dan ketika sampai disekitar kontolnya, kucium dan kuhisap daerah sekelilingnya termasuk biji pelernya. “Sshh, Nes” katanya lagi.

    Kontolnya sudah ngaceng keras sekali, mengacung ke atas. Kupegang kontolnya dan kukocok pelan pelan. Kontolnya kumasukkan kemulutku. “Aahh”, teriaknya keenakan. Aku segera menaik turunkan mulutku pelan2 dan sesekali kusedot dengan keras.

    “Nes, enaak. Ayo dong Nes. Sini, aku juga kepingin” , katanya sambil menarik badanku. Aku mengerti kemauannya dan kuputar badanku tanpa melepas kontolnya dari mulutku.

    Posisi nya sekarang 69 dan aku berada diatas badannya. Nonokku yang dipenuhi jembut yang lebat dijilatinya. Aku menggelinjang setiap kali bibir nonokku dihisapnya. Dengan mulut yang masih tersumpal kontolnya aku bergumam.

    Dia membuka belahan nonokku pelan2 dan dijulurkannya lidahnya untuk menjilati dan menghisap hisap seluruh bagian dalam nonokku.

    Kulepas kontolnya dari mulutku sambil mengerang, “mas, ooh”, sambil berusaha menggerak gerakkan pantatku naik turun sehingga sepertinya mulut dan hidungnya masuk semuanya kedalam nonokku. “Maas, terus maas” Apalagi ketika itilku dihisap, aku mengerang lebih keras “maas, teeruuss”.

    Itilku terus dihisap hisapnya dan sesekali lidahnya dijulurkan masuk kedalam nonokku. Gerakan pantatku semakin menggila dan cepat, semakin cepat dan akhirnya Mas, aku nyampee”, sambil menekan pantatku kuat sekali kewajahnya. Aku terengah engah. Perlahan lahan dia menggeser badanku kesamping sehingga aku tergeletak di tempat tidur. Dengan masih terengah2 aku memanggilnya,

    “Mas peluk Ines, maas” dan segera saja dia memutar posisi badannya lalu memelukku dan mencium bibirku. Mulutnya masih basah oleh cairan nonokku.

    “Maas”,kataku dengan nafas nya sudah mulai agak teratur. “Apa Nes”sahutnya sambil mencium pipiku. “Maas, nikmat banget ya dengan mas, baru dijilat saja Ines sudah nyampe”, kataku manja. “Nes sekarang boleh gak aku… “, sahutnya sambil meregangkan kedua kakiku.

    Mas Budi mengambil ancang2 diatasku sambil memegang kontolnya yang dipaskan pada belahan nonokku. Perlahan terasa kepala kontolnya menerobos masuk nonokku. Dia mengulum bibirku sambil menjulurkan lidahnya kedalam mulutku.

    Aku menghisap dan mempermainkan lidahnya, sementara dia mulai menekan pantatnya pelan2 sehinggga kontolnya makin dalam memasuki nonokku dan blees, kontolnya sudah masuk setengahnya kedalam nonokku. Aku berteriak pelan “aahh maass”sambil mencengkeram kuat di punggungnya.

    Kedua kakiku segera kulingkarkan ke punggungnya, sehingga kontolnya sekarang masuk seluruhnya kedalam nonokku. Dia belum menggerakkan kontolnya karena aku sedang mempermainkan otot2 nonokku sehingga dia merasa kontolnya seperti dihisap hisap dengan agak kuat.

    “Nes, terus.Nes, enaak sekalii, Nes”, katanya sambil menggerakkan kontolnya naik turun secara pelan dan teratur. Aku secara perlahan juga mulai memutar mutar pinggulku. Setiap kali kontolnya ditekan masuk kedalam nonokku, aku melenguh “sshh maass”, karena kurasakan kontolnya menyentuh bagian nonokku yang paling dalam.

    Karena lenguhanku, dia semakin terangsang dan gerakan kontolnya keluar masuk nonokku semakin cepat. Aku semakin keras berteriak2, serta gerakan pinggulku semakin cepat juga. Dia semakin mempercepat gerakan kontolnya keluar masuk nonokku.

    Aku melepaskan jepitan kakiku di pinggangnya dan mengangkatnya lebar2, dan posisi ini mempermudah gerakan kontolnya keluar masuk nonokku dan terasa kontolnya masuk lebih dalam lagi.

    Tidak lama kemudian kurasakan rasa nikmat yang menggebu2, kupeluk dia semakin kencang dan akhirnya “ayo mass, Ines mau keluar maas”. “Tunggu Nes, kita sama sama”, sahutnya sambil mempercepat lagi gerakan kontolnya.

    “Aduhh maas, Ines nggak tahaan, maaas, ayoo sekarang”, sambil melingkarkan kembali kakiku di punggungnya kuat2.

    “Nes, aku jugaa”, dan terasa creeeeeeet…creeeeeet… crrreeettt..pejunya muncrat keluar dari kontolnya dan tumpah didalam nonokku. Terasa dia menekan kuat2 kontolnya ke nonokku.

    Dengan nafas yang terengah engah dan badannya penuh dengan keringat, dia terkapar diatasku dengan kontolnya masih tetap ada didalam nonokku. Setelah nafasku agak teratur, kukatakan didekat telinganya “Mas, terima kasih ya. Ines puas banget barusan,” sambil kukecup telinganya.

    Dia tidak menjawab atau berkata apapun dan hanya menciumi wajahku. Setelah diam beberapa lama lalu aku diajaknya membersihkan badan di kamar mandi dan terus tidur sambil berpelukan.

    Paginya aku terbangun kesiangan. Mungkin karena cape dientot aku tidur dengan pulas. Ketika terbangun dia sudah tidak ada disebelahku. Aku ke kemar mandi, membasuh muka dan sikat gigi, kemudian dengan bertelanjang bulat aku keluar kamar. Mas Budi sedang ngobrol dengan mas Adi dan Santi.

    Aku segera masuk ke kamar lagi, walaupun mas Adi sempat ternganga melihat kemolekan badanku yang telanjang. Aku mengenakan kimono punya mas Budi, sehingga kebesaran. Aku bergabung dengan mereka dimeja makan. Aku mengambil roti dan membuat kopi, yang lainnya kelihatannya sudah selesai sarapan.

    Mereka menemaniku sarapan sambil ngobrol santai. Kayanya Santi centil banget ngobrolnya dengan mas Budi. Setelah aku selesai sarapan, mas Adi mengajak berenang. Segera aku mengenakan daleman bikiniku. Mas Adi makin menganga melihat jembutku yang nongol dari balik CD minimku. “Nes, jembutnya lebat sekali”, katanya.

    “Suka kan mas ngeliatnya”, jawabku. “Jembut Santi juga pasti lebat, lebih lebat dari jembutku”. Santi sudah memakai bikininya juga. toketnya yang montok tidak tertutup oleh bra bikininya yang kekecilan, dan jembutnya benar lebih lebat dari jembutku, nongol dari samping dan atas CD bikininya yang sangat minim, lebih minim dari CDku.

    Mas Budi kayanya napsu banget lihat bodinya Santi. Aku mengerti sekarang skenarionya, kayanya mas Budi mau ngentot dengan Santi dan aku akan dientot mas Adi. Kulihat mas Adi menelan ludahnya memandangi bodiku.

    Mas Budi hanya memakai celana pendek dan kelihatan sekali kontol besarnya sudah ngaceng dengan keras. Mas Adi melepaskan pakaiannya sehingga hanya mengenakan CD saja. kontolnya juga sudah ngaceng, kelihatannya besar juga walaupun tidak sebesar kontol mas Budi.

    Kami menuju ke kolam renang di kebun belakang. Ada 2 dipan, dan letaknya berjauhan, di masing2 sisi kolam. Aku memilih salah satu dipan.

    Mas Budi sudah mulai menggeluti Santi di dipan satunya. mas Adi duduk disebelahku yang sudah berbaring di dipan. Dia mulai mengelus2 pundakku. Aku tau, dia pasti sudah napsu sekali. Segera saja kuelus2 kontol mas Adi dari luar CDnya, kemudian kuremas perlahan.

    “Kontol mas besar juga ya”, kataku sambil makin keras meremas kontolnya. Tanganku menyusup kedalam CDnya dan langsung mengocok2 kontolnya. ngacengnya sudah keras banget.

    “Aku lepas ya CD nya”, kataku sambil memelorotkan CDnya. Kontolnya yang lumayan besar langsung ngacung keatas. Aku udah gak sabar pengen merasakan kontolnya keluar masuk nonokku. Aku duduk dan memeluknya serta mencium bibirnya.

    Mas Adi langsung memelukku kembali, bibirnya pun menghisap2 bibirku sedang tangannya mulai meremas2 toketku yang sudah mengeras. Tangannya nyelip kedalam bra ku dan memlintir pentilku yang juga sudah mengeras. “Nes sudah napsu ya, pentilnya sudah keras.

    Nonoknya pasti udah basah ya Nes”, katanya lagi. Sepertinya dia sudah pengalaman juga dalam urusan perngentotan. Aku mulai menyentuh dan mengelus kontolnya “ya, pegang Nes” desisnya. Mas Adi sekarang yang berbaring sedang aku menelungkup diatasnya. Kontolnya mulai kujilat, kukocok sambil meremas biji pelernya.

    Bersambung…

    1 2
  • Gadis Bandung

    Gadis Bandung

    Cerita Gadis Bandung – Kisah ini bermula waktu umurku masih 23 tahun. Aku duduk di tingkat akhir suatu perguruan tinggi teknik di kota Bandung. Wajahku ganteng. Badanku tinggi dan tegap, mungkin karena aku selalu berolahraga seminggu tiga kali.

    Teman-temanku bilang, kalau aku bermobil pasti banyak cewek cantik sexy yang dengan sukahati menempel padaku. Aku sendiri sudah punya pacar. Kami pacaran secara serius. Baik orang tuaku maupun orang tuanya sudah setuju kami nanti menikah.

    Tempat kos-ku dan tempat kos-nya hanya berjarak sekitar 700 m. Aku sendiri sudah dipegangi kunci kamar kosnya. Walaupun demikian bukan berarti aku sudah berpacaran tanpa batas dengannya.

    Dalam masalah pacaran, kami sudah saling cium-ciuman, gumul-gumulan, dan remas-remasan. Namun semua itu kami lakukan dengan masih berpakaian. Toh walaupun hanya begitu, kalau “voltase’-ku sudah amat tinggi, aku dapat ‘muntah” juga.

    Cerita Gadis Bandung
    Cerita Gadis Bandung

    Ngocoks Dia adalah seorang yang menjaga keperawanan sampai dengan menikah, karena itu dia tidak mau berhubungan sex sebelum menikah. Aku menghargai prinsipnya tersebut. Karena aku belum pernah pacaran sebelumnya, maka sampai saat itu aku belum pernah merasakan memek perempuan.

    Pacarku seorang anak bungsu. Kecuali kolokan, dia juga seorang penakut, sehingga sampai jam 10 malam minta ditemani. Sehabis mandi sore, aku pergi ke kosnya.

    Sampai dia berangkat tidur. aku belajar atau menulis tugas akhir dan dia belajar atau mengerjakan tugas-tugas kuliahnya di ruang tamu. Kamar kos-nya sendiri berukuran cukup besar, yakni 3mX6m.

    Kamar sebesar itu disekat dengan triplex menjadi ruang tamu dengan ukuran 3mX2.5m dan ruang tidur dengan ukuran 3mX3.5m. Lobang pintu di antara kedua ruang itu hanya ditutup dengan kain korden.

    lbu kost-nya mempunyai empat anak, semua perempuan. Semua manis-manis sebagaimana kebanyakan perempuan Sunda. Anak yang pertama sudah menikah, anak yang kedua duduk di kelas 3 SMA, anak ketiga kelas I SMA, dan anak bungsu masih di SMP.

    Menurut desas-desus yang sampai di telingaku, menikahnya anak pertama adalah karena hamil duluan. Kemudian anak yang kedua pun sudah mempunyai prestasi. Nama panggilannya Ika.

    Dia dikabarkan sudah pernah hamil dengan pacarya, namun digugurkan. Menurut penilaianku, Ika seorang playgirl.

    Walaupun sudah punya pacar, pacarnya kuliah di suatu politeknik, namun dia suka mejeng dan menggoda laki-laki lain yang kelihatan keren. Kalau aku datang ke kos pacarku, dia pun suka mejeng dan bersikap genit dalam menyapaku.

    lka memang mojang Sunda yang amat aduhai. Usianya akan 18 tahun. Tingginya 160 cm. Kulitnya berwarna kuning langsat dan kelihatan licin. Badannya kenyal dan berisi. Pinggangnya ramping.

    Buah dadanya padat dan besar membusung. Pinggulnya besar, kecuali melebar dengan indahnya juga pantatnya membusung dengan montoknya.

    Untuk gadis seusia dia, mungkin payudara dan pinggul yang sudah terbentuk sedemikian indahnya karena terbiasa dinaiki dan digumuli oleh pacarnya. Paha dan betisnya bagus dan mulus. Lehernya jenjang.

    Matanya bagus. Hidungnya mungil dan sedikit mancung. Bibirnya mempunyai garis yang sexy dan sensual, sehingga kalau memakai lipstik tidak perlu membuat garis baru, tinggal mengikuti batas bibir yang sudah ada. Rambutnya lebat yang dipotong bob dengan indahnya.

    Sore itu sehabis mandi aku ke kos pacarku seperti biasanya. Di teras rumah tampak Ika sedang mengobrol dengan dua orang adiknya. Ika mengenakan baju atas ‘you can see’ dan rok span yang pendek dan ketat sehingga lengan, paha dan betisnya yang mulus itu dipertontonkan dengan jelasnya.

    “Mas Bob, ngapel ke Mbak Dina? Wah… sedang nggak ada tuh. Tadi pergi sama dua temannya. Katanya mau bikin tugas,” sapa Ika dengan centilnya.

    “He… masa?” balasku.

    “Iya… Sudah, ngapelin Ika sajalah Mas Bob,” kata Ika dengan senyum menggoda. Edan! Cewek Sunda satu ini benar-benar menggoda hasrat. Kalau mau mengajak beneran aku tidak menolak nih, he-he-he…

    “Ah, neng Ika macam-macam saja…,” tanggapanku sok menjaga wibawa. “Kak Dai belum datang?”

    Pacar Ika namanya Daniel, namun Ika memanggilnya Kak Dai. Mungkin Dai adalah panggilan akrab atau panggilan masa kecil si Daniel. Daniel berasal dan Bogor. Dia ngapeli anak yang masih SMA macam minum obat saja.

    Dan pulang kuliah sampai malam hari. Lebih hebat dan aku, dan selama ngapel waktu dia habiskan untuk ngobrol. Atau kalau setelah waktu isya, dia masuk ke kamar Ika. Kapan dia punya kesempatan belajar?

    “Wah… dua bulan ini saya menjadi singgel lagi. Kak Dai lagi kerja praktek di Riau. Makanya carikan teman Mas Bob buat menemani Ika dong, biar Ika tidak kesepian… Tapi yang keren lho,” kata Ika dengan suara yang amat manja.

    Edan si playgirl Sunda mi. Dia bukan tipe orang yang ngomong begitu bukan sekedar bercanda, namun tipe orang yang suka nyerempet-nyerempet hat yang berbahaya.

    “Neng Ika ini… Nanti Kak Dainya ngamuk dong.”

    “Kak Dai kan tidak akan tahu…”

    Aku kembali memaki dalam hati. Perempuan Sunda macam Ika ini memang enak ditiduri. Enak digenjot dan dinikmati kekenyalan bagian-bagian tubuhnya.

    Aku mengeluarkan kunci dan membuka pintu kamar kos Dina. Di atas meja pendek di ruang tamu ada sehelai memo dari Dina. Sambil membuka jendela ruang depan dan ruang tidur, kubaca isi memo tadi.

    Mas Bobby, gue ngerjain tugas kelompok bersama Niken dan Wiwin. Tugasnya banyak, jadi gue malam ini tidak pulang. Gue tidur di rumah Wiwin. Di kulkas ada jeruk, ambil saja. Soen sayang, Dina’

    Aku mengambil bukuku yang sehari-harinya kutinggal di tempat kos Di. Sambil menyetel radio dengan suara perlahan, aku mulai membaca buku itu. Biarlah aku belajar di situ sampai jam sepuluh malam.

    Sedang asyik belajar, sekitar jam setengah sembilan malam pintu diketok dan luar. Tok-tok-tok…

    Kusingkapkan korden jendela ruang tamu yang telah kututup pada jam delapan malam tadi, sesuai dengan kebiasaan pacarku. Sepertinya Ika yang berdiri di depan pintu.

    “Mbak Di… Mbak Dina…,” terdengar suara Ika memanggil-manggil dan luar. Aku membuka pintu.

    “Mbak Dina sudah pulang?” tanya Ika.

    “Belum. Hari ini Dina tidak pulang. Tidur di rumah temannya karena banyak tugas. Ada apa?”

    “Mau pinjam kalkulator, mas Bob. Sebentar saja. Buat bikin pe-er.”

    “Ng… bolehlah. Pakai kalkulatorku saja, asal cepat kembali.”

    “Beres deh mas Bob. Ika berjanji,” kata Ika dengan genit. Bibirnya tersenyum manis, dan pandang matanya menggoda menggemaskan.

    Kuberikan kalkulatorku pada Ika. Ketika berbalik, kutatap tajam-tajam tubuhnya yang aduhai. Pinggulnya yang melebar dan montok itu menggial ke kiri-kanan, seolah menantang diriku untuk meremas*-remasnya. Sialan! Kontholku jadi berdiri. Si ‘boy-ku ini responsif sekali kalau ada cewek cakep yang enak digenjot.

    Sepeninggal Ika, sesaat aku tidak dapat berkonsentrasi. Namun kemudian kuusir pikiran yang tidak-tidak itu. Kuteruskan kembali membaca textbook yang menunjang penulisan tugas sarjana itu.

    Tok-tok-tok! Baru sekitar limabelas menit pintu kembali diketok.

    “Mas Bob… Mas Bob…,” terdengar Ika memanggil lirih.

    Pintu kubuka. Mendadak kontholku mengeras lagi. Di depan pintu berdiri Ika dengan senyum genitnya. Bajunya bukan atasan ‘you can see’ yang dipakai sebelumnya. Dia menggunakan baju yang hanya setinggi separuh dada dengan ikatan tali ke pundaknya.

    Baju tersebut berwarna kuning muda dan berbahan mengkilat. Dadanya tampak membusung dengan gagahnya, yang ujungnya menonjol dengan tajam dan batik bajunya.

    Sepertinya dia tidak memakai BH. Juga, bau harum sekarang terpancar dan tubuhnya. Tadi, bau parfum harum semacam ini tidak tercium sama sekali, berarti datang yang kali ini si Ika menyempatkan diri memakai parfum. Kali ini bibirnya pun dipolesi lipstik pink.

    “Ini kalkulatornya, Mas Bob,” kata Ika manja, membuyarkan keterpanaanku.

    “Sudah selesai. Neng Ika?” tanyaku basa-basi.

    “Sudah Mas Bob, namun boleh Ika minta diajari Matematika?”

    “0, boleh saja kalau sekiranya bisa.”

    Tanpa kupersilakan Ika menyelonong masuk dan membuka buku matematika di atas meja tamu yang rendah. Ruang tamu kamar kos pacarku itu tanpa kursi.

    Hanya digelari karpet tebal dan sebuah meja pendek dengan di salah satu sisinya terpasang rak buku. Aku pun duduk di hadapannya, sementara pintu masuk tertutup dengan sendirinya dengan perlahan. Memang pintu kamar kos pacarku kalau mau disengaja terbuka harus diganjal potongan kayu kecil.

    “Ini mas Bob, Ika ada soal tentang bunga majemuk yang tidak tahu cara penyelesaiannya.” Ika mencari-cari halaman buku yang akan ditanyakannya.

    Menunggu halaman itu ditemukan, mataku mencari kesempatan melihat ke dadanya. Amboi! Benar, Ika tidak memakai bra. Dalam posisi agak menunduk, kedua gundukan payudaranya kelihatan sangat jelas. Sungguh padat, mulus, dan indah. Kontholku terasa mengeras dan sedikit berdenyut-denyut.

    Halaman yang dicari ketemu. Ika dengan centilnya membaca soal tersebut. Soalnya cukup mudah. Aku menerangkan sedikit dan memberitahu rumusnya, kemudian Ika menghitungnya. Sambil menunggu Ika menghitung, mataku mencuri pandang ke buah dada Ika. Uhhh… ranum dan segarnya.

    “Kok sepi? Mamah, Ema, dan Nur sudah tidur?” tanyaku sambil menelan ludah. Kalau bapaknya tidak aku tanyakan karena dia bekerja di Cirebon yang pulangnya setiap akhir pekan.

    “Sudah. Mamah sudah tidur jam setengah delapan tadi. Kemudian Erna dan Nur berangkat tidur waktu Ika bermain-main kalkulator tadi,” jawab Ika dengan tatapan mata yang menggoda.

    Hasratku mulai naik. Kenapa tidak kusetubuhi saja si Ika. Mumpung sepi. Orang-orang di rumahnya sudah tidur. Kamar kos sebelah sudah sepi dan sudah mati lampunya. Berarti penghuninya juga sudah tidur.

    Kalau kupaksa dia meladeni hasratku, tenaganya tidak akan berarti dalam melawanku. Tetapi mengapa dia akan melawanku? jangan-jangan dia ke sini justru ingin bersetubuh denganku. Soal tanya Matematika, itu hanya sebagai atasan saja.

    Bukankah dia menyempatkan ganti baju, dari atasan you can see ke atasan yang memamerkan separuh payudaranya? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan tidak memakai bra? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan memakai parfum dan lipstik? Apa lagi artinya kalau tidak menyodorkan din?

    Tiba-tiba Ika bangkit dan duduk di sebelah kananku.

    “Mas Bob… ini benar nggak?” tanya Ika.

    Ada kekeliruan di tengah jalan saat Ika menghitung. Antara konsentrasi dan menahan nafsu yang tengah berkecamuk, aku mengambil pensil dan menjelaskan kekeliruannya.

    Tiba-tiba Ika lebih mendekat ke arahku, seolah mau memperhatikan hal yang kujelaskan dan jarak yang lebih dekat. Akibatnya… gumpalan daging yang membusung di dadanya itu menekan lengan tangan kananku. Terasa hangat dan lunak, namun ketika dia lebih menekanku terasa lebih kenyal.

    Dengan sengaja lenganku kutekankan ke payudaranya.

    “Ih… Mas Bob nakal deh tangannya,” katanya sambil merengut manja. Dia pura-pura menjauh.

    “Lho, yang salah kan Neng Ika duluan. Buah dadanya menyodok-nyodok lenganku,” jawabku.

    lka cemberut. Dia mengambil buku dan kembali duduk di hadapanku. Dia terlihat kembali membetulkan yang kesalahan, namun menurut perasaanku itu hanya berpura-pura saja. Aku merasa semakin ditantang.

    Kenapa aku tidak berani? Memangnya aku impoten? Dia sudah berani datang ke sini malam-malam sendirian. Dia menyempatkan pakai parfum. Dia sengaja memakai baju atasan yang memamerkan gundukan payudara.

    Dia sengaja tidak pakai bra. Artinya, dia sudah mempersilakan diriku untuk menikmati kemolekan tubuhnya. Tinggal aku yang jadi penentunya, mau menyia-siakan kesempatan yang dia berikan atau memanfaatkannya. Kalau aku menyia-siakan berarti aku band!

    Aku pun bangkit. Aku berdiri di atas lutut dan mendekatinya dari belakang. Aku pura-pura mengawasi dia dalam mengerjakan soal. Padahal mataku mengawasi tubuhnya dari belakang. Ngocoks.com

    Kulit punggung dan lengannya benar-benar mulus, tanpa goresan sedikitpun. Karena padat tubuhnya, kulit yang kuning langsat itu tampak licin mengkilap walaupun ditumbuhi oleh bulu-bulu rambut yang halus.

    Kemudian aku menempelkan kontholku yang menegang ke punggungnya. Ika sedikit terkejut ketika merasa ada yang menempel punggungnya.

    “Ih… Mas Bob jangan begitu dong…,” kata Ika manja.

    “Sudah… udah-udah… Aku sekedar mengawasi pekerjaan Neng Ika,” jawabku.

    lka cemberut. Namun dengan cemberut begitu, bibir yang sensual itu malah tampak menggemaskan. Sungguh sedap sekali bila dikulum-kulum dan dilumat-lumat. Ika berpura-pura meneruskan pekerjaannya.

    Aku semakin berani. Kontholku kutekankan ke punggungnya yang kenyal. Ika menggelinjang. Tidak tahan lagi. tubuh Ika kurengkuh dan kurebahkan di atas karpet. Bibirnya kulumat-lumat, sementara kulit punggungnya kuremas-remas.

    Bibir Ika mengadakan perlawanan, mengimbangi kuluman-*kuluman bibirku yang diselingi dengan permainan lidahnya. Terlihat bahkan dalam masalah ciuman Ika yang masih kelas tiga SMA sudah sangat mahir. Bahkan mengalahkan kemahiranku.

    Bersambung…

    1 2 3 4