Bagaimana jadinya jika kita berpacaran dengan seorang hantu wanita perawan?
Dimian Damatha Mckenzie, seorang mahasiswa semester akhir universitas ternama di Amerika harus menghadapi kejadian-kejadian supranatural dalam hidupnya. Hari-harinya selalu ia habiskan dengan makhluk-makhluk tak kasat mata.
Sampai akhirnya dia bertemu seorang hantu cantik yang berhasil meruntuhkan dinding pertahanan hatinya. Akankah mereka dapat bersatu di tengah perbedaan dunia yang nyata dan maya?
Ngocoks Ghost Virgin Woman – Di anugrahi kelebihan oleh Tuhan itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Tapi tidak untuk seorang Dimian. Bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata merupakan sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Jika kelebihan ini bukan karena keturunan, mungkin ia memilih tak ingin memilikinya sama sekali.
Di jauhi semua orang? Itu sudah hal biasa baginya. Orang-orang menganggapnya gila, aneh, dan lainnya. Itulah sebabnya mengapa dia menjadi seorang yang penyendiri dan pendiam. Apalagi setelah kepergian kedua orang tuanya 15 tahun lalu, masih menyisakan luka yang mendalam baginya.
Dan jangan remehkan kemampuan otak yang penyendiri. Dimian terkenal dengan kecerdasannya yang berbeda dari mahasiswa lainnya. Beberapa beasiswa dan penghargaan telah berhasil ia capai.
“Ah, ayolah, aku sedang tidak ingin bermain-main hari ini,”
Plakkk!!
Sebuah roh berubah menjadi abu dan pergi ke tempat seharusnya.
Dimian tidak hanya bisa melihat hantu, tapi dia juga bisa menyentuh bahkan mengirim mereka ke tempat yang seharusnya mereka berada, surga atau neraka.
“Dimi, kau sibuk?” seorang wanita berpenampilan feminim duduk di sebelahnya.
Dimian menoleh ke arah gadis itu, Felicia. Dia adalah wanita yang akhir-akhir ini Dimian taksir. Selain karena kecantikannya, Felicia juga termasuk mahasiswi yang cukup cerdas.
Keduanya menjadi sangat dekat dan akrab setelah dosen mereka memberikan tugas dan membagi kelompok.
“Fe-felicia, tidak, aku tidak sibuk.” Dimian sedikit gugup sambil tersenyum dan meletakkan buku yang sedang di bacanya.
“Baguslah, bagaimana kalau kita mengerjakan tugas kelompok kita?” ucap Felicia sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
“Ah, sungguh cantik wanita ini. Kulit putih yang bersinar, bibir pink merekah yang indah dan rambut pirang yang di gerai dan terkena terpaan angin membuat kecantikannya terlihat lebih sempurna.” batinku sambil memperhatikan wanita itu.
Tiba-tiba sebuah lambaian tangan membuyarkan lamunanku.
“Dimi, are you okay?” tanyanya sambil memandang lekat wajahku.
Buru-buru ku kembalikan pikiranku dan fokus kepada pertanyaan yang Felicia ucapkan.
“Ehem, I’m okay.” Mengalihkan pandangan ke arah lain.
Felicia mengangguk mengerti.
Aku bisa gila jika terus berada di samping wanita ini. Aura yang di pancarkannya benar-benar membuatku semakin ingin memilikinya. Tapi aku sadar, sebagai wanita yang menjadi primadona universitas, Felicia bukanlah wanita yang mudah bersanding dengan siapa saja. Apalagi dengan seorang seperti ku, yang berpenampilan sederhana dan bertempat tinggal di sebuah apartemen berukuran sedang.
Ku hapus jauh-jauh pikiran untuk mendapatkan Felicia. Karena tujuan ku masuk ke universitas ini adalah untuk mendapatkan nilai yang maksimal dan mendapatkan pekerjaan yang layak, bukan mencari cinta.
Kembali ku pasang wajah dingin tanpa ekspresi yang selalu aku tunjukkan ke semua orang.
“Dim, bisakah kita mengerjakannya di cafe atau di tempat lainnya, udara di sini sangat panas?!” ucapnya sambil mengibas-ngibaskan tangan ke lehernya.
Yaps, saat ini negeri Paman Sam memang tengah dalam musim panas. Semua orang pergi ke pantai untuk menikmati musim ini, entah itu untuk berjemur, bermain air, atau yang lainnya. Tapi tidak untukku, aku memilih musim panas untuk mengambil kuliah, dan musim dingin untuk beristirahat. Sejak kecil aku sudah tidak tahan dengan udara dingin, itu membuat ku sakit.
Aku berpikir sejenak memikirkan ucapan Felicia. Tentu aku tak tega melihatnya kepanasan seperti itu. Tapi aku tak dapat menuruti kata-katanya. Aku harus segera mungkin menjauhi Felicia dan menjaga hatiku agar tak terlalu dalam mencintainya.
“I’m sorry, aku ada kuliah hari ini. Lain kali saja kita mengerjakan tugas itu,” ucapku datar.
Felicia mengerucutkan bibirnya. Mungkin dia kesal dengan keputusan ku. Setidaknya itu yang ku lihat dari raut wajahnya.
Ku ambil ransel dan buku ku lalu berdiri hendak meninggalkan Felicia.
“Aku harus pergi, lain kali saja kita mengerjakan tugas itu. Lagi pula, Mr Kevin memberikan kita waktu 1 bulan untuk menyelesaikannya.” ucap ku, lalu pergi meninggalkan Felicia yang tengah duduk di kursi taman di samping universitas sendirian.
Kematian bukanlah hal yang diinginkan setiap orang, apalagi jika kau menjadi seorang hantu dan berkeliaran tanpa tujuan.
Mysha Caroline Addison, seorang hantu wanita perawan, berambut coklat kepirang-pirangan, tinggi semampai dan kulit yang putih bersih. Harus merasakan hal yang tak pernah terpikirkan dalam hidupnya. Menjadi seorang hantu bukanlah tujuan akhir dari hidupnya.
Lulus universitas dengan nilai baik, lalu mendapatkan pekerjaan dan menikah adalah impiannya. Kini angan itu harus ia kubur dalam-dalam. Tujuannya saat ini adalah pergi ke tempat seharusnya dia berada dan hidup dengan damai.
“Kau harus segera mencari laki-laki dengan energi positif yang cukup untuk membuatmu pergi ke surga secepatnya,” ucap seorang hantu pengantin wanita bertubuh gemuk di hadapannya sambil lahap menyantap makanannya.
Mysha berpikir sejenak. Akan sulit mendapatkan laki-laki yang memiliki energi positif yang cukup besar.
“Aku tidak tahu, apa aku bisa mendapatkan energi itu secepatnya? Bahkan aku sudah mencarinya selama 5 tahun,”
“Kau pasti bisa, Mys. Hanya itu cara yang membuatmu bisa pergi ke tempat yang seharusnya kau berada,” ucap Nathalie, hantu wanita berumur sekitar 30-an yang menjadi sahabat Mysha semenjak ia menjadi hantu.
Mysha tampak menimbang-nimbang ucapan Nathalie. Ia bahkan telah mencari laki-laki dengan energi positif itu selama 5 tahun semenjak kematiannya.
***
Kau tak pernah tahu rasanya hidup dalam kehampaan, tanpa keluarga, teman dan sahabat. Dari sana aku mulai berpikir, bahwa semesta tak berpihak pernah kepadaku. Bahkan yang lebih buruk dari itu, aku bahkan tak ingat bagaimana aku mati.
Ah, miris sekali bukan? Tapi aku bersyukur, aku mati bukan menjadi roh jahat yang menyimpan dendam kepada siapa pun.
Aku berjalan tanpa arah di tengah keramaian kota. Walau ramai, aku masih bisa merasakan bahwa aku tetap sendiri. Orang-orang berjalan melewati ku begitu saja, menganggap ku seolah-olah aku tak ada.
“Hei? Aku disini, para hantu hidup berdampingan dengan kalian.” ucap ku sambil melambai pada 2 orang pejalan kaki yang tengah asik mengobrol.
Ah, bodohnya aku, mereka bahkan tak bisa mendengar ku bicara. Aku berjalan dengan lesu, sampai sebuah tarikan energi kuat dari arah berlawanan berhasil membuat ku mendongkak.
Ku balikkan tubuh ku dan menatap laki-laki dengan ransel di punggungnya itu. Tubuhnya memancarkan aura positif yang selama ini aku cari.
“Benarkah dia?” ucapku sambil membulatkan mata.
Dengan rasa penasaran yang besar, ku putuskan untuk mengikutinya.
Laki-laki itu memasuki sebuah kompleks apartemen sederhana.
Hari yang cukup melelahkan. Aku pulang ke apartemen ku dengan berjalan kaki, karena memang jarak dari universitas ke tempat tinggal ku cukup dekat.
Tiba-tiba ku rasakan desiran halus di tubuhku. Tentu ini merupakan hal yang biasa bagi seorang anak indigo seperti ku. Perasaan itu terus mengikuti sampai aku telah sampai di apartemen ku. Ku putar bola mataku malas, seorang hantu tengah mengikuti ku.
“Apa hidup ku cukup menarik sampai-sampai kau mengikuti ku sampai ke sini?” ucapku dengan nada sedikit berteriak.
Aku terperangah mendengar ucapan laki-laki itu. Apa dia bisa melihat ku?
Tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan menatap lekat wajahku. Aku balas menatap manik mata coklat gelap itu dengan seksama.
Kedua netra itu saling mengunci satu sama lain.
“Oh my God, seksi sekali pria ini.” batinku saat melihat kancing kemejanya terbuka di bagian atas dan menampakkan dada atletisnya.
“Ah, mungkinkah aku dapat menyentuhnya dan mendapatkannya seutuhnya sekarang?” batinku sambil senyum-senyum sendiri membayangkan bisa melihat tubuh itu secara langsung.
“Astaga, apa yang ku lakukan?” Aku menepuk-nepuk pipiku agar tak menghayal lebih jauh.
“A-apa yang di pikirkan hantu itu?” Aku mengernyit heran saat melihat dia senyum-senyum sendiri.
“CK!” Aku memutar bola mataku malas. Benar-benar hantu gila.
“Hei, kenapa kau menguntit ku?” tanyaku yang penasaran.
Dia tampak salah tingkah saat ku tanyakan hal itu.
“A-apa? Aku tak menguntit mu,” elaknya sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Lucu sekali dia berkata seperti itu. Jelas-jelas dia menguntit ku. Ah, tapi saat ini aku sedang tak ingin berdebat dengan hantu. Jadi, ku putuskan untuk mengakhirinya.
“Baiklah,” aku berbalik dan hendak masuk ke dalam apartemen ku, tapi dia seperti menahan ku.
“Apa?” Aku menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu.
Dia tampak berpikir sejenak. Ku tatap intens wajah semu kemerahan itu.
“Cantik,” pikir ku sambil tersenyum. “Sebelumnya aku tak pernah bertemu dengan hantu secantik dia,”
Aku membelalakkan mata. “Astaga, apa yang ku pikirkan?”
“Emm … A-aku perlu bantuan mu,” tiba-tiba ucapannya mengembalikan fokus ku.
Aku mengangkat sebelah alis ku. Apa maksudnya bantuan? Bukankah hantu tidak memiliki masalah? Ah, sungguh tak ada waktu untuk memikirkan masalah orang lain. Masalah ku saja sudah cukup banyak.
“Aku tak ada waktu,” aku berbalik dan hendak membuka pintu, tapi dia tiba-tiba berada di dekat ku dan menahan tangan ku.
Sontak aku membelalakkan mata dan menatap ke arah tangan yang sedang di pegangi olehnya.
“Ma-maaf,” ucapnya kaku sambil melepaskan tangannya.
Aku menatapnya tajam sedangkan dia hanya tersenyum kaku. Lucu memang. Dalam hati aku tersenyum geli melihat tingkahnya.
Lalu aku masuk ke dalam apartemen ku dan menghiraukannya.
Bukan hantu namanya jika tidak tiba-tiba muncul dan mengagetkan seseorang. Begitu juga yang dilakukan oleh hantu wanita itu.
“A-apa yang kau lakukan di apartemen ku?” tanyaku saat melihat dia sudah ada di dalam apartemen.
“Aku mohon, bantu aku!” ucapnya dengan nada memohon.
“Tidak!” ucapku datar kemudian berlalu dari hadapannya.
“Arrghhh, menyebalkan sekali pria ini. Ingin rasanya ku hajar wajahnya lalu ku lipat-lipat dan ku makan saat jam makan malam nanti,” batinku kesal sambil mengacak-acak rambut.
Tapi, aku harus tetap optimis dan bersabar.
“Keep smile, Mys!” gumam ku sambil tersenyum terpaksa.
Lalu aku mencari pria itu.
“Hei, pria menyebalkan where are you?” teriakku sambil membuka semua pintu di apartemen kecil itu.
Tiba-tiba ku dengar suara gemericik air dari sebuah pintu berwarna biru tosca.
“Mungkinkah laki-laki itu sedang mandi?” tanya batinku.
Lalu aku menempelkan telingaku ke pintu itu dan fokus mendengarkan suara gemericik air. Aku mendengarkan dengan seksama suara itu. Hingga suara gemericik itu tak lagi terdengar.
Tanpa ku sadari ternyata pintu itu sudah terbuka lebar dan menampakkan sosok tinggi tegap dibaliknya dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
“Apa yang kau lakukan, hah?” tanyanya dengan tubuh yang sedikit basah.
Sontak aku mengembalikan posisi tubuhku dan berdiri kaku.
“Oh my God, seksi sekali pria ini. Tubuh atletisnya benar-benar membuatku semakin ingin menyentuhnya dan merasakan malam yang panas bersama.” ucap batinku sambil menatapnya tanpa berkedip.
Tiba-tiba sebuah lambaian tangan membuyarkan lamunanku.
“A-aku tak melakukan apapun,” mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Astaga, ini benar-benar gila. Kenapa aku harus melakukan hal bodoh seperti itu?” batinku sambil menepuk-nepuk dahi ku pelan.
Aku tertawa geli melihat tingkah wanita itu yang seperti ketahuan mencuri sesuatu. Di lihat dari cara berdirinya, dia sepertinya sangat gugup dan tak nyaman melihat ku bertelanjang dada seperti ini.
Aku lalu bergegas menuju kamarku untuk memakai baju.
“Hhuftt …”
Akhirnya aku bisa bernapas lega melihat laki-laki itu pergi ke kamarnya. Mengapa otakku selalu di penuhi oleh pikiran-pikiran yang menjijikan seperti itu? Apa ini akibat aku mati dalam keadaan masih perawan? Astaga, jika itu benar, aku benar-benar merasa 2 kali lebih menyesal karena sudah mati dalam keadaan seperti ini.
Aku menatap sekeliling ruangan ini. “Cukup rapi,” ucapku sambil mengangguk-angguk kagum.
Sambil menunggunya selesai memakai pakaiannya, ku putuskan untuk melihat-lihat ruangan itu.
Ku lihat sebuah album foto yang tergeletak di atas meja di depan sebuah tv berukuran sedang. Ku buka album itu perlahan.
Aku tertawa geli saat melihat sebuah foto yang menampilkan seorang bocah laki-laki dengan memakai pakaian ala superhero sedang tersenyum lebar.
“Mungkinkah pria itu?” pikirku.
Lalu kubuka lembar berikutnya dan kembali tertawa geli melihat foto-foto masa kecil yang ku pikir pria menyebalkan tadi.
Sampai di penghujung album. Aku melihat bocah itu sedang tertawa bahagia bersama 2 orang paruh baya. Yang ku tebak mereka adalah orang tuanya. Tiba-tiba aku teringat kedua orang tua ku yang entah siapa dan dimana. Ku usap foto wajah kedua paruh baya itu perlahan.
Tak terasa bulir air mataku jatuh. Membayangkan betapa bahagianya jika aku masih hidup dan tertawa bersama kedua orang tuaku. Sungguh, menjadi hantu bukanlah keinginan ku.
“Sepertinya kau menyukai foto itu,” tiba-tiba terdengar suara bariton yang mengagetkan ku. Sontak aku menghapus air mataku kasar.
Pria itu lalu duduk di sampingku dan menatapku heran. “Apa kau menangis? Ku kira menjadi hantu itu menyenangkan,” ketusnya santai.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. “Hantu juga punya perasaan,” balasku jutek.
Ku dengar dia hanya terkekeh kecil melihat tingkah ku yang mungkin menurutnya lucu, tapi sebenarnya menurutku tidak.
“Hei, kenapa kau masih di apartemen ku?” tanyanya.
Tentu pertanyaan itu membuat ku salah tingkah lagi. Benar, apa yang ku lakukan di apartemen seorang pria? Rasanya seperti wanita murahan saja. Tapi bukan itu, tentu saja aku ingin meminta bantuan pada pria menyebalkan ini.
“Sudah ku bilang, aku membutuhkan bantuan mu!” ucapku kesal.
“Kau pikir apartemen ku ini kantor polisi, hah?”
Aarrgghh, kenapa dia menyebalkan sekali?
“Aku ini hantu, kau pikir polisi-polisi itu bisa melihat ku, hah?” balasku yang tak kalah nyolot.
Dia berpikir sejenak lalu menatap ku tajam. Kali ini aku tak mau kalah, aku balik menatapnya tajam.
“Jangan menatapku seperti itu!” tegasnya.
Aku memutar bola mataku malas. “Kau yang memulainya duluan, tuan yang menyebalkan,” ucapku dengan nada meledek.
“Kenapa kau tak mencari laki-laki lain untuk kau ganggu? Kenapa harus aku?” bentaknya.
Sungguh, aku bukanlah tipe hantu yang suka di bentak-bentak. Aku sudah tidak tahan lagi menghadapi laki-laki ini. Sebaiknya aku mencari pria lain yang memiliki energi positif yang ku butuhkan dari pada dengan pria menyebalkan ini.
“Baik, aku pergi! Dasar pria menyebalkan,” umpat ku sambil bangkit dan hendak pergi dari apartemen itu.
Tiba-tiba aku tersandung kakinya yang entah sejak kapan ada di sana. Tapi untungnya pria itu menangkap ku dan sedikit memelukku. Aku membulatkan mataku dan menatap manik mata coklat itu. Alhasil kedua mata kami saling bertatapan tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulut kami.
Bersambung…
Leave a Reply