“Berapa lama kalian saling mengenal?”

“Satu tahun,” jawab Sabda tanpa harus berpikir. “Sekarang menginjak dua tahun.”

Pria tua itu menarik napas dan tetap saja terasa berat. Ditatapnya Sabda dengan ekspresi penuh kecurigaan. Pria itu tidak lain adalah ayah Rania. Ya, Sabda datang menemui orang tua kekasihnya.

Sepulang dari Bali, Sabda sudah mengatur penerbangan selanjutnya menuju Jakarta untuk menemui ayah Rania. Awalnya, Rania tidak percaya bahwa Sabda benar-benar menepati janjinya untuk menemui sang ayah.

“Jadi, kamu adalah seorang pengusaha?”

Alam – Ayah Rania – masih terus bertanya, tapi suaranya tetap terdengar mantap dan kokoh. Tidak menunjukkan kalau beliau mengintimidasi Sabda, dia ingin pria itu tidak tegang saat berhadapan dengannya. Lagipula Alam tidak akan bertindak gegabah.

Neglected Paradise (End)
Neglected Paradise (End)

Ngocoks Justru jantung Rania yang berdebar. Dia takut sang ayah akan bertanya macam-macam dan menolak Sabda, apalagi melihat raut wajah ayahnya yang penuh keraguan.

Tadinya Rania masih betah berada di Bali. Namun, Sabda sudah mengatakan bahwa sudah saatnya dia menemui orang tua Rania yang saat itu hanya tinggal ayahnya seorang. Rania tidak punya ibu.

Wajar saja kalau Alam sedikit over protektif pada putrinya. Dia hanya ingin Rania tidak salah pilih, tapi melihat siapa pria yang duduk di hadapannya saat ini, tampaknya pilihan Rania sekarang tidak begitu buruk.

“Pantas saja, kamu pasti sibuk belakangan ini, putriku sudah sering cerita bahwa kamu nyaris tak punya waktu untuk berada di rumah,” kata Alam.

“Iya, benar. Om. Sebenarnya tidak banyak juga, hanya saja itu sudah menjadi kewajibanku untuk menyelesaikannya.”

Satu tahun lima bulan. Rania merapal dalam hati. Rasanya sudah selama itu mereka bersama. Rania masih tetap bertahan bersama Sabda.

Bahkan selama itu pula, Sabda berhasil menutup identitasnya rapat-rapat. Beruntung Rania bukan tipe perempuan yang egois dan gampang kepo seperti Shanum, begitu katanya. Semua kenyamanan yang Sabda cari bisa dia temukan dalam diri Rania.

Sabda jelas lebih banyak hidup dalam bayangan Rania dibanding dengan Shanum.

Walaupun ketika Sabda jatuh sakit yang repot merawat pria itu sampai sembuh adalah istrinya sendiri, bukan Rania.

“Bagaimana kehidupan kalian?”

Sebenarnya Sabda malas membahas hal ini, tapi karena tidak mau membuat ayah Rania curiga. Lebih baik Sabda mengalah dan menjawab apa pun yang pria itu tanyakan.

“Seperti halnya pasangan kebanyakan, Om. Kami juga sering ribut karena hal-hal kecil, tapi saya berusaha untuk selalu memahami Rania.”

Rania mulai tertawa pelan hubungan mereka memang sungguh menarik. Perbedaan usia yang cukup jauh juga menjadi penunjang keunikan tersebut. Rania seperti mengencani sugar daddy.

“Papa, ini sudah satu jam lebih, kenapa Papa masih bertanya-tanya ke Mas Sabda terus? Kasihan dia sudah jauh-jauh datang ke sini, harusnya biarkan dia istirahat.”

Alam menghela napas mendengar ucapan putrinya. Wajar kalau Alam bertanya terus, tujuan Sabda datang memang untuk menemuinya, tapi sepertinya Rania benar, setidaknya Alam harus membiarkan pria itu beristirahat sebentar.

Mereka sudah jauh-jauh datang, bahkan membawa banyak buah tangan untuk Alam. Itu pun Rania yang memilihkan, anaknya jelas lebih tahu apa yang ayahnya sukai. Tapi, bukankah tujuan Sabda datang ke rumah Rania memang untuk bertemu ayahnya? Jadi, wajar saja kalau Alam menginterogasi pria itu terus.

“Papa hanya menanyakan hal-hal dasar saja kok, Sabda pasti tidak keberatan dengan pertanyaan papa, iya ‘kan?” Kali ini Alam menatap Sabda lagi.

Sabda mengangguk dan tersenyum, dia tidak keberatan dengan itu. Justru Rania yang tidak enak hati pada kekasihnya karena merasa sedang diinterogasi oleh ayahnya.

“Jangan cemas begitu, Papa tidak akan mengusirnya dari rumah.”

Alam bangkit dari duduknya, membiarkan mereka berdua mengobrol. Sebelum Alam pergi, pria itu berbalik ke arah Rania dan menyahut.

“Nanti malam kita bicarakan ini lagi, pasti Sabda juga ingin mengatakan sesuatu pada Papa.”

Rania dan Sabda mengangguk mendengar hal itu, kemudian Alam pergi dari ruang tengah meninggalkan mereka berdua.

***

Pagi ini suasana di rumah tampak hening. Shanum sebenarnya benci berada dalam situasi ini. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Sabda masih sulit dihubungi sejak kemarin. Ini hari ketiganya terbaring lemah di kasur.

“Sampai kapan aku harus memijat kakimu seperti ini terus, Kak? Bukankah kakak harus minum obat sekarang?”

Suara Khalil bergema, membuat Shanum menarik napas sekejap dan menaikkan bahunya acuh.

Hari ini Shanum menyuruh adiknya datang untuk menjaga Shanum karena dia sendirian di rumah. Tadinya dia ingin meminta ibunya untuk datang. Namun, beliau sedang ada urusan mendesak. Jadi Khalil yang diutus untuk menemani Shanum sementara.

“Nanti. Pijat yang itu, lebih keras lagi!” titahnya seraya menunjuk kaki kiri Shanum dan Khalil dengan malas memijat bagian itu.

“Makanya jangan suka begadang, jadinya sakit, ‘kan? Apalagi Mas Sabda jarang di rumah. Siapa yang merawat? Ah, tapi sekarang aku akan menjaga kakak dengan baik, tenang saja.”

“Ya ampun anak ini. Kamu pasti sedang ada maunya, ya?”

Khalil meringis. “Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku, Kak. Aku tidak mau badanmu yang berisi itu menyusut dalam semalam.”

Khalil menunjuk tangan Shanum yang putih dan gempal, merasa tidak berdosa sama sekali karena secara tidak langsung dia mengatai kakaknya gendut.

Padahal Shanum sudah rajin olahraga dan diet seimbang, kenapa anak itu masih saja mengatainya gendut? Shanum mendesis, dia menyenderkan punggungnya di sandaran ranjang.

“Enak saja, sudah beberapa hari ini kakak sakit, berat badanku sudah turun sampai beberapa kilo, tapi kamu malah mengataiku gendut.”

“Memangnya kakak belum makan apa pun pagi ini?”

Shanum tertawa sumbang. “Gak selera, tapi kakak mau makan ramen pedas dengan es jeruk. Gimana, kamu mau buatkan itu?”

“Makanan apa itu? Orang sakit tidak boleh makan sembarangan. Bagaimana jika kakak ipar marah?!”

“Hei, aku yang sedang sakit kenapa suamiku yang harus marah? Dia sibuk kerja dan aku tidak berselera makan bubur dan makanan lembek lainnya. Aku hanya mau makan makanan pedas.”

Khalil terdiam beberapa saat. Dia sudah kebal menghadapi segala tingkah cerewet kakaknya. Kadang Khalil bersyukur ada pria yang mau menikahi Shanum. Dulu Khalil berpikir tak akan ada pria yang mampu bertahan dengan perempuan cerewet seperti kakaknya.

Kini tatapannya mengarah pada wajah Shanum yang sedikit bengkak dan memerah, dia tahu ada yang tidak beres di sana.

“Kakak habis menangis?”

“Memangnya kenapa kalau aku nangis?”

“Kalau kakak habis menangis, wajahmu jelek sekali seperti—“

Shanum berdecak. “Mulutmu macam tak pernah sekolah saja. Kakak baik-baik saja. Hanya sakit kepala, makanya ekspresiku begini. Nanti juga sembuh lagi, ini semua karena Mas Sabda terlalu sering memberi kejutan.”

“Kejutan? Kejutan apa?” Khalil tampak tertarik dengan itu.

Padahal kejutan yang Shanum maksud bukan sesuatu yang spesial, tapi menyakiti. Sabda membuat pernikahan itu layaknya neraka tanpa jalan keluar. Setiap kali Shanum hendak pergi, Sabda selalu punya ribuan cara untuk menahannya.

Sebenarnya Shanum juga berat jika harus berpisah dengan Sabda. Terlebih dia memikirkan perasaan mama Diana. Sungguh ironis, jika Shanum harus bercerai dalam keadaan masih suci tanpa pernah disentuh.

Mau tahu apa yang lebih menyedihkan daripada tidak kunjung menikah di usia sangat dewasa? Menikah, tapi hidup seperti di neraka.

Tidak mungkin dia mengatakan itu pada Khalil.

Shanum meringis dan menatap sekeliling kamar yang luas. Mencari jawaban atas pertanyaan sang adik.

“Sudah lama, sih. Dia membelikanku mobil baru, dia juga membelikanku tas mahal yang harganya di atas tiga puluh juta,” katanya mengiming-imingi. Lihat saja sekarang mata Khalil seperti hendak keluar dari tempatnya.

“Ah, sial!” keluhnya menggerutu. “Harusnya aku yang menikah dengan kakak ipar!”

Shanum tertawa lepas mendengarnya. Khalil memang penghibur di setiap suasana.

“Tapi, apa karena itu kakak menangis?”

“Tentu saja, kakak sangat terharu. Ngomong-ngomong, kakak sudah punya mobil, bagaimana jika mobil yang satu lagi kakak berikan untukmu?”

“BENARKAH?!”

Pijatannya pada kaki Shanum makin mengencang membuat wanita itu harus menggeplak tangan Khalil karena sakit.

“Mobil yang berwarna merah mengkilap itu?” Khalil tampak berbinar. “Ah, sudahlah. Jangan pikirkan dulu mobil itu. Lebih baik kakak istirahat. Jangan membuatku merasa bersalah. Mulai sekarang berhenti ngasih aku barang mahal. Kelak aku bakal lebih kaya raya dari ayah. Jangan khawatir aku bisa beli mobil lebih bagus dari itu,” cerocos Khalil kalang kabut.

“Ya ampun, adikku sudah dewasa.” Shanum tertawa lagi melihat ekspresi adiknya. Kadang dia bisa menyebalkan dan menyenangkan di waktu bersamaan.

“Memangnya kapan aku tidak dewasa?” tanyanya dengan suara kesal. “Sebaiknya orang sakit jangan banyak menangis dan bekerja, nanti kakak bisa dehidrasi. Kalau sampai kakak berubah jadi jelek, Mas Sabda pasti akan marah.”

“Aku mengerti, adik bungsu.”

Shanum geleng-geleng kepala. Adik laki-lakinya memang cerewet tidak jauh berbeda dengannya.

“Apa kakak sudah menelepon Mas Sabda? Dia masih susah dihubungi?”

“Begitulah, mungkin dia sedang banyak urusan di luar sana. Tidak apa-apa, semoga saja dia cepat mengabari setelah tiga hari ini hilang tanpa kabar.”

Bohong kalau Shanum tidak sedih, suaminya menghilang begitu saja. Shanum cemas pada Sabda, apakah pria itu baik-baik saja?

Ketika sedang asyik bercerita. Suara bel pintu depan membuat keduanya terkejut. Shanum menatap adiknya. Dia menyuruh Khalil untuk memeriksa siapa yang bertamu ke rumah.

“Kan ada bibi pelayan yang membuka pintu, Kak.”

“Mereka sedang sibuk, kamu lihatlah siapa yang datang.”

“Apakah itu Mas Sabda? Kakak ipar cepat sekali pulang. Bukankah dia sedang ada di luar kota?” tanya Khalil seraya bangkit dari duduknya.

Shanum melirik jam dinding. Suaminya tidak mungkin pulang di jam seperti itu. Jadi, siapa yang bertamu?

Khalil membuka pintu rumah dan menyapa siapa tamu yang datang, pemuda itu tersenyum ramah. “Siapa? Ada yang bisa kubantu?”

Sosok yang berada di hadapan Khalil tersenyum penuh wibawa. “Aku mau mengantar kue sekaligus menjenguk Shanum.”

MINTA RESTU

“Bagaimana kondisimu, apakah membaik?”

Arsa menatap Shanum yang tengah duduk menyender di sandaran ranjang. Gadis itu tampak pucat, hal yang membuat Arsa benar-benar iba. Biasanya Shanum datang ke toko di jam-jam seperti sekarang. Namun, sekarang dia harus melihat pelanggan setia Jun’s Bakery tampak tak berdaya.

“Alhamdulillah, aku baik. Kenapa kamu datang? Siapa yang memberi tahu alamat rumahku?” tanya Shanum.

“Aku hanya penasaran kenapa kamu tidak datang ke toko. Setelah kutanya pada ibu, katanya kamu sakit dan aku disuruh mengantar roti.”

Rupanya Arsa mengetahui hal ini dari ibunya, beliau juga yang memberitahu Arsa alamat rumahnya. Sudah beberapa hari Shanum tak datang ke toko, hal itu membuat Arsa penasaran. Makanya dia datang dengan membawa roti kesukaan Shanum dan berharap wanita itu cepat sembuh.

“Sudah pergi ke dokter belum?”

“Sudah, ada adikku yang merawat. Tidak perlu mencemaskan apa pun. Terima kasih atas perhatianmu, Sa.”

Arsa tersenyum mendengar hal itu. Dia berharap Shanum lekas sehat. Shanum yang biasanya selalu terlihat anggun kini tampak tak berdaya dengan wajah dan bibir yang memucat. Shanum bilang dia tak selera makan karena mulutnya pahit.

“Suamimu tak ada di rumah?”

Shanum menggeleng. “Dia sedang ada urusan bisnis di luar kota, jadi belum pulang sampai sekarang.”

“Padahal istrinya sedang sakit, seharusnya dia segera pulang begitu tahu kamu sakit begini.”

Arsa menganggap Sabda bukanlah tipe suami yang peka. Bagaimana bisa pria itu pergi meninggalkan Shanum seorang diri dalam keadaan sakit seperti ini?

Arsa termasuk pria yang peka, meskipun Shanum tidak pernah menceritakan apa pun tentang rumah tangganya pada orang lain, tapi binar di dalam mata gadis itu tidak pernah bisa dibohongi. Ada luka tak kasat mata di sana.

Sekasar apa pun Shanum pada suaminya, dia tetap sosok perempuan yang butuh dilindungi dan diperhatikan. Justru kalau orang lain tahu dirinya rapuh, mereka punya celah untuk menyakiti Shanum.

Maka dari itu, dia mengatur sendiri hal apa saja yang bisa membuatnya sakit hati. Siapa yang harus Shanum tanggapi dan tidak. Sekalipun mendapat omongan tidak enak dari orang lain, entah itu saudara atau tetangga, Shanum tidak terlalu sakit hati, karena omongan mereka tidak perlu diingat apalagi ditanggapi.

“Aku bisa menjaga diriku sendiri, Arsa. Justru kalau Mas Sabda libur untuk mengurusku di rumah, pekerjaannya akan semakin banyak dan dia bisa keteteran nanti.”

Shanum sedang tidak mau membahas Sabda lebih jauh. Akan semakin terlihat kentara kalau mereka kurang akur. Meskipun Shanum benci perlakuan pria itu, tapi Shanum tidak mungkin sampai membuka aib suaminya sendiri di depan orang lain.

Mau bagaimana pun, Sabda tetaplah suaminya.

“Ah benar, kuharap suamimu segera pulang. Kamu harus segera ke dokter, Shanum.”

“Suamiku akan pulang sebentar lagi. Mungkin hari ini, Sa. Jangan cemas.” Shanum tersenyum ramah.

***

Sabda masih berada di kota kelahiran Rania, mereka makan malam di luar bertiga. Sabda sengaja membawa dua orang itu ke sebuah restoran mewah.

Tak hanya untuk membuat sang ayah terkesan, Sabda juga ingin menciptakan obrolan yang hangat dan menyenangkan. Karena itu, restoran mewah menjadi pilihan terbaik. Alam dan Rania tidak perlu memikirkan berapa biaya yang harus keluar, sebab Sabda yang menanggung semuanya.

Mereka memesan berbagai hidangan. Mulai dari steik, pasta, sup, salad, dan hidangan penutup lain. Semua sajian itu terlihat mewah dan menggiurkan, Rania senang ketika melihat ayahnya begitu antusias menlihat banyak hidangan lezat di hadapannya.

“Apa tidak masalah kalau kamu memesan makanan sebanyak ini?” tanya Alam pada Sabda.

“Tidak apa-apa. Om bebas untuk memesan apa pun, kalau butuh sesuatu bilang saja. Tidak perlu sungkan.” Sabda bersikap seramah mungkin.

Mereka makan malam dengan tenang. Suasana hangat diiringi alunan musik yang dibawakan oleh restoran tersebut cukup membuat suasana menjadi syahdu.

“Jadi, kamu sudah punya niatan untuk serius dengan putriku?” tanya Alam setelah dia menghabiskan makanan penutup, berupa kue tiramisu.

Sabda mengangguk, dia menoleh ke arah Rania dan tersenyum hangat. Seolah Sabda sedang melakukan pendekatan dengan calon mertua.

Sabda sudah sangat terlatih dengan hal ini, sebab dia sudah terbiasa melakukannya dengan ayah Shanum. Jadi, itu bukan lagi hal yang sulit. Sabda tentu lebih ahli dalam hal ini.

“Tentu saja, jika Om mengizinkan. Saya akan menikahi Rania.”

Mendengar ucapan penuh rasa percaya diri itu Alam menatap Rania, putrinya tersenyum bahagia, seolah dia tak salah pilih.

Sabda bisa bersikap sesantai itu tanpa memikirkan kondisi Shanum yang sedang kesulitan. Salah satu alasan yang membuat Sabda nekat untuk menikahi Rania adalah; dia berencana untuk menceraikan Shanum suatu hari nanti.

Awalnya, Sabda memang tidak bisa melepaskan Shanum. Sebab wanita itu adalah harapan keluarganya. Salah satu alasan sang ibu bisa menerimanya, tapi entah kapan Sabda berani menceraikan Shanum. Dia akan menunggu waktu yang tepat, mungkin.

Sabda menikahi Shanum pun bukan atas keinginannya, seharusnya Sabda hari itu menolak jika memang tak ingin, tapi dia sadar bahwa hal itu hanya akan membuat keluarganya sedih, akhirnya Sabda terpaksa menerima.

Shanum jelas bukan perempuan biasa. Dia mandiri, pekerja keras, bahkan cantik. Siapa yang tidak suka perempuan seperti Shanum? Meskipun begitu, Sabda tetap saja tidak terbuka hatinya selama lima tahun ini. Entah kenapa, meskipun sulit untuk mencintainya, Sabda tidak bisa melepaskan Shanum.

***

“Sayang, kenapa?”

Rania menyadarkan bayangan Shanum dalam benak Sabda. Pria itu tersentak ketika dia mulai sadar, Sabda menoleh ke arah kekasihnya lantas tersenyum hangat.

Mereka sudah pulang dari acara makan malam. Kini Sabda dan Rania sedang duduk di teras depan berdua, menatap langit yang sama. Alam sudah lebih dulu masuk ke dalam dan beristirahat, meninggalkan dua orang itu untuk mengobrol.

“Maaf kalau papa terlalu keras sama kamu,” kata Rania tulus. Dia cemas kalau Sabda tidak enak hati karena pertanyaan ayahnya.

“Tidak apa-apa, lagipula tidak ada yang perlu aku takutkan dari beliau. Kalau pun beliau marah, sudah pasti itu demi kebaikan kamu bukan?”

Rania menggeleng, enggan membuat Sabda berpikiran yang tidak-tidak tentang apa yang sudah terjadi. Dia juga takut kalau Sabda meninggalkannya.

Satu tahun jelas bukan waktu yang sebentar bagi mereka untuk memadu kasih, Rania memang sangat mencintai Sabda. Meski dia kerap dibuat curiga tentang banyak hal. Namun, Sabda selalu sukses membuatnya kembali percaya, seolah hal buruk yang ada di kepala Rania hanyalah prasangka semata.

Mereka berdua saling mencintai, sama seperti pasangan kebanyakan. Hanya saja, seandainya Rania tahu kebohongan fatal apa yang sudah disembunyikan oleh Sabda selama ini. Apakah wanita itu masih mau menerima?

“Kakimu masih sakit? Seharian kuajak pergi terus,” tanya Sabda mengalihkan topik.

Rania menggeleng, justru dia senang berjalan-jalan dengan Sabda. Mereka selalu berjalan beriringan, pria itu terlalu tinggi untuk Rania, meski Rania sudah mengenakan heels, tingginya tetap sangat keterlaluan.

“Kamu senang ada di sini?” tanya Rania.

“Karena bersamamu, semua tak seburuk yang kubayangkan.”

Rania tersenyum mendengar nada suara kekasihnya yang serak. Kemudian tatapan Sabda berkelana memerhatikan tulang selangka, bahu, lengan, dan apa pun pada tubuh Rania yang tak tertutup kain.

“Kemarilah.” Dia menjangkau tangan Rania dan membawanya dalam pelukan erat. Serat pakaiannya mengirimkan kehangatan. “Mulai hangat?”

Rania mendongak. “Kenapa memelukku?”

“Aku hanya ingin.”

Hening sepersekian detik, Rania tidak menyadari bahwa ada banyak hal yang sedang Sabda pikirkan. Lebih dari itu, Sabda mencemaskan banyak hal, tapi dia tidak ingin Rania menyadarinya.

“Aku berjanji akan menikahimu, aku sudah meminta restu pada ayahmu. Kita akan segera menikah.”

***

Ada kalanya, satu-satunya tempat yang paling kau ingin adalah di sisi seseorang. Tempat di mana kau ingin didengar, dipahami, dihargai, dan leluasa untuk menyampaikan segala hal di dalam dada yang selama ini membuat sesak.

Kau tak ingin apa-apa. Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang satu kalimat darinya mampu membuat segala gelisahmu runtuh. Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang di dalam peluknya kau menemukan tempat paling aman. Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang tawanya dapat memancing tawamu juga.

Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang membuatmu mampu menghadapi dunia sebab kau sadar kau tak akan dibiarkan sendiri. Karena sebesar apa pun dunia memberimu cobaan, cukup hanya satu dukungan kecil yang mampu menguatkanmu agar tak karam.

Kau hanya ingin berada di sisi seseorang yang menggenggam tangannya sama dengan kau menggenggam dunia dan isinya.

Namun, kembali pada kenyataan. Hidup tak melulu harus bergantung pada orang lain. Bahagia tak harus menjadi tanggung jawab orang lain. Seharusnya dirimu sendiri sudah cukup. Seharusnya kau tak perlu berharap apa-apa pada orang lain. Sebab sumber kecewa terbesar berasal dari pembawa bahagia terhebat dalam hidupmu.

Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Shanum baru bangun dengan tubuh yang setengah remuk karena rasa sakit yang masih melanda. Dia sudah minum obat, panasnya sedikit turun, tapi badannya masih begitu hangat.

Shanum terbangun karena dering ponsel yang tidak juga berhenti. Dia heran, siapa orang yang menghubunginya di jam-jam seperti ini? Tidak bisakah orang itu mengerti kalau Shanum juga butuh istirahat.

Beranjak dari posisi dengan tangan memegang selimut sebagai penutup dada, dia menjangkau nakas dan meraih ponselnya yang berbunyi, tanda sebuah panggilan masuk.

“Halo, siapa?” Shanum menyahut ketika ponsel itu sudah menempel di telinganya.

Tidak ada sahutan, yang ada hanyalah kesunyian. Shanum kembali menatap nomor yang tertera, dia tidak tahu siapa orang tersebut.

Tidak berapa lama, terdengar suara dari seberang sana, suara yang sangat Shanum kenali.

“Ini aku, maaf tidak menghubungi lebih dulu. Ponselku sedang rusak. Jadi, aku meminjam ponsel rekan.”

Shanum terkejut, matanya langsung membuka sempurna saat suara Sabda terdengar jelas meminta maaf dan beralasan kalau ponselnya rusak.

“Kapan kamu pulang?”

Sabda menghubungi Shanum, dia juga terpaksa berbohong supaya istrinya tidak curiga.

“Mungkin dua hari lagi, masih banyak urusan di sini. Kenapa?”

“Aku sakit, Mas. Tidak ada yang membantuku di sini. Pulanglah secepatnya. Aku malu jika harus merepotkan mama terus!”

Sabda masih diam menyimak, Shanum terus saja mengomel di telepon. Bahkan meski terpisah ribuan kilometer, hubungan mereka tetap tidak akur. Itu yang kadang membuat Sabda sakit kepala. Dia pikir, hubungannya dengan Shanum sudah membaik setelah dia meminta maaf.

“Baiklah, maafkan aku. Sekarang tidurlah. Ini sudah malam, aku akan pulang tak lama lagi. Pastikan kamu minum obat dengan teratur dan jangan membantah.”

“Kapan kamu pulang?”

“Mungkin besok. Pokoknya jangan menungguku.”

Sabda tidak berkata apa pun lagi. Dia mematikan ponsel setelah mengatakan hal itu, seolah tidak mau mendengar penjelasan Shanum tentang sakitnya.

Bukannya Shanum manja, dia wanita yang mandiri. Hanya saja, suasana rumah yang sepi dan kondisinya yang sakit cukup merepotkan. Dia tidak bisa terus bergantung pada sang ibu.

Shanum menghela napas, lagi-lagi dia harus melalui semuanya sendirian. Memang benar, meskipun inginmu hanya sesederhana bersandar pada dada yang mampu membuatmu kuat dan lega, tetap saja dia bisa memilih untuk tak ada dan kau tak boleh kecewa.

Baiklah, akan Shanum beri perhitungan jika nanti pria itu pulang ke rumah.

Bersambung…

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10