Cerita Sex Anak Petani (Dangau) – Aku berusaha mengingat kembali masa kecilku ketika masih di desa, menjadi anak petani, hidup di tengah sawah dan bermain diantara tanaman kebun dan sawah. Aku tidak bisa mengingat lebih jauh, tetapi ingatanku masih bisa kugali sejak aku kelas V SD.
Pada masa itu aku paling senang main di sawah, mencari ikan, belut, kadang-kadang mengumpulkan keong untuk direbus dan dimakan. Bahkan memburu belalang yang cukup besar lalu kami bakar. Rasanya mirip udang bakar.
Makan tebu dan mengupasnya hanya dengan gigi, mangga muda kuat melawan rasa asamnya dan petai cina muda, terasa nikmat saja manakala digulung dan di cocol garam lalu dimakan dengan menceplus cabe rawit.
Aku ingin bercerita masa-masa aku membantu menjaga padi yang mulai menguning di sawah. Di tengah sawah dibangun sebuah dangau yang agak tinggi. Dangau itu berfungsi sebagai tempat berteduh dan juga mejadi pusat pengendali orang-orangan yang digunakan untuk mengusir burung pipit yang memakan padi.
Dari dangau itu terjulur tali ke berbagai arah. Sehingga jika ditarik, orang-orangannya akan bergerak-gerak dan burung yang memangsa padi muda akan kabur.
Ngocoks Sawah-sawah itu memang milik orang tua ku, tetapi dikerjakan oleh orang yang dibayar orang tuaku. Aku tidak ingat berapa luasnya, tetapi menurut amatanku cukup luas juga. Di sekitar dangau tumbuh pepohonan seperti melinjo, jambu biji, lamtoro atau petai cina dan aku lupa pohon apa lagi.
Pada waktu itu tidak ada mainan play station, televisi saja masih siaran TVRI dan itupun gambarnya di rumahku tidak jernih. Pulang sekolah biasanya sekitar jam 1 selesai makan siang aku langsung meluncur ke sawah. Biasanya aku menghampiri sahabatku, Adi.
Dia sebayaku. Sebetulnya ada juga teman-teman lainnya tetapi kami tidak selalu bersama mereka. Adi dan aku selalu berdua kemanapun kami main di desa. Dia sebayaku, hanya beda sekolah saja, tapi sama-sama kelas V.
Kami berdua sering berada di dangau jika musim padi mau panen. Kami berdua jika tidak ada kesibukan biasanya kami mengocok penis. Aku tidak ingat nama temanku yang mengajari kami mengocok. Tapi pada waktu itu kami sedang berlima mandi di sungai dekat sawah itu.
Karena jauh dari keramaian, jadi selalu kami mandi telanjang. Air sungainya jernih dan sungainya tidak terlalu besar, mungkin lebarnya sekitar 5 m. Kami membuat gua di tebing sungai itu, yang kemudian menjadi tempat istirahat jika kami lelah berenang.
Disitulah temanku yang aku lupa namanya itu mengajari mengocok peler. Kami biasanya berlomba siapa dulu yang bisa mencapai klimak. Aku masih ingat, pada waktu itu aku belum mengeluarkan mani jika klimax. Jadi tidak ada ejakulasi sperma. Tidak ada rasa malu dan kami bermain fun-fun saja.
Karena rasanya nikmat jadi jika aku berdua dengan Adi di gubuk dangau kami sering mengocok. Bangunan dangau berdinding setinggi 1 m dan agak tinggi. Dibawahnya biasanya digunakan untuk pekerja berteduh. Kami di dangau bisa melihat orang di kejauhan, tetapi orang sulit melihat siapa yang ada di dalam dangau.
Oleh karena itu kami bebas melakukan apa saja di dangau yang luasnya 2 x 2 m. Sering kali kami bikin rujak, makan tebu. Atau hanya ngobrol atau membuat sesuatu di situ. Jarak dangau ke rumah ku sekitar 1 km.
Kawan sepermainan kami di rumah diantaranya ada cewek-cewek juga. Mereka biasanya bergabung jika malam hari kami main berbagai permainan. Diantara temen cewek, ada yang sebayaku, namanya Dina.
Anaknya boleh dibilang tomboy, karena suka permainan laki-laki seperti main layang-layang, memanjat pohon dan main mobil-mobilan. Apalagi potongan rambutnya pendek. Dia memang seperti anak laki-laki.
Ketika itu kami bermain tidak membedakan laki-laki atau perempuan, karena memang belum ada rasa malu atau senang terhadap lawan jenis. Pikiran anak-anak fokusnya hanya bermain dan sekolah.
Aku ingat Dina pernah ingin ikut aku dan Adi ke sawah. Kami sebetulnya agak kurang sreg kalau dia ikut, tetapi sulit juga menolaknya. Kemudian kami bertiga bermain di dangau. Kami tidak bisa lagi mengocok setelah si Dina ikut main di dangau.
Kami sering membuat rujak, dan si Dina yang membuat bumbunya. Dia pula yang membawa layah dari tanah liat dan ulegan annya yang terbuat dari kayu, juga dibawa garam dan gula merah. Kami memetik buah-buahan yang ada di sekitar sawah. Kalau tidak musim buah, biasanya kami membuat rujak bebeg.
Kebetulan aku punya lumpang kecil dari kayu di rumah dan alunya juga kecil, yang memang untuk menumbuk rujak. Bahannya hanya garam, cabai rawit, petai cina muda, nangka yang masih sangat muda, jambu klutuk. Makanan seperti itu rasanya nikmat sekali.
Menurut Dina permainan kami di dangau itu asyik, sehingga dia pun selalu ikut kami jika ke dangau. Suatu hari aku dan Adi ingin berenang di sungai dekat sawah. Waktu itu ada Dina juga. Mulanya dia tidak kuajak, karena kami kalau mandi sungai selalu telanjang.
Tetapi dia merengek mau ikut berenang juga. Karena sulit dicegah akhirnya ya dia ikut. Berjalan sekitar 10 menit kami sampai di tepi sungai yang memang kami buat khusus untuk pemandian kami. Letaknya agak rimbun dan bagian itu adalah kelokan sungai.
Aku dan Adi melepas semua pakaian lalu kedua tangan kami menekap kemaluan dan terjun ke air. Dina membuka kaus oblongnya. Di balik kaus oblong itu tidak ada apa-apa lagi sehingga kami bisa melihat kedua teteknya yang masih kecil dan agak menggembung sedikit. Kemudian dia membuka celana pendeknya.
Masih ada celana dalam lagi. Dia mau terjun ke sungai dengan tetap menggunakan celana dalam. Tetapi kami cegah, karena nantinya celana dalamnya akan basah dan membasahi celana luarnya. Jadi saran kami berdua dia buka saja celana dalam itu dan masuk ke air dengan menutup kemaluannya seperti kami tadi.
Rupanya ide itu dia terima, Dia berbalik, sehingga kami melihat pantatnya, dia menurunkan celana dalamnya lalu setelah mendekap kemaluannya dan tangan yang satu lagi menutup buah dadanya dia masuk ke dalam air.
Kami berendam di air sungai yang segar, dengan hanya menyisakan kepala saja. Aku dan Adi ternyata mempunyai perasaan yang sama, penis kami menegang melihat tetek kecil tadi. Apalagi kemudian memikirkan Dina telanjang.
Aku dan Adi bergantian menyelam dan kesempatan di bawah air itu kami jadi bisa melihat memek Dina. Mulanya dia tidak menyadari. Namun lama-lama dia tau juga dan setiap kami menyelam dia menutupi memeknya.
Aku bilang ke dia, ngapain malu, karena kita bertiga sama-sama telanjang. Kalau dia mau melihat kontol kami, aku dan Adi tidak keberatan kok. Kontol kami memang masih kecil, karena memang usianya belum genap 11 tahun. Tapi aku dan Adi sudah bersunat.
Kontolku dan punya Adi sudah mengeras di dalam air. Si Dina cekikikan sendiri ketika menyelam melihat penis kami menegang. Kata dia lucu kaya buntut, tapi letaknya di depan. Mungkin pada saat itu dia tidak mengetahui bahwa penis laki itu bisa tegang dan bisa kuyu.
Pepek si Dina juga masih licin belum berjembut seperti juga kami berdua. Bentuknya hanya seperti pantat tetapi ukurannya lebih kecil dan letaknya di depan agak menongol. Entah apa yang mendorong Dina dia katanya ingin melihat kami punya di atas.
Aku dan Adi rasanya masih malu juga kontol kami dilihat cewek, apalagi masih dalam keadaan tegang. Tapi kami juga ingin melihat lebih jelas memek si Dina juga.
Ide nya Adi, adalah kami bertiga keluar dari air bersama-sama dan tidak boleh menutupi kemaluan. Adi bertanya ke Aku aku setuju aja, karena jadi ada peluang melihat memek Dina. Mulanya dia keberatan, tetapi setelah kami ancam dia tidak boleh ikut dengan kami lagi main ke dangau akhirnya dia menyerah.
Kami bertiga berjalan kearah yang lebih dangkal dan saling tungu-tungguan untuk keluar dari air. Akhirnya Adi memberi aba-aba dangan hitungan 3 semua harus sudah mentas. Naiklah kami bertiga ke tepian sungai.
Sehingga aku dan Adi bisa melihat pepek si Dina yang gemuk dan teteknya yang mengkal kecil lalu Dina pun memperhatikan kedua penis kami. Kebetulan Adi kulitnya lebih hitam dari ku dan badannya lebih tegap, sehingga penisnya lebih besar dari aku punya.
Kami punya berdua ngacung, dan jika di bawa jalan maka akan menunjuk ke kiri dan kekanan. Idenya Adi juga mengajak beristirahat di gua yang sering kami gunakan untuk mengocok. Biasanya kami mengocok penis kami dari keadaan loyo sampai bangun dan sampai puas.
Namun Adi mengajakku mengocok, karena memang aku juga terangsang. Aku tidak begitu menyadari bahwa rangsangan itu adalah karena aku melihat Dina telanjang.
Adi lalu bercerita bahwa kami sering melakukan balapan mengocok di sini. Tangan Adi mulai menggenggam penisnya dan dia sudah melakukan kocokan. Aku pun mengikutinya. Dina memperhatikan tingkah laku kami. Mungkin ini adalah pemandangan baru baginya. Aku pun baru pertama kali ini mengocok dilihat cewek.
Rasanya kali ini kami berdua lebih cepat orgasme dari pada biasanya. Ketika sampai di puncak aku dan Adi secara tidak sadar mengerang nikmat. Dina makin heran melihat kelakuan kami. Dia bertanya soal kelakuan kami mengerang itu. Kami katakan terus terang bahwa dengan mengocok itu akhirnya kami merasa nikmat sekali.
Selesai mengocok penis kami berdua jadi mengecil dan kuyu. Dina kembali bertanya kenapa penis kami berubah kecil. Bagi kami itu adalah hal yang lumrah, dan tidak pernah terpikirkan, tetapi bagi Dina itu aneh. Kami jadi menjelaskan bahwa jika kami sudah memuncak, maka penis akan kecil dan lemes lagi.
Setelah itu kami kembali terjun ke air. Setelah orgasme rasanya air sungai menjadi lebih dingin sehingga aku dan Adi kembali mentas dan menyudahi mandi. Dina juga ikut-ikutan. Dia sudah tidak malu lagi melenggang di depan kami dalam keadaan telanjang, karena kami pun sudah tahan malu.
Itulah peristiwa pertama yang kemudian diikuti oleh peristiwa yang hampir sama di kemudian hari. Berikutnya kami juga selalu ngocok. Ideku kemudian adalah minta dikocokin oleh Dina. Pada waktu itu dia ragu, tetapi setelah dipaksa dengan ancaman tidak kami ajak lagi, akhirnya dia mau juga.
Tapi memegangnya hanya dengan ujung jari pada awalnya sehingga tidak nikmat rasanya. Aku mengajarinya agar penisku digenggam. Dia menuruti dan menggenggam penisku. Dikocok tangan cewek rasanya jauh lebih nikmat dan aku cepat sekali mencapai orgasme. Adi pun jadi ikut-ikutan.
Kami jadi terbiasa dengan ritual itu, bahkan perbuatan itu kami lakukan di atas dangau manakala situasi di persawahan sepi. Aku biasanya telentang dengan hanya menurunkan celanaku dan si Dina mengocoknya sampai aku puas. Adi giliran berikutnya. Nikmatnya luar biasa membuat aku dan Adi jadi ketagihan di kocok si Dina.
Ini adalah rahasia kami bertiga yang kami jaga rapat-rapat dan tidak boleh diceritakan kepada orang diluar kami. Itu kesepakatan yang tidak tertulis. Sebetulnya aku ingin bercerita kepada teman lain karena sesungguhnya ada rasa bangga juga.
Setelah banyak kali melakukan itu, aku jadi penasaran ingin melihat memek Dina dari dekat. Dia agak keberatan, tetapi setelah aku bilang tidak adil, karena dia sudah memegang kontol kami berkali-kali, kami tidak dibolehkan memegang memeknya.
Dia menyerah juga dan membuka celananya, dengan hanya menurunkan sedikit. Mulanya kami menerima posisi itu dan tanganku serta tangan adi bergantian menekan-nekan gundukan memeknya dan membelek belahannya.
Namun karena kakinya tidak bisa dikangkangkan, maka kami tidak bisa melihat bagian dalamnya. Aku tarik celana Dina sampai terlepas dari kedua kakinya. Dia menjerit terkejut. Dan berusaha menutupi memeknya.
Tetapi tangannya kami angkat dan kakinya direnggangkan, aku duduk bersimpuh di antara kedua kakinya dan mulai membuka belahan memeknya. Dina mengatakan aku agar pelan-pelan karena dia merasa sakit memeknya di belek demikian. Aku ikuti kemauannya. Aku dan Adi melihat bagian memeknya yang memerah.
Setelah membuka belahan memek Dina aku baru tahu bahwa lubang memeknya ada di bagian bawah. Semula aku mengira lubang kencingnya ada di bagian depan.
Pada waktu itu aku tidak tahu yang mana lubang kencing dan mana vagina. Lubang vagina itu aku kira adalah lubang kencing. Aku penasaran pula melebarkan lubang itu, tetapi Dina mencegahnya karena sakit katanya.
Tanganku menjamah-jamah bagian dalam memeknya yang rasanya basah dan agak bau pesing. Namun karena pikiran dikuasai nafsu jadi rasa jijik nya berkurang. Tanpa pengatahuan dan tidak ada kesengajaan aku menyentuh bagian clitorisnya.
Setiap kali tersentuh Dina berjingkat, aku sentuh lagi dia berjingkat. Aku tanya kenapa dia begitu, katanya geli, tapi sedap juga. Akupun lalu mengucek-ucek bagian clitoris yang pada waktu itu tidak kutahu. Aku senang karena Dina kemudian merintih-rintih pula seperti aku ketika penisku dikocok.
Aku uyel-uyel terus sampai lama karena senang mendengar rintihan Dina. Kemudian dia menarik tanganku menjauhi pepeknya dan tangannya menekap memeknya sambil badannya berjingkat-jingkat seperti jika kami mencapai kepuasan.
Aku baru tahu pada waktu itu bahwa perempuan juga bisa mencapai kepuasan seperti laki-laki ngocoks. Sebelumnya sama sekali aku tidak tahu bagaimana jika perempuan mengocok, apanya yang dikocok, karena tidak punya penis. Setelah itu tahulah aku dan Adi bahwa perempuan juga bisa dikocok.
Jadi begitulah rekreasi kami berikutnya, mandi telanjang saling memberi kepuasan dan merujak di dangau. Sampai aku kelas VI hanya begitu saja kami melakukannya. Belum ada pengetahuan mengenai hubungan kelamin. Mungkin anak sekarang seumuran aku dulu sudah paham bersetubuh.
Ketika kelas VI tetek Dina sering akur remas-remas kalau kami mandi disungai dan aku peluk di dalam air. Tentu saja penisku yang berdiri menusuk belahan pantatnya. Rasanya nikmat sekali.
Aku karena naluri saja melakukan gerakan seperti orang bersetubuh menusuk-nusuk pantat si Dina sampai aku puas. Dina diam saja dan menerima perlakuan itu tanpa keberatan. Mungkin dia merasa syur juga karena teteknya sering aku remas-remas dari belakang dan kadang-kadang pepeknya juga aku remas.
Setamat SD orang tua ku pindah ke kota dan aku bersekolah di kota yang jauh dari desa itu. Dengan begitu berakhirlah cerita roman ku dengan Dina. Aku Dengar Adi pun tidak meneruskan karena mereka tidak bisa lagi main di dangau
Leave a Reply