Cerita Sex Anugerah atau Malapetaka – Sejak kecil sampai tumbuh dewasa aku hidup di lingkungan keluarga berada. Orang tuaku memiliki harta yang berlimpah. Aku dan adik-adikku dimanja dengan materi. Aku pria yang biasa-biasa saja kulitku agak gelap, meski belum bisa dibilang hitam. Meski aku tidak putih, tetapi tubuhku proporsional, muka bersih tanpa jerawat. Tinggiku rata-rata saja sekitar 175 cm.
Satu hal yang mungkin kurang diperhatikan dari kedua orang tuaku. Kami anak-anaknya kurang diperhatikan pendidikannya. Aku lebih suka kelayapan bersama-sama teman dan berganti-ganti pacar. Sejak SMP aku sudah mengenal hubungan sex.
Mungkin karena tubuhku bongsor, sehingga aku tampil lebih dewasa dari umurku. Seingatku, aku melepas perjakaanku di kelas 2 SMP, aku dibujuk atau tepatnya digoda terus oleh salah satu saudara perempuanku.
Dia lebih tua 5 tahun dan hubungan family sebagai kakak sepupu. Waktu itu dia tinggal di rumah menumpang untuk melanjutkan kuliah. Anaknya lumayan cantik dan bahenol.
Ngocoks Di umur yang masih sangat muda, aku tentu belum berani agresif, Winny demikian nama kakak sepupuku yang terus berusaha mendekatiku dan akhirnya kami sampai melakukan hubungan badan. Semua dia yang mengajarkan, aku seperti kerbau dicucuk hidungnya menuruti ajakan nikmatnya.
Orang tua kami berpandangan modern dan bebas, sehingga mereka mengabaikan saja, meski tahu aku sering tidur sekamar dengan Winny.
Pengalaman ku bersama Winny yang membawa diriku menjadi ahli dalam pergulatan tubuh, membuat aku menjadi lebih berani dan aktif terhadap cewek-cewek di sekitarku. Kuakui Winny memiliki nafsu yang besar, dan seingatku sejak pertama hubungan dengan ku dia sudah lihai mempermainkan penisku. Mungkin dia sudah tidak virgin lagi pada waktu itu.
Dia pula yang mengajariku berbagai trik dan tips untuk memuaskan pasangan wanita. Darinya aku tahu bahwa wanita memiliki puncak kepuasan yang disebut orgasme. Bahkan dia menuntunku sampai dia mencapai orgasme yang paling puncak yaitu orgasme G Spot.
Di usia 15 tahun aku sudah sangat paham cara memuaskan wanita. Karena badanku yang bongsor, maka onderdilku juga tegap dan lumayan panjang. Untuk ukuran orang Indonesia penisku yang 17 cm termasuk gede dan lingkarnya gemuk, sehingga tampilannya sangat proporsional.
Winny mengajariku, sehingga dia pun ketagihan pada kemampuanku. Dia bahkan berterus terang, berhubungan dengan pacarnya yang kemudian menjadi suaminya, kurang memuaskan. Sehingga jika dia habis main dengan pacarnya di luar, pulangnya dia minta jatah untuk aku puaskan.
Dia bertahan, bahkan sampai menuju perkawinan karena keluarga cowoknya kaya dan katanya cowoknya sangat pengertian. Kehidupanku yang malang melintang menindih berbagai macam cewek, dari mulai abg sampai tante-tante.
Sejak umurku 15 tahun aku sudah memiliki mobil sendiri, dan uang jajan yang diatas rata-rata teman sebayaku. Urusan sekolah akhirnya aku abaikan sehingga aku drop out di kelas 3 SMA. Aku tidak peduli, karena uangku berlimpah, dan kawanku banyak.
Cerita kemewahan berakhir pelan-pelan sejak ayahku meninggal. Praktis keluarga kami tidak lagi memiliki penghasilan. Ibuku yang sakit-sakitan setahun kemudian juga mengikuti ayahku menuju alam baka.
Aku mendapat warisan yang lumayan, karena harta orang tuaku hanya dibagi berdua dengan adikku.
Kelihatannya milyaran rupiah dan harta property yang demikian banyak kumiliki cukup untuk menunjang hidupku. Namun nyatanya itu semua hanya bertahan 5 tahun.
Di akhir kehidupan mewahku, aku menjual mobilku dan kost di tempat yang tidak terlalu mahal. Dari kendaraan sport mewah di masa lalu, kini aku pasrah memiliki motor bebek yang kubeli dari teman dengan harga miring.
Mungkin karena tampilanku yang agak macholah maka aku tidak dijauhi para wanita. Teman-temanku dulu malah sering mengajakku berburu cewek. Aku yang diumpan agar cewek tertarik. Kelihaianku mengolah kata dan penampilanku yang simpatik, sulit ditolak oleh cewek mana pun yang kami dekati.
Aku memiliki teman-teman yang sama hobinya, yaitu ngewek kemana-mana. Kami bertiga bahkan sering menggarap seorang cewek. Semua biaya yang menanggung adalah Doni, karena dialah yang paling berduit.
Diantara sekitar 5 orang cewek yang sering kami jadikan obyek party sex, ada yang paling menggairahkan, dia adalah Winda. Bodynya paling bagus, mainnya paling oke, dan wajahnya cakep. Dia paling gampang diajak kerjasama, sampai sampai anus dan vaginanya kami pakai bersamaan, dia sih oke-oke saja.
Kelihatannya dia naksir aku. Itu kuketahui, dia sering diam-diam mengajakku kencan dan kami menyewa motel, dia yang membiayainya. Wajar saja, tampangku paling oke diantara teman-teman dan kemampuan sex ku juga diatas mereka semua.
Malapetaka atau anugerah, aku tidak tahu. Tapi yang jelas, Winda hamil dan dia menuduhku sebagai orang yang menghamilinya. Aku sudah berusaha berkilah, tapi Winda tetap bersikeras menuduhku yang menghamilinya.
Dia dan keluarganya meminta aku bertanggung jawab. Aku tidak sampai hati membeberkan kebiasaan kami yang sering party dengan Winda kepada orang tuanya..
Singkat cerita akhirnya aku menikah dengan Winda di usia kehamilannya 4 bulan. Keluarganya cukup berada, sehingga sebagai hadiah perkawinan, kami mendapat rumah kecil agak di pinggir kota lengkap dengan isinya.
Anakku kemudian lahir laki-laki dan ternyata ada kemiripannya dengan ku. Agak tenang juga hatiku, karena meyakini bahwa darah dagingku lah yang ada di Dimas demikian nama anakku.
Meski sudah memiliki anak, aku belum memiliki pekerjaan tetap. Pendapatanku hanya tergantung dari menjadi pialang orang mencari tanah atau rumah atau mobil. Syukurlah, Winda adalah wanita yang tangkas. Apa saja dikerjakan mulai menjual baju, tas atau apa saja.
Hasilnya lumayan juga buat menunjang kehidupan kami sehari-hari. Pendapatanku tidak menentu, kadang-kadang dapat duit banyak, tapi lama kemudian tidak pegang duit sama sekali.
Pergaulan Winda yang luas dengan ibu-ibu menyebabkan rumah kami sering didatangi pelanggan Winda. Ada saja yang diobyekkan Winda, sehingga bisnisnya tidak pernah putus.
Diantara ibu-ibu pelanggannya ada saja yang sering melirikku dengan pandangan penuh arti. Aku paham dengan pandangan seperti itu, tetapi karena mereka adalah relasi istriku, maka aku tidak berani macam-macam.
Suatu malam Winda menggamitku di tempat tidur. “ Pah aku mau ngomong serius, tapi papa janji jangan marah ya kalau tidak setuju,” katanya.
“Ngomong aja kok pakai janji segala, aku janji deh nggak bakalan marah, lagian mau ngomong apa sih,” tanya ku penasaran.
“Gini lho, papa tau enggak ibu Mira, janda yang sering beli barang-barangku. Dia kelihatannya tertarik ama papa. Aku iseng aja sebenarnya nawari, mau enggak jalan ama suami ku, Eh dia ternyata menanggapi serius. Dia malah mau kasi aku duit besar kalau dia bisa jalan sama papa,” kata Winda.
Jantungku berdetak kencang, karena terkejut, tetapi aku pendam sebisa mungkin agar nggak terlihat istriku. “Terus,” tanyaku.
“Ya itulah, papa mau nggak jalan sama dia, “ tanya istriku serius sambil meremas-remas batangku yang sudah makin keras.
“Lha mama gimana, apa nggak keberatan,” tanyaku pura-pura bloon.
“Nggak apa apa sih, yang penting papa mau, apalagi dia mau kasih duit gede, katanya,” kata istriku sambil mengelus-elus dadaku.
“Bener nih ma, nggak apa apa mama,”
“Ye orang gua yang nawarin, kok, ya nggak lah,” katanya.
Akhirnya kami berdua menyepakati untuk aku bersedia jalan sama Bu Mira.
Sekitar jam 11, ketika aku sedang santai di rumah dan istriku sudah jalan berbisnis, telepon masuk ke HP ku. “ Pa bu Mira sudah siap dia menunggu di hotel Cemerlang kamar 405, papa bisa enggak sampai di sana sekitar jam 12,” kata istriku dengan suara agak tergopoh-gopoh.
Hotel Cemerlang tidak jauh dari tempat tinggalku, sekitar 15 menit dengan sepeda motor, bisalah sampai di sana. Aku segera mandi dan mengenakan baju kaos ketat di padu dengan jeans. Penampilanku di usia 28 tahun terlihat kekar.
Kuketuk kamar 405 tepat jam 12 siang. Jantungku agak berdebar-debar. Bu Mira usianya sekitar 35 tahun, wajahnya ayu, dan tampilannya memang seperti ibu-ibu tajir. Dia mondar-mandir selalu nyetir sendiri Toyota Altis hitam. Aku sudah kenal dengan dia, tetapi tidak terlalu akrab,karena memang dia kolega istriku.
Tidak lama kemudian pintu terbuka, dan muncul wajah manis Bu Mira yang manis, “Eh dik, masuk-masuk, katanya menyilakan. Semerbak parfum menyergap penciumanku . Suasananya agak kaku, aku harus mengambil inisiatif untuk mencairkan suasana.
Kuulurkan tanganku dan dengan gerakan yang tidak diduga kutarik badannya sehingga aku langsung mencium pipi kiri dan kanannya. Kesan akrab kuusahakan menghancurkan kecanggungan. Mulanya Bu Mira agak terkejut, tetapi dia melemaskan badannya dan pasrah ke dalam pelukanku lalu merelakan kedua pipinya yang wangi untuk ku kecup.
Dengan merangkul pundaknya aku membimbingnya duduk di tempat tidur. Bu Mira wajahnya memerah, mugkin dia masih malu. “ Bu santai aja, kita kan sudah dewasa, dan pertemuan kita kan sudah disepakati, jadi nggak usah merasa canggung,” kataku.
Dia menatapku sejenak lalu mencubit, pahaku, “ Ah mas Dicky ini bisa aja, biar gimana saya kan perempuan, “ katanya masih dengan roman muka malu.
“Mau minum apa mbak,” aku menawarkan minuman sambil berdiri menuju lemari pendingin di bawah televisi kamar hotel. “Eh enggak usah dik, eh aqua aja lah, yang digelas .Aku mengambil segelas kecil aqua dan aku sendiri, mengambil sekaleng bir.
Aku memilih minum bir bukan mau sok-sok ke barat-baratan, tetapi aroma bir membuat bau mulut jadi agak menggairahkan. Siapa tahu aku nanti mengecup bibirnya, mulutku baunya jadi sensual.
“Gimana mbak bisnisnya, lancar,” tanyaku memecah keheningan sejenak. Bu Mira, seorang bisnis woman yang cekatan. Dia memiliki sebuah apotik dan satu minimarket. “ Yah biasa aja dik, ada naik turunnya,” katanya mencoba merendah.
“Mbak tiap hari sibuk dong ngontrol nya,” kataku sekenanya.
“ Ya itulah, kadang-kadang jalan macet yang bikin kesel, jadi rasanya badan cepet cape,” katanya. Tanpa menunggu komando kuraih kedua pundaknya lalu aku lancarkan pijatan ringan. Siapa pun akan merasa nyaman jika pundaknya dipijat, asal jangan terlalu keras.
Merasa pundaknya aku pijat dia mengubah duduknya sehingga posisinya membelakangiku. Aku terus melancarkan pijatan sampai ke punggungnya. Mbak Mira terlihat menikmati pijatanku sampai dia menggeliat-geliat. “Eh ternyata Mas Dicky pintar juga mijat,” pujinya.
“Kalau mbak mau saya pijetin deh seluruh tubuhnya,” kataku menawarkan.
“Mau dong, enak kok pijetannya nggak sakit,” katanya.
Aku lalu menyarankan agar dirinya mengganti baju dengan kimono yang tersedia di lemari hotel. Mbak Mira bangkit meraih kimono lalu masuk ke kamar mandi. Aku melepas celana jeansku , sehingga tinggal celana boxer dengan kaus ketat.
“Mbak tidur telungkup deh, biar bagian belakangnya dulu yang aku pijat,” kataku memberi arahan.
Mbak Mira tidur telungkup sambil menjaga kimononya agar tidak tersingkap. Inilah perempuan. Meski tujuannya dia mau memakaiku, tetapi rasa malunya tidak bisa dia hilangkan. Aku maklum, memang begitulah perempuan, pembawaannya di awal selalu munafik.
Setelah berbaring telungkup aku memperbaiki posisi kimononya agar menutup tubuhnya maksimal. Dia membantu dengan mengangkat sebagian tubuhnya sehingga kimononya bisa lebih banyak menutup bagian bawahnya. Kedua tangannya menjulur kebawah.
Aku mulai memijat bagian telapak kakinya sambil menyesuaikan tekanan pijatan yang dia rasa nikmat. Mbak Mira tubuhnya ternyata mampu menerima pijatan yang agak keras. Kedua kakinya aku garap sampai batas lutut. Badannya mulai melemas dan pasrah oleh olah pijatku. Namun karena tidak ada cream maka pijatanku kurang maksimal.
Aku meraih tube cream body lotion yang memang tersedia di kamar hotel lalu kubalurkan ke bagian betisnya. Mbak Mira menggeliat-geliat menikmati pijatanku antara nikmat dan sedikit rasa sakit. Dari tekanan pijatanku terasa di beberapa tempat uratnya mengeras. Itu menandakan pimiliknya jarang dipijat dan terlalu banyak jalan.
Ketika kutanyakan hal itu, dibenarkan mbak Mira. “ enggak nyangka lho kalau dik Dicky pintar mijet, tahu gitu saya udah dari dulu minta dipijat dik Dicky,” ujarnya. Pijatanku mulai naik ke bagian paha, dengan menelusupkan tanganku dibawah kimononya. Aku menjaga tak sampai dekat dengan selangkangannya.
Bersambung…
Leave a Reply