Shanum dan Sabda menikah karena keterpaksaan, tak ada cinta di sana. Mereka sepakat untuk tidak bercerai. Namun, Shanum merelakan suaminya untuk berhubungan dengan perempuan lain yang tak lain adalah Rania.
Shanum juga terpaksa mendapatkan tudingan mandul dari pihak keluarga, padahal dirinya tidak pernah disentuh oleh suaminya.
Suatu hari sebuah kejadian mengejutkan terjadi, Shanum hamil dan Sabda malah ingin menikahi wanita lain. Bagaimana reaksi Shanum saat Sabda mengutarakan niatnya untuk menikah lagi?
Neglected Paradise Rania menggosok-gosokkan kedua tangan ketika dirasanya udara malam itu mulai mendingin. Lengan kemeja yang awalnya dia gulung tadi, sudah dia panjangkan kembali agar udara dingin malam itu tak masuk lebih dalam menembus kulitnya.
Netra coklatnya melirik arloji di tangan kiri. Pukul sepuluh malam. Itu berarti sudah hampir satu jam lamanya Rania berdiri di depan kafe, menunggu seseorang datang. Tapi, sosok yang ditunggunya sejak tadi masih belum menampakkan diri.
Rania menghela napas panjang, dia melakukannya bukan tanpa alasan. Dia rela menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya hanya untuk menanti seorang pria yang berjanji akan menjemput dan pulang bersama.
“Rania!”
Suara berat itu membuat si gadis menoleh. Dia agak menengadah dan mendapati sesosok lelaki yang sejak tadi ditunggunya keluar dari mobil dengan terburu-buru.
“Sorry, aku terlambat.”
Lelaki itu tersenyum sedikit, menciptakan dua lesung pipi di wajahnya. Dia mengenakan setelan yang sederhana, tapi entah kenapa membuat aura ketampanannya makin terasa. Hanya kemeja dibalut jas hitam, celana kain dan rambut yang sedikit berantakan.
“Ayo kita pulang, hujannya semakin deras nanti,” ajak pria itu yang langsung membuat senyuman Rania merekah sempurna.
***
“Di kantor lagi sibuk, ya? Lama banget jemputnya.”
Rania bertanya di tengah keheningan yang menyelimuti. Pria di sebelahnya langsung mengangguk, fokus menyetir. Malam ini Bandung tengah diguyur hujan lebat, untung saja Rania pulang tepat waktu.
Mendengar tanggapan singkat lelaki itu, Rania mengangguk mengerti. “Tidak apa-apa, aku mengerti kok.”
“Kalau begitu Mas akan sering ngajak kamu jalan.”
“Aku harus kerja, Mas.”
Pria itu terkekeh mendengar jawaban Rania, sementara itu si gadis menatap ke luar kaca mobil. Hujan mulai turun semakin deras saja.
Sebenarnya Rania ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan pria itu. Namun, obrolan mereka tidak berlanjut karena suara ponsel miliknya terdengar, bersaing dengan keramaian jalan raya di jam sepuluh malam.
Rania mengecek ponselnya lalu beralih menatap pria di sampingnya. “Papaku telepon.” Rania memberitahu.
“Angkat saja dulu.”
Rania langsung menjawab telepon yang masuk. “Halo, Pa? Iya, aku lagi di perjalanan pulang. Tidak kok, langsung pulang, iya … tidak apa-apa sih.”
Sabdatama Zuhairi Nayaka, atau biasa dipanggil Sabda hanya bisa mendengarkan sekilas percakapan antara ayah dan anak tersebut. Semoga saja Rania tidak dimarahi karena malam-malam begini dia baru bisa mengangkat telepon ayahnya.
“Baik, Pa. Nanti aku langsung pulang.”
Begitu pembicaraan mereka selesai, Sabda langsung memburu dengan tanya seusai telepon pendek itu terselesaikan dalam waktu yang amat singkat.
“Apa kata papa tadi?”
“Cuma nanya sudah sampai mana. Papa suka wanti-wanti buat jangan pulang kemaleman. Padahal, ya, aku juga udah gede gitu loh? Dari mana rumusannya jam sepuluh malam tuh udah kemaleman?”
Sabda terkekeh mendengar ucapan Rania. “Namanya juga orang tua. Papa kayak gitu karena dia sayang kamu.”
Ngocoks Rania merasa apa yang Sabda katakan memang benar adanya. Mereka lanjut bercerita. Namanya juga perempuan, pasti selalu ingin didengarkan, meski tak selalu menggunjingkan orang lain secara negatif, ya, tetap saja kalau ngobrol, lebih banyak membicarakan orang lain. Mau itu temannya yang baru didaulat sebagai asisten bos di tempat bekerja. Sampai perkara pemotongan gaji akibat teledor menulis pesanan.
Sabda menanggapinya dengan senyum. Rania adalah wanita mandiri yang selalu bersemangat dan rajin bekerja. Mungkin itulah salah satu alasannya enggan putus, sekalipun ada wanita lain yang tengah menunggu kepulangannya di rumah.
“Kamu udah makan? Sebelum pulang mau makan dulu, gak? Mampir ke restoran apa gitu biar kamu bisa istirahat nanti lanjut pulang?”
Sabda menawari Rania mampir ke salah satu restoran untuk makan malam. Tapi, Rania dengan cepat menolak.
“Nggak dulu, deh. Ini udah malem, kan? Aku juga butuh istirahat karena besok ada mata kuliah yang tak bisa ditinggalkan.”
“Ya udah, tapi kamu sudah makan?”
Rania mengangguk, dia masih kenyang. Sekarang suasana di dalam mobil itu kembali hening. Entah kenapa, merasa ada secercah perasaan tidak enak yang menyusupi batinnya.
“Mas Sabda, kapan mau ketemu papa? Aku pengen banget ngenalin Mas sama papaku.”
Kalimat Rania yang tiba-tiba membuat fokus Sabda mendadak ambyar. Sabda sempat menoleh sekilas pada gadis itu, tapi dia buru-buru menepis keterkejutannya. Ingat, dia sedang menyetir. Jangan sampai oleng!
Kalau dipikir-pikir, setahun hubungan mereka berjalan, Sabda belum pernah bertemu dengan orang tua Rania secara langsung. Gadis itu sering sekali mengajak Sabda untuk bertemu.
Kadang pria itu hanya menjawab seadanya jika Rania melontarkan pertanyaan itu, paling tidak Sabda akan menjawab belum sempat karena masih banyak pekerjaan di kantor, tapi sekarang dia bingung harus menjawab apa. Terlalu sering dirinya menjawab nanti, sekarang pun Rania sudah pasti bosan dengan jawaban itu.
Bukannya Sabda tidak peduli pada Rania, dia hanya bingung dengan posisinya sekarang, dia juga harus memikirkan segala kemungkinan. Tapi, setelah Sabda pikir lagi, selama setahun belakangan ini, dia lebih sibuk dari tahun-tahun sebelumnya. Ada banyak urusan di kantor yang mesti dibereskan, terutama karena Sabda yang memegang perusahaan.
Hal itu yang membuatnya belum bisa memikirkan tentang kepastian. Dia hanya bisa meminta Rania untuk menunggu.
“Tenang saja. Nanti akan kuatur waktu agar kami bisa bertemu.”
Sabda tersenyum pada gadis itu. Mungkin ada setitik rasa kecewa di hati Rania karena jawaban Sabda masih sama, tapi pria itu benar-benar akan mengusahakan supaya Rania tidak lagi bertanya tentang hal itu.
***
Shanum sedang duduk santai di ruang tengah seraya menonton televisi, dia langsung menoleh ketika mendengar suara denting khas dari pintu depan yang terbuka, disusul bunyi langkah yang berat. Samar, tapi masih bisa dia dengar. Sontak, perempuan itu mengangkat alis.
“Mas Sabda?” Shanum memanggil, tapi sama sekali tak ada jawaban.
Perempuan itu berdecak, berniat beranjak untuk mengambil ponselnya yang berada di meja. Namun, belum sampai Shanum memainkan ponselnya, Sabda tiba-tiba saja masuk ke ruang tengah dengan ekspresi yang bisa Shanum tebak; bermasalah.
Kali ini masalah apa lagi yang sedang dialami oleh pria itu?
Sabda berdiri di sana, terlihat lelah, juga agak marah. Shanum batal untuk memainkan ponselnya, dia lanjut duduk seraya meluruskan kakinya di bawah meja dan menatap Sabda dengan tatapan bertanya.
“Udah pulang?”
“Jelas, kan aku udah di rumah.”
Shanum tertawa menanggapi jawaban ketus itu, dia meraih gelas berisi jus buah. Sabda mendekat, lantas duduk begitu saja di samping Shanum. Perempuan itu tidak protes meskipun bau yang tercium dari badan suaminya terasa berbeda dari pertama kali Sabda ke luar.
“Kayaknya kamu capek banget, kenapa gak langsung mandi aja? Berendam di bathtub gitu. Biar rileks,” kata Shanum seraya mencomot brownies yang terhidang di depannya.
“Jangan banyak tanya, aku capek.” Sabda memejamkan mata. Punggungnya menempel pada sandaran sofa. “Kalau kamu nyuruh aku mandi sekarang, siapkan air panas untukku.”
“Gak sekalian minta mandiin?” tanya Shanum sarkastik.
Sabda tidak banyak tanya, dia membiarkannya. Tidak protes ataupun melarang. Mereka telah menyandang status sebagai suami-istri selama hampir empat tahun, jadi melihat satu sama lain telanjang bukan sesuatu yang baru.
PERTENGKARAN
“Kalau marah sama pacar kamu, jangan dilampiasin ke aku.”
Shanum memainkan gelas berisi jus buah di tangannya. Dia melirik sang suami lewat sudut mata. Sabda tampak mengembuskan napas panjang, kemudian meraih gelas dari tangan Shanum. Dia menyesap isinya.
“Ini jus dari buah-buahan yang kubeli waktu itu?”
“Yang mana lagi?”
“Suka nggak?”
Shanum mengernyitkan dahi. Sejak kapan apa yang Shanum suka atau tidak suka jadi penting untuk Sabda? Shanum tidak mengerti, dia pikir suaminya tidak akan pulang malam ini seperti malam-malam sebelumnya.
Sabda melepas jas hitam miliknya. Seluruh tubuhnya pegal seharian ini, ditambah harus menjemput Rania yang notabenenya adalah kekasih Sabda. Lalu Shanum? Dia istri sah, tapi keduanya sama sekali tak saling menginginkan.
Mereka menikah karena perjodohan semata. Meskipun begitu, mereka sepakat untuk tidak bercerai, saling membebaskan satu sama lain. Sejauh ini, hanya Sabda yang membagi hatinya dengan wanita lain, Shanum? Tentu saja tidak.
“Kenapa menatapku begitu? Kamu jangan ikut-ikutan rese. Aku lagi gak minat buat ribut sama kamu. Hari ini aku bener-bener capek.”
Bukan hal baru kalau Sabda dan Shanum bertengkar. Empat tahun hidup bersama, hanya pertengkaran dan amarah yang mendominasi rumah tersebut. Tak ada cinta dan kebahagiaan, tapi anehnya, Shanum masih tetap bertahan.
Sabda sempat berpikir kalau Shanum bertahan dengannya karena menginginkan harta semata. Padahal tanpa menikahi Sabda pun, Shanum sudah kaya raya sejak lahir.
Benar, pernikahan itu butuh ilmu. Ilmu untuk memahami, ilmu untuk mengelola ego, ilmu untuk tidak banyak menuntut, tapi bagaimana jika dia yang kamu nikahi enggan untuk berjalan bersamamu?
“Kenapa lagi? Kamu berantem sama dia? Bukankah ini bukan pertama kalinya? Kalo dia ngajak kamu berantem mendadak pasti ada sebabnya.”
“Dia nyuruh aku ketemu orang tuanya. Kamu sendiri juga tahu, Sha. Posisiku sekarang gimana, aku cuma belum bisa ngebuktiin aja. Terus kayaknya dia kecewa.”
Shanum menganggukkan kepala, seolah mengerti ke mana arah pembicaraan pria itu. Sabda dan Shanum tidak terlihat seperti suami istri, tapi teman yang menumpang hidup.
“Dia bilang, kalau aku gak mau datengin orang tuanya, berarti aku gak peduli sama hubungan ini. Apakah aku peduli atau nggak sama perasaan dia. Coba kamu pikir, ya, kalau aku nggak peduli sama dia, aku nggak akan bertahan satu tahun ini sama dia?”
Sabda bercerita tanpa merasa bersalah ataupun risih. Shanum pun sudah begitu terbiasa mendengar suaminya membahas hubungannya dengan wanita lain.
“Kalau aku jadi dia, sih, sudah dari lama aku buang kamu,” kata wanita itu cepat.
“Shanum!”
“Aku mau nyiapin air buat kamu mandi dulu.” Shanum memotong ucapan Sabda seraya bangun sofa yang sejak tadi dia tempati. Padahal kalau bisa memilih, lebih baik Shanum bersantai saja ketimbang melayani Sabda.
Dia santai saja melangkah menuju kamar mandi, di sana dia menghidupkan kran air panas dan menampungnya pada bathtub. Hanya sekejap, tidak sampai dua menit, bathtub tersebut sudah terisi oleh air hangat. Tidak lupa Shanum menambahkan busa khusus dan menyalakan lilin aromaterapi.
“Maksud kata-kata kamu tadi apa?” Sabda akhirnya bertanya, pria itu membuntuti istrinya ke kamar mandi.
“Menurutmu apa?”
Sabda tak tahan lagi. Setiap kali berdebat dengan Shanum, wanita itu akan dengan cepat membalikkan ucapannya. Dia sama sekali tak merasa bersalah sudah menyinggung perasaan Sabda.
“Menurutku, wajar kalau dia ngerasa kamu nggak peduli sama perasaannya.” Shanum meraih handuk di gantungan khusus dan menyodorkannya pada Sabda. “Kalau kamu peduli sama perasaannya, kamu nggak akan menempatkan dia dalam posisinya yang sekarang.”
Sabda tidak menjawab pun tidak menerima uluran handuk Shanum, akhirnya Shanum melipat tangan di dada, memandang dengan sorot mata menusuk.
“Tumben nggak jawab. Baru sadar kalau kata-kataku benar?” Shanum mulai menyudutkan Sabda. “Kamu ngerti nggak, posisinya yang sekarang yang kumaksud tuh apa?”
“Kurasa aku nggak mau ngomongin ini lebih jauh sama kamu.”
“Posisi yang kumaksud ya itu, jadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain. Kalau mau diibaratin pake kasta, buat sebagian besar perempuan, dia ada di kasta terendah, kasta paling hina. Sebab mana ada perempuan baik-baik yang pacaran sama suami orang?”
Emosi Sabda jelas tersulut saat Shanum dengan lantang mengatai kekasihnya sebagai orang paling hina. Pria itu jelas tidak terima jika ada orang yang menghina kekasihnya, sekalipun itu istrinya sendiri.
“Kamu jelas tau gimana situasinya buat kita. Semuanya rumit. Makanya kita sepakat soal ini kan? Aku bebas mau jalan sama siapa pun sesukaku, dan kamu juga bebas mau jalan sama siapa pun sesukamu. Selama ini nggak pernah ada masalah. Kenapa sekarang tiba-tiba kamu ikut marah sama aku?” Sabda menaikkan oktaf.
“Dulu memang aku percaya sama kata-kata kamu itu, tapi sekarang, kayaknya tidak lagi masuk akal.”
Shanum berdecih, menatap suaminya dengan tatapan tajam. Mansion ini mulai terasa bagai neraka. Sang Nyonya tak lagi merasa betah tinggal di dalam bangunan yang hampir menyerupai penjara, tempat di mana ia mesti menahan diri dan berpura-pura terlihat baik dalam kondisi hati yang berantakan.
Mahira Shanum, nyonya sekaligus istri Sabdatama Dzuhairi Nayaka yang menjadi satu-satunya ratu di mansion itu nyaris ingin melarikan diri. Empat tahun usia pernikahannya sama sekali tidak meninggalkan kesan yang baik. Dia harus menghadapi suatu kerumitan yang mau tidak mau harus dilewati sendirian.
Shanum dan Sabda memang sepakat untuk tidak melibatkan perasaan apa pun. Jangankan memiliki anak, berpelukan saja mereka tak pernah. Sabda begitu menjaga jarak darinya, tidak seperti Rania yang bebas memeluk pria itu kapan saja.
Sebagai seorang istri, sebenarnya Shanum bisa saja membeberkan fakta busuk yang selama ini Sabda lakukan di belakangnya. Namun saat ini, wanita itu memilih untuk diam sejenak sambil menikmati permainan.
“Kamu masih sepengecut itu, karenanya kamu nggak punya cukup keberanian buat memperjuangkan orang yang kamu sayang, nggak punya cukup keberanian untuk nemuin orang tuaku dan orang tuamu, terus bilang kalau selama ini kita nggak pernah hidup dalam rumah tangga yang normal, dan karenanya aku ngerasa lebih baik kalau kita pisah aja.”
Sabda meminta Shanum untuk berhenti mempermasalahkan hal ini, sampai kapan pun Sabda tidak akan pernah menceraikan Shanum. Dia juga yakin bahwa wanita itu tidak akan berani mengatakan keretakan rumah tangga mereka pada orang tuanya, tapi Mahira Shanum, tidak semudah itu mengalah untuk sesuatu yang menurutnya tidak adil.
Melihat keterdiaman Sabda. Akhirnya Shanum menghela napas. “Oke, kamu gak mau pisah sama aku, berarti selama ini kamu mulai jatuh cinta padaku. Makanya kamu tidak bisa memaksa dirimu untuk melepaskanku.”
Shanum menatap Sabda dengan tatapan mengintimidasi. Empat tahun jelas bukan waktu yang sebentar bagi keduanya membangun rumah tangga. Setidaknya Shanum berharap ada setitik rasa di hati Sabda, meskipun hanya sedikit saja.
Spontan, Sabda langsung terbungkam. Shanum mendekat, kali ini tubuh mereka saling berhadapan.
“Jadi yang mana kemungkinan yang benar, Mas Sabda?”
Bersambung…